Verdi kini sedang belajar bersama Dinda setelah pulang sekolah. Mereka berdua kini berada di taman belakang rumah Verdi. Rumah ini terlalu sepi untuk mereka huni berdua. Papa, Mama, dan Vanya? Mereka masih sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Dinda menanyakan beberapa masalah yang kian menyelinap di pikirannya. Masalah yang akan bisa dipecahkan jika mereka berpikir keras.
Pelajaran yang dibahas kali ini bukanlah persoalan Matematika atau pun Biologi, namun Fisika yang aslinya mudah namun harus teliti jika mencari jawaban yang sesungguhnya.
"Bukannya jawaban 250 N ya, Ver? Kok lo jawabnya 280 N sih?" tanya Dinda bingung. Ia kembali menggaruk rambutnya yang tidak gatal dan memasang muka tak karuan. Sesekali ia menatap Verdi, begitupun sebaliknya.
"Apa iya?"
Verdi langsung meneliti kembali soal yang mereka bingungkan dan ternyata benar, Verdi memang tidak salah ambil rumus. Benar kok.
Verdi lalu mengambil buku milik Dinda dan menelitinya s
Dinda kini sudah berada di ruang makan bersiap untuk makan malam bersama keluarganya. Suasana yang terlukis sangatlah nyaman. Kehangatan ada pada keluarga kecil mereka."Katanya lo ikutan olympiade?" tanya Andre mengawali perbincangan. Ia baru saja duduk dan membuat mereka segera mengawali makan malam ini."Iya, emang." jawab Dinda santai sambil mengambil nasi ke piringnya."Lo udah fokus belajar, kan?" Andre semakin gencar mencari topik lainnya, padahal disela makan malam bersama keluarga. Tentu perkataan itu mendapat tatapan dari keluarganya.Adab yang baik saat makan sebenarnya tidak boleh berbicara, bisa membahayakan karena tersedak. Dan sudah berulang kali Pak Arif dan Bu Sella memberitahu keduanya, namun tetap saja mereka masih menghiraukan."Menurut lo?""Udah sih, dikit." jawab Andre santai namun mengerdikkan bahu."Nah itu tahu, tumben nanya
Bel pulang sekolah sudah berbunyi lima belas menit yang lalu. Kini Verdi sudah berada di ruang guru. Tak heran ia mendapat beberapa tatapan dari guru yang sedang terduduk di ruangan ini."Verdi jadi ikut olymp?""Iya, Bu. Bu Mona yang nyuruh." senyum Verdi seketika."Semangat ya, Ibu tinggal dulu, Ver." kata Bu Nikma guru Natematika yang sudah hamil empat bulan.Bu Mona datang dengan lembaran-lembaran kertas putih di tangannya. Mungkin soal yang harus ia pelajari."Gimana Ver, apa ada yang belum kamu pahami?" tanya Bu Mona duduk sambil mengecek jawaban dari Verdi, Verdi yang semula duduk santai kembali menegakkan tubuhnya lagi."Insyaallah, udah semua." jawab Verdi enteng sambil menatap jawaban yang sedang diperiksanya itu.*Pengen deh punya otak encer kayak Verdi."Beneran kamu? Kalau memang iya, sekarang Ibu kasih kamu sep
"Kamu sakit? Kok dari tadi Mama perhatiin kamu kayak lagi ngalamun gitu, ada apa?" Bu Rere menanyakan ulang pertanyaannya tadi.Verdi masih bungkam dengan tatapan kosong menatap makanannya. Tak ada yang bisa ia lakukan dan tak mungkin dia hanyut dalam pemikirannya sendiri tanpa membicarakan sejujurnya pada mereka."Enggak, Verdi cuma kepikiran sama Dinda." ucap Verdi polos yang masih menatap kosong makanan di depannya.Verdi sudah berani terbuka dengan perasaannya, mengingat taruhan yang ia dan Papa lakukan beberapa hari kemarin. Hal itu pasti membuat orang tuanya semakin bangga dan berharap lebih pada Verdi."Emang Dinda kenapa, Ver?" Pak Rahmat yang sudah selesai makan pun langsung menanyakan hal itu kepada Verdi. "ada masalah sama kamu?"Ia menggeleng, "Dinda kecelakaan." lanjut Verdi dengan berat hati."Kok bisa? Dia dirawat dimana?" tanya Bu Rere dengan nada yan
Malam ini adalah malam terakhir Verdi untuk menyiapkan semua bahan olympiade. Ia sangat tenang, tak ada kepanikan yang ia perlihatkan. Namun sejenak, ia kembali teringat dengan Dindanya yang tidak bisa mengikuti acara itu besok pagi."Andai besok lo jadi ikut, pasti gue akan tambah semangat buat nandingin lo." sesal Verdi sambil menatap langit yang cukup cerah, bulan bertengger jauh di langit atas."Gue bakal buktiin janji gue sama lo, Din."Terdengar ketukan pintu beberapa kali, Verdi pun akhirnya menatap pintu coklat itu beberapa saat, tak lama pintu terbuka menampilkan sosok Vanya yang lebih pendek darinya."Kak Ver, nanti mama sama papa mau jenguk kak Dinda, lo mau ikut nggak?" tanya Vanya menatap Verdi dengan penuh tanda tanya."Nggak, gue titip salam aja buat mereka, gue mau belajar." Vanya hanya mengangguk lalu pergi meninggalkan Verdi sendirian di balkon kamarnya.
"Verdian!!" teriak seseorang dari ujung jalan sana.Verdi melihat ke belakang, mengikuti arah datangnya suara, dan ternyata ia mendapati seseorang yang lama ia tunggu, gadis yang baru saja dirawat di rumah sakit.Sudah satu minggu Dinda dirawat di rumah sakit dan sudah satu minggu pula ia berada di zona nyamannya. Zona yang sangat ia rindukan berhari-hari. Rumah."Din-Dinda?" Verdi melihat Dinda yang berada tak jauh darinya, dengan segera ia meletakkan lap yang tadinya digunakan untuk mengelap mobil merah kesayangan. Ia segera berlari menuju keberadaan Dinda sekarang."Lo ngapain kesini? Udah sehat emang?" Verdi memeriksa jidat Dinda dengan telapak tangannya, menatap tubuh Dinda dengan tatapan indah. Luka yang ada di lengan dan kakinya sudah mengering.Dinda tersenyum saat tangan Verdi berada di kedua punda
"Selamat pagi semua." sapa Dinda ceria sambil berjingkrak ria."Eh, eh. Itu kaki hati-hati, main jingkrak aja. Kalau lukanya kebuka lagi, siapa yang mau obatin?" Andre memberi satu peringatan padanya. Dinda pun tersenyum merutuki tingkahnya."Sori, Bang.""Pagi, tumben itu muka happy banget, kenapa?" tanya Bu Sella yang masih menyiapkan sarapan untuk mereka."Baru dapet pesan singkat dari Verdi itu, Bun." tebak Andre membuat mata Dinda membulat. "Bener kan?""Diem lo, Bang!""Hehe enggak pa-pa kok, Bun. Nanti... Dinda main sama
Tak lama mobil mereka pun berhenti di sebuah kafe bernuasa serba romantis. Yang mana Verdi memang sudah memesan tempat yang sebegitu indah khusus untuknya."Gue itu sudah sarapan, Ver, nggak usah ke sini ah." tolak Dinda saat mobil itu sudah terparkir rapi."Gue belum sarapan, kalau perut gue bunyi di tengah jalan, lo nggak malu? Udah lo disini tinggal nurut, diam, dan gue yang bayar!" Verdi menarik tangan Dinda untuk segera masuk bersamanya."Iya gue tau." ambeknya melirik malas."Masih nggak mau masuk? Gue tinggal nih, atau lo mau pulang?" tanya Verdi yang melihat perubahan mimik dari gadis sebelahnya."Nggak." Dinda pun segera masuk dalam kafe itu bersama Verdi.Dinda begitu tercengang ketika melihat meja yang mereka tuju berbeda dari biasanya. Dimana terdapat bunga warna-warni di pinggir meja, serta hiasan pelengkap lainnya yang membuat
"Mau kemana lagi, Ver? Capek gue udah. Pulang aja yuk!" ajak Dinda yang sudah terlalu kecapekkan karena seharian bersama Verdi.Mulai dari mentari condong ke timur hingga sekarang sudah mau condong ke barat, Verdi terus mengajak Dinda berkeliling seenaknya. Apa energinya masih akan bisa stabil jika terus begini?"Ngikut aja lah." kata Verdi santai. Dinda hanya berdecak kesal menurut tak melawan."Eeee—Ver, btw tadi filmnya bagus ya, gue tadi sampai merinding banget lho, ngeri gue!" kata Dinda histeris sambil memperagakan seperti orang ketakutan."Dan lo tau nggak, Ver, gue tadi juga ngerasa, ada yang duduk di belakang kita, padahal tadi gue lihat sepi nggak ada orang. Sumpah itu film horror banget, kebawa terus gue.""Lo nggak ngerasa sama kayak gue, Ver?"Verdi tak menggubris sama sekali, ia masih asyik melajukan mobilnya dengan k