Share

bab 4

WARUNG SOTO MBOK KARSIEM 4

Aku melempar ponsel ketika dari sambungan telepon bukan suara Aska, Bapak atau Ibu, melainkan suara Mbok Karsiem.

Telapak kakiku semakin sakit saja, darah masih mengalir sampai membasahi seprei. Aku terkejut ketika melihat telapak kakiku, banyak potongan kaca dan juga serpihan kecik-kecil menancap di sana.

Aku mencabut potongan kaca verujuran besar, sakit sekali rasabya, potonfan kaca berukuran besar itu menancap cukup dalan, aku kembali mencabut tiga potongan kaca dari telapak kakiku, kepalaku sakit, penglihatanku kabur. Sevelum aku kehikangan kesadaran, ketiga soaok menyeramkan itu berdiri tidak jauh dari pintu.

Mereka menatapku tajam. Mereka mendekatiku, karena tubuhku lemah dan banyak kehilangan darah, aku tidak bisa menjauh dan tetap berada di tempat tidur.

.

.

.

.

.

Aku membuka mata, aku berada di ruangan serba putih, aku menyipitkan mata menyesuaikan cahaya yang masuk ke kornea. Aku berada di ruangan serba putih, terdapat horden berwarna hijau sebagai pembatas. Tadi aku berada di kamar, siapa yang membawaku ke sini?

Kulihat kakiku yang menginjak pecahan kaca tidak lagi mengeluarkan darah dan juga sudah diperban. Aku kembali memejamkan mata mengingat rangkaian kejadian menakutkan yang aku alami.

Sosok pocong, sosok berambut gimbal dan sosok tinggi besar selalu terbayang.

Kriet..tendengar suara pintu berderet. Aku tidak bisa melihat siapa yang datang karena terhalang horden.

"Ibu..Ibu...Ibu kah itu?"

Tak ada jawaban, aku hanya melihat sepasang kaki pucat dari balik gorden.

Apa itu kaki Ibu? Kenapa Ibu tidak menjawab panggilanku.

Aku turun dari ranjang, penasaran kenapa Ibu tidak menjawab panggilanku. Aku berjalan berjingkat karena kaki masih sakit. Kusibakkan gorden pembatas dan melihat seorang wanita berdiri membelakangiku. Dia bukan Ibu, aku merasa tidak asing dengan wanita ini.

Aku pegang bahu wanita itu, ia menoleh. Aku sangat terkejut ketika ia menoleh. Dia adalah seorang wanita berwajah pucat, dan memiliki wajah sepertiku, ya itu memang wajahku.

"Kenapa Asna? Jangan takut, aku adalah dirimu sendiri!" Dia tersenyum, senyumnya terlihat sangat seram.

"Pergi!" Teriakku.

"Pergi."

"Pergi," ucapku berkali-kali.

Aku dalam wujud lain menyeringai, hingga ia hilang begitu saja.

"Asna! Asna! Asna! Bangun, Nduk." Aku mendengar suara Ibu dan juga goncangan ditubuhku.

Aku membuka mata, Ibu, Bapak dan Aska terlihat panik.

"Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Na. Kamu membuat Ibu, Bapak dan Aska khawatir saja," ucap Ibu, ia menyelipkan anak rambutku kebelakang telinga.

"Aku ada di mana?"

"Kamu ada di rumah sakit, semalam waktu kami bertiga pulang, kamu pingsan di dakam kamar dengan kaki penuh darah," jelas Bapak.

"Ada pecahan kaca di dekat tempat tidurmu, Mbak," timpal Aska.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Na?" tanya Ibu.

Aku membuka mulut dan mengatakan apa yang terjadi semalam, namun aku hanya bisa membuka mulut dan tanpa bisa berbicara, lidahku terasa kelu.

"Kenapa, Na? Ada apa?"

Aku berusaha untuk berbicara namun tetap tidak bisa. Di sudut ruangan, sosok berambut gimbal dengan lidah panjang tersenyum menyeringai.

"Pak, kenapa dengan Asna, ya? Ibu jadi khawatir." Ibu mengelus kepalaku.

"Untung saja semalam kita segera pulang, Bu. Mbak Asna kehilangan banyak darah, kalau kita terlambat sedikit bisa-bisa nyawa Mbak Asna melayang," timpal Aska.

"Tutup mulutmu, ka. Jangan bicara yang tidak perlu. Nanti Bapak panggilkkan Mbah Broto, Bu," tukas Bapak.

"Sekarang saja, Pak. Ibu tidak mau terjadi apa-apa terhadap Asna." Ibu menarik tangan Bapak.

"Baiklah, Bu. Bapak akan ke rumah Mbah Broto sekarang." Bapak berdiri, ia meninggalkanku dan Ibu sendiri.

"Ya Allah, Na. Kenapa bisa sampai begini? Seharusnya Ibu tidak meninggalkanmu di rumah sendiri." Ibu meneteskan air mata.

Kuusap air mata Ibu, aku memberi isyarat dengan menggelengkan kepala. Memang bukan salah Ibu dengan apa yang terjadi kepadaku. Salahku sendiri yang tidak mau ikut ke rumah Bude Parni.

Tak lama kemudian Bapak datang bersama Mbah Broto. Dukun itu terbelalak melihatku.

"Anakmu ini diikuti tiga jin, Mat," ucap Mbah Broto.

"Diikuti tiga jin, Mbah?"

"Iya, entah apa yang telah dilakukan anakmu, sampai ketiga jin itu mengikutinya."

"Lalu bagaimana, Mbah? Apa yang harus kita lakukan? Kasihan Asna tidak bisa bicara," Ibu duduk dengan gelisah.

Mata Mbah Broto terpejam, bibirnya komat-kamit membaca sesuatu, beberapa saat kemudian ia membuka mata.

"Ketiga jin itu sangat kuat, mereka meminta persembahan sebagai ganti suara Asna. Jika tidak, Asna tidak akan bisa bicara untuk selamanya," ucap Mbah Broto.

"Persembahan, Mbah?" Mata Ibu membola mendengar perkataan Mbah Broto.

"Iya, mereka meminta persembahan satu ekor kambing jantan," jelas Mbah Broto.

"Apa pun itu, yang penting suara Asna kembali, Mbah," ucap Bapak mantap.

"Carikan saja kambing jantan, nanti biar aku yang urus semuanya," ucap Mbah Broto.

"Baik, Mbah."

"Aku sudah memagari Asna, mereka tidak akan berani menggangunya, dan untuk suara Asna yang mereka ambil, akan dikembalikan setelah kalian memberikan persembahan kepada mereka, Ini tidak bisa ditawar-tawar. Aku pulang dulu, nanti malam aku kembali lagi dengan catatan sudah ada kambing jantan yang akan dipersembahkan." Mbah Broto berdiri, sebelum pergi ia memegang kepalaku dan meniupkan sesuatu di ubun-ubunku.

Malam yang ditunggu pun tiba, tengah malam Mbah Broto melakukan ritual persembahan untuk menukarkan suaraku dengan kambing jantan yang diminta jin-jin itu. Lampu dimatikan, hanya ada satu lilin sebagai pencahayaan.

Udara malam ini sangat dingin, aku sampai menggigil. Kami duduk melingkar menghadap lilin, dihadapan kami ada bunga tujuh rupa, sebilah keris dan juga dupa. Mbah Broto yang memimpin ritual.

"Berpegangan tanganlah dan jangan ada yang melepaskan, apa pun yang akan kalian lihat nanti, kalian harus tetap diam, jangan bersuara atau pun pergi. Ingat baik-baik pesanku ini!" Tegas Mbah Broto.

"Baik, Mbah," ucap Bapak, Ibu dan Aska serempak, sedangkan aku hanya menganggukkan kepala.

Kami berempat berpegangan tangan, sementara Mbah Broto berada di depan kami, pria itu menempelkan keris ke keningnya, mulut dukun itu komat kamit.

Tak lama kemudian angin bertiup sangat kencang, lilin padam, keadaan menjadi gelap gulita.

Brak...pintu ruang tamu terbuka sendiri, bersamaan dengan itu tercium bau wangi bercampur busuk. Ditengah kegelapan ketiga sosok yang menggangguku muncul.

Tubuh Aska bergetar hebat melihat mereka, aku pun begitu, keringat sebiji jagung keluar dari dahiku.

Sosok bertubuh besar menggeram keras, membuat kami merinding, sosok berambut gimbal dengan lidah panjang menjulur-julurkan lidahnya. Lidahnya yang panjang menyentuh tangan kami, hingga tangan kami basah terkena air liurnya. Aku bergidik dibuatnya. Gangguan yang ketiga oleh sosok pocong, ia terbang melayang-layang diantara kami, banyak belatung berjatuhan dari mulutnya. Tiba-tiba pocong itu berada tepat di depan wajah kami secara bergantian.

"Aagrh." Aska berteriak, ia melepaskan pegangan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status