Share

Bab. 5

Aku berlalu meninggalkan A Miftah yang masih terpaku di tempat, menghampiri kamar Akbar yang letaknya bersebelahan. Kuraih long cardi yang tergantung untuk menutup baju dinas malam yang memang sengaja digunakan untuk menyambutnya pulang. Setelah itu memilih tidur di samping putraku yang sudah lebih dulu lelap.

Suara benda yang menghantam tembok terdengar. Pintu yang dibanting keras pun menyusul setelahnya. Kupejamkan mata tak peduli apa yang terjadi di sana.

Sudah cukup aku diam, sudah cukup aku sabar. Untuk apa jadi istri pengertian kalau suaminya kurang ajar?

Mungkin A Miftah tak sadar, bahwa kucing jinak juga bisa mengigit pada sang pemilik, bilamana ekornya diinjak.

***

Subuh menjelang, aku beranjak bangun. Menuju kamar mandi untuk mengambil wudu kemudian menunaikan salat. Setelah mencuci beberapa buah piring dan gelas kotor, kulanjutkan memasak nasi, lalu membersihkan rumah serta menyapu halaman.

Tak terasa waktu menunjukkan jam tujuh pagi. Terlihat handle pintu kamar bergerak dan A Miftah keluar dari dalamnya masih dalam keadaan sarungan.

"Neng, totebag yang A'a bawa kenapa masih belum disentuh? Kok, nggak ngerhargain, sih kamu! Padahal tas itu sengaja A'a beli dari hasil nyisihin gaji, harganya setengah juta!" Sedikit membanting dia meletakkan totebag sedang yang dibawa semalam di atas meja makan yang tengah aku bersihkan, di hadapan.

Aku menoleh, mengernyitkan dahi kemudian merogoh tas yang dia katakan seharga 500-an itu.

"Oh, ini buat aku?" Kubekap mulut berpura-pura terkejut sekaligus senang. "Kirain buat Mama atau siapa ... gitu. Ma-ka-sih, ya, A. Ya, walaupun aku udah punya yang hampir sama dan harganya betulan setengah juta." Kutekankan kata terima kasih yang membuatnya berjengit jengkel.

"Kamu ngeraguin A'a? Itu beneran lima ratus ribu, loh?" Alis tebalnya menyatu. Kentara sekali dia menahan kesal.

"Oh, ya? Tapi kenapa dibandrolnya cuma 189K? Kalau beli di Andir ini bahkan masih bisa ditawar seratus lima puluh ribu. Sebentar, biar aku tunjukkin yang harganya beneran setengah juta." Aku berlalu ke kamar. Lalu kembali dengan tas yang modelnya hampir sama dengan yang A Miftah bawa, tapi warna berbeda. "Yang ini aku beli di King, masih ada struknya."

A Miftah menyambar tas tersebut, lalu meneliti struknya. "Oh, jadi sekarang kamu udah bisa foya-foya. Duit lima ratus ribu ludes cuma buat beli tas model beginian doang." Kuhela napas panjang. Lihat, betapa mudahnya dia memutarbalikkan keadaan seolah aku yang salah di sini.

"Maaf, A. Bukannya aku nggak ngehargain pemberian. Seharusnya A'a jujur aja dari awal, nggak perlu dikasih tahu nominalnya aku aja udah seneng. Kalau begini kentara banget sok pedulinya, padahal udah lebih lima tahun dari terakhir kali A'a beliin aku barang. Kalau begini aku jadi ngerasa A'a beliin barang cuma saat ada maunya, biar aku nggak ungkit tentang uang lima juta yang A'a pinjem seminggu lalu, kan?" Dia terbungkam dengan rahang mengatup rapat. Sepertinya apa yang kukatakan kembali tepat sasaran, ekspresinya sangat menunjukkan ketersinggungan. "Yang perlu ditekankan, mau aku foya-foya, beli barang-barang mahal, atau lain-lain. Aku pake duit sendiri, nggak pernah pake duit A'a. Kalau boleh jujur, duit yang A'a kasih bahkan nggak cukup buat nutup biaya sehari-hari. Kita punya setoran, terus anak spesial yang harus rutin dibawa ke terapis. Dari mana nutup semua itu kalau bukan dari gajiku!"

Untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun pernikahan, aku mengungkit hal yang sebenarnya ikhlas kulakukan. Selama tujuh tahun aku bahkan tak henti bersyukur atas nafkah yang dia berikan berapa pun nominalnya. Namun, karena sikapnya mulai kurang ajar, tak ada lagi pilihan selain menyerang mentalnya.

Lelaki memiliki harga diri yang tinggi, aku yakin setegas-tegasnya mereka, tetap tak akan berkutik bila sudah disinggung prihal penghasilan.

.

.

.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status