Share

Bab 4

"Hah!" Aku ngos-ngosan, padahal hanya dari halaman sampai kasur depan televisi.

Mataku memicing ke arah pot bunga yang sengaja diletakkan di atas meja televisi. Aku pun berdiri dan mengambil benda pipih yang sengaja kutaruh di sini tadi pagi. 

"Bagus, nanti kita lihat, apa saja yang kalian lakukan seharian ini pada Ibu." 

-

Malam hari, aku sengaja mengajak Mas Lian ke rumah makan dekat sini. Sengaja juga aku tak membawa Bapak dan Ibu serta. Jika kalian berpikir bahwa aku ingin berduaan dengan suamiku, kalian salah. 

"Mas, mau pesan apa?" 

"Apa aja, Dek. Kamu lupa kalau suamimu ini gentong?" jawabnya yang sukses membuat kami tergelak. 

Aku memanggil pelayan dan menyebutkan pesanan kami. Setelahnya, aku mulai membuka ponsel. Sedari di rumah tadi, aku sudah gatal ingin membuka, tapi kutahan karena ada Ibu. 

"Nggak nyangka aku loh, Dek." 

Aku mendongak, Mas Lian tengah menatapku dengan wajah tengilnya. 

"Nggak nyangka apa?" 

"Ya nggak nyangka aku kalau kamu juga bisa romantis gini. Tumbenan banget ngajak makan di luar." 

"Pede jreng kamu itu!" 

Mas Lian terbahak, kemudian memegang jemariku. Andai tak ingat dengan tujuan utamaku ke sini, mungkin akupun sudah ikut terhanyut dalam gombalannya. 

"Mas, aku ngajak kamu ke sini karena mau nunjukin ini!" Aku menggeser kursi jadi bersebelahan dengannya. 

Tak kupedulikan tatapan pengunjung lain yang menatap aneh ke arah kami. Wong bayar-bayar sendiri kok ngurus amat! 

"Apaan ini?" 

"Aku kemarin sengaja nggak bawa ponsel, Mas. Kuaktifkan kamera lalu menyetingnya jadi video. Untung saja, kita pergi cuma beberapa jam aja. Pas banget lagi, aku ngecek baterai tinggal lima persen. Selamet-selamet!" 

"Lah, memang mau ngapain? Kok pakai direkam segala?" 

"Udah, nggak usah kebanyakan nanya!" ketusku. 

Kuklik tombol play dan mulai menonton. Awalnya semua tampak normal. Namun, setelah lima menit, aku melihat Mbak Ambar datang membawa piring berisi nasi dan juga satu potong tempe, lalu menyuruh Ibu untuk memakannya. Seketika hatiku terenyuh. 

Mas Lian menoleh ke arahku, lalu menggenggam erat tangan ini. Sungguh, terbuat dari apa hati Mbak Ambar? Lalu terlihat Mas Helmi datang dan duduk di hadapan Ibu. 

"Makan aja lama bener. Ayo, mumpung belum siang. Bisa nggak dapat banyak nanti!" ucap Mas Helmi tepat di depan wajah Ibu.

Air mata yang sedari tadi kutahan, akhirnya lolos juga. Melihat anak lelaki memperlakukan ibunya sedemikian rupa. 

"Tapi, Hel, Ibu capek. Pusing." 

"Alah, alesan! Dulu pas bikin malu sekeluarga memangnya gak pusing?" 

Ibu terdiam. Mungkin ia merasa tertohok mendengar ucapan Mas Helmi. Tanganku mengepal. Lalu memalingkan wajah. Tak sanggup melihat lebih jauh lagi. 

"Dek, lanjutin. Biar semua jelas." 

"Adek nggak tega, Mas." 

Obrolan kami terjeda karena pesanan kami datang. Tak kuhiraukan lagi kepulan asap yang biasanya menggoda itu. 

Mas Lian menekan kembali tombol Play. Adegan itu masih sama, hingga akhirnya Ibu ke belakang dan tak lama kemudian terdengar suara teriakan Ibu. Permintaan tolong, dan juga lolongan kesakitan. Astaghfirullah! Apa yang sudah dilakukan oleh kakakku itu? 

Lalu, tubuh renta itu ditarik oleh Mas Helmi. Mataku semakin memanas melihatnya. Brak! Aku terkejut mendengar suara bantingan yang bisa kupastikan dari pintu. 

Pelan, aku seperti mendengar suara seseorang berbicara. Namun tak kelihatan rupanya karena tak ada di hadapan kamera. 

"Rasakan. Salah siapa kerjaannya nyusahin. Dikira ngerawat nenek-nenek itu nggak capek, kali!" 

Deg! 

Ini suara Mbak Ambar. Aku yakin itu. 

--

Aku pulang setelah bisa meredakan emosi, meskipun belum sepenuhnya. 

"Assalamu'alaikum," ucap Mas Lian. Aku hanya diam saja, yang penting kuucapkan salam itu lewat hati. 

Pasangan suami istri itu tengah duduk santai di depan televisi. Mereka hanya melirik pada kami saat melewatinya. 

"Pergi malem-malem, eh pulangnya dengan tangan kosong!" 

Deg! 

Rasanya kepalaku hampir saja meledak mendengar ucapannya. 

Mas Lian menggandeng tanganku masuk ke dalam kamar. Untung ada dia, jika tidak, mungkin perang dunia ketiga sudah terjadi! 

"Sabar, Dek!" 

Aku hanya mengangguk, lalu menoleh ke arah Ibu yang sedang meringkuk. Seketika, air mata kembali turun. Meskipun pernah disakiti di masa lalu, namun tetap saja hati ini perih melihat kejadian tadi siang. 

"Bu!" 

Kugoncangkan tubuh Ibu, lalu mengeluarkan bungkusan tadi dan menyuruh beliau untuk makan. 

"Bapak udah makan belum ya, Mas?" 

"Bentar, Mas nanya. Kamu sama Ibu makan dulu, ya." 

Aku mengangguk. Tadi memang sengaja membungkusnya. Masa iya, aku tega melihat Ibu sendiri makan hanya berlauk tempe sementara aku makan enak? 

"Bapak sudah makan tadi dibelikan nasi goreng sama Mas Helmi." 

"Alhamdulillah, pakai uang Mas Helmi, kan?" 

Mas Lian menggeleng. 

"Uang Bapak."

Aku mengelus dada. Sungguh tega Mas Helmi. 

-

Pagi hari. 

Aku tengah memilih sayuran di tukang sayur, saat kulihat sebuah mobil masuk ke halaman. Melihat siapa yang turun, alisku segera bertaut. 

Safa dan Dika lebih dulu turun. Disusul oleh Mas Cahyo dan Mbak Ratih. Aku tersenyum, ternyata mereka benar akan datang. 

Buru-buru aku menambah belanjaan dengan daging dua kilo dan juga bumbu rendang. Ya, niatnya aku akan memasak rendang hari ini. Kesukaan Mas Cahyo. 

"Assalamu'alaikum!" 

"W*'alaikum salam," jawabku bersamaan dengan yang lain. Aku berlari dari belakang mereka.

"Apa kabarmu, Dek? Habis belanja?" tanya Mbak Ratih. 

"Baik, alhamdulillah. Mbak Ratih gimana?"

"Ya, seperti yang kamu lihat," jawabnya sambil memutar badan. 

Kuakui, wajah dan tubuh Mbak Ratih kian bagus. Ia memang kerap bercerita tengah mengurangi berat badan demi body goals versi dia. 

"Mbakmu makin cantik, tapi Masmu makin tua gini, Dek!" celetuk Mas Cahyo yang membuat aku dan Mbak Ratih tergelak. 

Aku menghampiri Safa. Sulung Mas Cahyo itu sudah masuk sekolah SMP, sementara Dika--adiknya, sudah kelas lima sekolah dasar. Mereka sangat sopan, selalu menyalamiku lebih dulu. Berbeda dengan Naura, meskipun mereka sama-sama sopan, hanya saja anak dari Mas Helmi itu tak terlalu menerapkan adab. 

Aku izin ke dapur. Mulai merebus daging bersama daun salam, sereh, dan lengkuas. Setelah mendidih, buang air dan juga bumbu tadi. Lalu mengulek bumbu-bumbunya. Aku membeli empat bungkus bumbu rendang padang yang tinggal diulek, bersama dengan bawang merah, bawang putih, cabe merah, dan juga jahe. 

Sambil menunggu masakan yang matangnya sekitar satu setengah jam itu, aku bergabung ke depan. Melepas rindu dengan Mas Cahyo dan juga Mbak Ratih. 

Kulihat, Mbak Ambar tengah menatap lurus ke gelang yang melingkar di lengan Mbak Ratih. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Begitulah Mbak Ambar, ia selalu menginginkan barang yang bukan miliknya. Seperti tanah kemarin, dan juga gelang milik kakak iparnya sendiri. 

"Kok pulang nggak kabar-kabar dulu, Mbak?" tanyaku pada Mbak Ratih yang duduk di sebelah Ibu, sementara para lelaki duduk di teras. 

"Iya, Masmu tuh. Tiba-tiba ngajakin pulang. Kami emang punya planning mau mudik, tapi bulan depan. Untung saja butik Mbak sudah ada yang menghandle, jadi bisa ditinggalkan seperti sekarang ini." 

"Lagi rame-ramenya, ya?" 

"Iya. Makanya kalian main dong, ke Bangka." 

"Ongkosnya aja udah selangit, Mbak. Apalagi kan kita emang harus membiayai kebutuhan kedua orang tua kita." 

Ctak! 

Terdengar suara cangkir beradu dengan piring pisin. Kulihat wajah Mbak Ambar memerah. 

"Kalian sengaja, kan, nyindir aku? Mentang-mentang aku dan Mas Helmi nggak ikutan menanggung kebutuhan Ibu dan Bapak?"

Aku dan Mbak Ratih terbengong-bengong. Kenapa jadi ujungnya ke sana? 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status