Mobil Liam berhenti tepat di depan restoran, ia segera keluar diikuti Arlene—gadis itu tersenyum manis kemudian Liam menggenggam tangan itu dan masuk ke dalam. Malam ini Arlene terlihat sangat cantik dengan balutan dress sebatas paha berwarna hitam senada dengan setelan jas milik Liam. Pria itu terus menggenggam tangannya sepanjang jalan saat mereka menginjakkan kakinya di restoran ini hingga langkah kakinya terhenti dan senyumnya memudar selama beberapa detik tertahan ketika menatap Liam. Apa ini? Mengapa ada keluarga Court?
“Kenapa kau membawaku ke tempat ini?” Arlene buru-buru menjauh saat Liam hendak membawanya masuk. Tatapannya penuh pertanyaan dan memperlihatkan emosi yang jarang ia perlihatkan pada Liam.
“Kita bicarakan di dalam saja—”
“Jawab aku. Ada apa ini? Mengapa mereka di dalam? Bukankah seharusnya kita makan malam berdua?”
Liam menarik napas dalam dan menarik tangannya—dengan gerakan cepat, Arlene kembali menghempas pegangan itu, ia butu
Bulan sudah memasuki awal Oktober. Tepat pagi ini, sekitar pukul 6:10 AM Liam membuka matanya setelah 3 jam tertidur. Ia menoleh ke samping berharap Arlene masih terpejam menghadapnya sekarang tak ada sejak pertengkaran yang terjadi 6 jam yang lalu, gadis itu pergi membawa semua barangnya tanpa sisa, hanya pemberian darinya saja yang sengaja ditinggal.Liam menyingkap selimut dan mengambil posisi duduk menghadap walk in closet, ia menempatkan kedua siku di atas paha seraya menunduk lalu mengusap wajahnya dengan kasar sebelum akhirnya bangkit ke kamar mandi. Liam menghabiskan 15 menit di dalam kamar mandi untuk menenangkan pikirannya dan saat hendak keluar, manik birunya menangkap sebuah kalung bertuliskan nama ‘Railee’ di atas meja di walk in closet, itu milik Arlene yang tertinggal. Ia meraih kalung tersebut dan menyimpannya di balik saku jas. Pagi ini, ia memakai setelan jas yang pernah Arlene simpan selama satu tahun di dalam lemari.Tepat pukul 7:
“Arlene… apa kau baik-baik saja?”Arlene mengangguk. “Yeah, aku baik-baik saja, Cath. Kau tidak perlu khawatir, aku hanya lelah.”“Mau minum, Arlene?”Kedua matanya terbuka, Catherine berdiri di hadapannya seraya menyodorkan gelas kosong di tangan kiri sedangkan alcohol berada di tangan kanannya. Satu tarikan diujung bibirnya terlihat. “Aku tidak minum, tubuhku tidak bisa melakukannya, kau saja,” tolak Arlene dengan sopan.Catherine memutar bola matanya malas kemudian meletakkan gelas yang ia pegang di tangan Arlene lalu menuangkan setengah minuman berwarna kekuningan tersebut. “Harimu berat, kan? Hanya satu gelas, kau membutuhkan ini, tidak baik menolak pemberian sahabatmu sendiri,” ucap Catherine seraya mengedipkan sebelah matanya.Seutas senyuman tipis terlihat di bibir Arlene kemudian menegaknya dengan sekali tegukan hingga kandas. Catherine tersenyum seraya menuangkan kembali m
Arlene terbangun dengan mata sedikit membengkak. Manik birunya menatap ke segala arah—ruangannya terasa sangat sunyi, aroma rumah sakit menyeruak indera penciumannya. Sudah 3 hari ia berada di tempat ini, sangat berat mengetahui bahwa ia hamil dan kehilangan janinnya.Sementara itu, langkah Liam terhenti ketika hendak masuk, manik birunya melihat Arlene sudah membuka matanya. Gadis itu duduk di sofa panjang dekat jendela rumah sakit membelakanginya sambil memeluk lutu dengan pandangan kosong. Liam belum beranjak dari tempatnya, ia memandangi Arlene yang masih terlihat begitu cantik bahkan ketika masih terlarut dalam kesedihan selama 3 hari memilih diam, tidak ingin berbicara dengannya.Tangan Liam terangkat menyentuh kenop pintu dan membukanya perlahan. Arlene tidak menoleh dan Liam menutup rapat pintu itu lalu melangkah mendekati Arlene dan duduk di samping Arlene sambil meletakkan paperbag berisikan makan siang yang ia beli tadi. Mata biru Liam memandangi wajah
Maserati milik Liam memasuki pekarangan mansion miliknya. Suasana malam disini sangat tenang dan dingin, tidak mendengar kendaraan berlalu-lalang disini karena semuanya benar-benar sepi, hanya ada beberapa mansion yang jaraknya lumayan jauh dari mansion miliknya. Liam mematikan mesin mobil dan keluar membawa tas di tangan kiri sementara tangan kanannya mendorong pintu mansion kemudian menutupnya kembali. Ia melangkah menaiki anak tangga menuju kamar Cassie—senyuman tipis terlihat di bibir Liam ketika ia membuka pintu kamar. Bayi perempuan itu sedikit terkejut dan terbangun karenanya. Liam mendekat dan mencium bibir Cassie hingga bayi itu tersenyum dan menendang-nendang kakinya ke udara sambil menyentuh wajah tampannya. “Goodnight, sweetie...” Liam memberikan bonekanya pada Cassie kemudian mengusap lembut kening bayi itu hingga terpejam kembali. “Kau tahu betapa beruntungnya aku mendapatkan kalian dalam genggamanku sekarang?” gumam Liam memandangi wajah Cassie
Siang hari ini seakan hari baru, hari seperti Arlene terlahir kembali tanpa masalah apapun, walaupun masih ada satu masalah yang menjanggal dalam hatinya. Pertama kali ia merasakan sesuatu yang sepanjang hari membuat jantungnya terus berdebar setelah Liam mengucapkan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Rasanya sangat aman ketika berada dalam pelukannya, rasanya sangat senang ketika pertama kali menciumnya tahun lalu untuk pertama kali. Pada titik itulah segalanya berubah, Liam merubah hidupnya sangat drastis. Arlene menginginkan Liam lebih dari sekedar ciuman lembutnya—ia menginginkan semua yang ada pada Liam, termasuk bagaimana cara Liam menatapnya, memanggil namanya dan bagaimana cara pria itu membisikkan sesuatu di telinganya—Tapi apakah Liam akan menerimanya kembali? “Aku baru sampai di apartment, ada apa?” Arlene memindahkan ponsel ke telinga sebelah lalu memiringkan kepala, menjepit ponsel yang berada di antara bahu dan telinga sementara je
Shelley bersandar ke dalam mobil dengan air mata yang sudah membasahi wajah cantiknya. Morgan pergi ketika pria itu keluar dari apartment Arlene, sementara dirinya memilih untuk diam di dalam mobil. Hatinya terasa teriris ketika ia diam-diam masuk ke dalam kamar Arlene dan mencari bukti tentang Cassie setelah ia mencari tahu tentang Arlene tenggelam tahun lalu. Mereka berdua bertemu dalam sebuah kecelakaan yang tidak terduga—Arlene hampir saja mati saat lolos dari kelakuan brengsek Morgan saat hari ulang tahunnya, dimana malam itu ia menghabiskan malam dengan minum dan berpesta di atas penderitaan adiknya yang sangat menyakitkan, mencoba untuk kabur dan memilih menjatuhkan diri ke laut. Kepala Shelley menunduk. “Kau perenang yang baik, sialan! Kenapa kau tidak menyelamatkan dirimu, kenapa kau memilih untuk ke dasar!” Shelley memegangi dadanya yang terasa sesak. Jika bukan karena hutang dan perselingkuhan itu, tidak mungkin Arlene akan sengsara seperti ini, tidak mung
Arlene memasuki kawasan rumah sakit jiwa yang menangani Hunt selama beberapa tahun ini. Ia terdiam setelah memarkirkan mobilnya, tarikan dan hembusan napas Arlene lakukan sebanyak dua kali hingga akhirnya ia benar-benar memutuskan keluar membawa paperbag cokelat berisikan makanan kesukaan Hunt, tacos buatannya. Satu hari semenjak Liam mengetahui tentang Cassie, pria itu sangat marah lebih dari apapun. Rasa sakit itu kembali menggerogoti seluruh tubuhnya seperti berkecamuk di dalam dada, itu yang ia rasakan hingga saat ini. Sejak kalimat ‘Aku mencintaimu’ yang keluar dari bibirnya adalah kali pertama yang pernah ia rasakan, belum pernah ia rasakan sebelumnya bahkan ketika bersama Morgan. Dan kalimat itu seperti hilang setelah Liam memutuskan untuk keluar dari pintu apartment-nya, meninggalkannya dengan ribuan bahkan jutaan perasaan bersalah. Ini tentang bagaimana hidup Cassie, memang terdengar aneh tetapi yang ia rasakan seperti itu. Satu-satunya yang menjadi hambatannya saat
Liam melangkah keluar dari ruang meeting bersama Jamie, sekretaris barunya. Ini adalah kali pertama Liam mendapatkan sekretaris pria karena sebelumnya selalu wanita—apa Arlene cemburu? Ia mengambil ponselnya di atas meja kerja, ada begitu banyak panggilan telepon dari Walt, Arlene, Kaia dan juga—Josie? Bahkan secara bersamaan? Ketika hendak menelpon Walt ia dikejutkan dengan seseorang masuk ke dalam ruangan tanpa mengetuk lebih dulu.Liam mengangkat kepalanya. “Apa kau tidak mempunyai sopan santun, Ms. Olivia?”Wanita itu tak mendengar ucapannya, ia menutup pintu ruangan dan berjalan cepat ke arahnya. “Apa yang kau—”“Oh God! akhirnya aku menemukan boss-ku. Mr. Addison. Maaf jika aku mengatakan ini padamu—”“Katakan apa yang terjadi?” potong Liam.“Mr. Whitman mengatakan padaku pagi tadi dia pulang lebih dulu karena Mr. Seyfried meninggal pukul 9:37 jadi beliau tak bisa b