Share

bab 5

WARUNG SOTO MBOK KARSIEM 5

"Anak laki-lakimu telah mengacaukan semuanya, Dul," tangan Mbah Broto terkepal, wajahnya  memerah.

"Sekarang dia malah pergi, Mbah. Bagaimana ini?" Ibu terlihat panik.

Mbah Broto berdiri, "Ayo kita cari putramu itu, Dul."

"Baik, Mbah." Bapak berdiri, pergi bersama Mbah Broto mencari Aska.

Tinggallah aku dan Ibu di rumah sendirian.

Suara-suara orang tertawa tanpa wujud membuat aku dan Ibu saling merapatkan tubuh. Angin berhembus sangat kencang membuat lilin melik-liuk diterpa angin. Horden jendela berkibar-kibar terkena angin terlihat menyeramkan dikegelapan ini. 

Brak...brak..brak pintu terbanting berkali-kali membuat aku dan Ibu terkejut.

"Ibu takut, Na." Tubuh Ibu bergetar.

Aku melepaskan tangan Ibu yang memegangiku erat.

"Mau ke mana, Na?" tanya Ibu melihatku berdiri.

Aku menunjuk ke belakang.

"Gelap, Na. Di sini saja." Ibu menarik tanganku lagi.

Aku menggeleng, aku memegang perutku, memberi isyarat kepada Ibu.

"Kamu lapar?"

Aku menggeleng lagi.

"Kamu ingin ke toilet?"

Aku mengangguk.

"Apa tidak bisa di tunda nanti saja, Na?" 

Aku menggeleng, perutku terasa sangat melilit. Aku berjalan meraba-raba dinding, mencaru saklar lampu. Aku menghidupkan lampu, sayangnya mati lampu.

Aku mengambil lilin lain yang berada di atas nakas, kuhidupkan lilin itu  dan melangkah kebelakang.

"Tunggu, Na. Ibu ikut, takut sendirian di sini," Ibu menghentikan langkahku.

Aku menoleh kepada Ibu lalu mengangguk. Kami berjalan beriringan, toilet tidak jauh tapi terasa sangat jauh, jalan menuju toilet terlihat sangat menakutkan.

Akhirnya sampai juga di toilet. Aku memberikan lilin kepada Ibu, karena ibuku sangat penaku dan daripada ia teriak-teriak.

"Gelap loh, Na. Ibu temani ya?" Pinta Ibu.

Aku menggeleng, aku mau buang hajat dan Ibu di dalam, bisa-bisa tidak keluar isi perutku lagi pula tidak nyaman hanya buang hajat harus ditemani segala.

"Cepat, Na. Jangan lama-lama," timpal Ibu.

Aku mengangguk, lalu masuk ke dalam dam mengunci pintunya. Kulepaskan celanaku lalu berjongkok mentuntaskan hajatku.

Hem... terdengar suara orang berdehem dari belakang toilet. Tak terlalu aku ambil pusing, mungkin Bapak atau Mbah Broto.

Hem...terdengar lagi suara orang berdehem.

"Bap-," belum selesai aku bicara suara itu berubah menjadi erangan.

"Arrgh," suara siapa itu ya?

"Arrgh." 

Erangan itu semakin keras, membuatku menjadi tidak nyaman. Cepat-cepat aku menyelesaikan hajatku. Ketika aku akan keluar, suara erangan itu menghilang. Karena penasaran aku mengintip melalui lubang yang ada di dalam toilet. Aku membekap mulutku, sosok bertubuh besar dengan bulu lebat ditubuhnya berdiri menghadap dinding toilet, dia  menatapku nyalang, tubuhku mundur hingga terbentur dinding. Tanganku gemetar membuka kunci kamar mandi, setelah aku diluar, keadaan gelap gulita, tidak kudapati Ibu di sana. Di mana Ibu?

Aku berjalan meraba-raba, ingin berteriak namun  tidak bisa mengeluarkan suara. Aku sedikit kesal karena Ibu meninggalkanku sendiri.

Terpaksa aku berjalan dalam kegelapan, sampai menabrak apa saja yang ada di depanku.

"Hihihi," terdengar suara tawa. Siapa yang tertawa? Apa mungkin Ibu? Ah tidak mungkin, itu bukan suara tawa Ibu. Lalu siapa?

Tengkukku meremang, bulu-bulu halus di tanganku berdiri. Seperti ada yang meniup-niup leherku. 

'Siapa itu? Apa maumu?' Aku tidak bisa bicara untuk saat ini, tapi aku yakin mereka bisa mendengarkan suara hatiku.

"Hihihi," lagi-lagi suara tawa yang terdengar.

Aku mengambil apa saja yang ada di dekatku dan melemparnya, 'Pergi.'

"Hihihi," suara itu terdengar jauh. Aku teringat ucapan Mbah Broto, jika suara mahluk halus terdengar dekat, itu berarti dia jauh. Sedangkan jika suara itu jauh berarti dia dekat.

Bulu kudukku semakin meremang, leherku terasa panas, ketika aku memegangi leherku, aku merasakan tangan panjang dan kurus mencengkram leherku, aku kesulitan bernapas.

Dengan sekuat tenaga aku melawan dan mencoba melepaskan cengkraman itu, namun bukannya lepas, tangan itu malah semakin kuat mencengkram leherku. Aku meronta-ronta, namun tidak juga bisa terlepas. 

Dalam keadaan sulit itu, aku membaca doa dalam hati, akhirnya tangan panjang dan keriput itu melepaskan cengkeramannya.

'Alhamdulillah.'

Aku kembali berjalan, kembali aku melempar benda-benda yang ada di sekitarku untuk menarik perhatian Ibu.  Sampai aku berada di ruang tamu, tetap tidak ada Ibu. Sebenarnya ada di mana Ibu. 

Gelisah dan cemas menghinggapku, haruskah aku mencari Ibu atau menunggunya di sini?

"Waaa...," terdengar suara teriakan Ibu dari samping rumah. 

Gegas aku berlari ke samping rumah yang gelap. Di sana Ibu berteriak histeris.

Aku mengguncang tubuh Ibu.

"Asna, dari mana saja kamu, Nduk? Ibu takut!"

'Harusnya aku yang bertanya Ibu ke mana?'

Aku menggandeng lengan Ibu dan mengajaknya masuk ke dalam. Aku dudukkan Ibu ke kursi. Aku mengambil air minum dan memberikannya kepada Ibu.

Setelah meminum air, Ibu terlihat lebih tenang. "Pasti ini semua ulah Mbok Karsiem, gara-gara kamu mengetahui penglaris celana dalam yang digunakannya. Awas kamu Mbok Karsiem." Tangan Ibu terkepal, geram dengan Mbok Karsiem.

****

"Pak, jaga Asna dan Aska!" Ucap Ibu.

"Ibu mau ke mana sepagi ini?" tanya Bapak.

"Ibu mau ke rumah Mbok Karsiem. Mau buat perhitungan dengannya," timpal Ibu.

Aku menarik Ibu yang sudah bersiap melangkah pergi.

"Jangan hentikan Ibu, Na." Ibu melepaskan pegangan tanganku.

Aku menggeleng, melarang Ibu pergi.

"Bapak juga yakin Mbok Karsiem yang melakukan semua ini tapi kita enggak ada bukti untuk menuduh Mbok Karsiem, Bu," tukas Bapak.

Aska di temukan Bapak dan Mbah Broto di kebun Mbok Karsiem, dia meraung-raung seperti orang kesurupan. Aska tertidur setelah diberi jampi-jampi oleh Mbah Broto.

"Pokoknya Ibu mau buat perhitungan sama Mbok karsiem, Pak. Wanita itu sudah menyakiti Asna dan membuat Aska kesurupan," Ibu semakin meradang.

"Ibu enggak boleh ke sana sendirian! Biar Bapak temani," timpal Bapak.

"Ya sudah, ayo, Pak."

****

"Mbok Karsiem! Mbok Karsiem!" 

Keluar dari dalam rumah, wanita tua diikuti anak sulungnya.

"Ada apa, pagi-pagi sekali kalian datang ke rumahku?" Bentak Mbok Karsiem.

"Kamu kan Mbok yang membuat Asna hampir celaka dan tidak bisa bicara?!" Teriak Ibu.

"Heh, Sulis! Jaga mulutmu itu, jangan sembarangan menuduh!" Wajah Mbok Karsiem memerah.

Teriakan Ibu membuat tetangga-tetangga berdatangan.

"Ada apa ini, Bu Sulis, Mbok Karsiem?" Tanya Bu Ijah, tetangga sebelah rumah Mbok Karsiem.

"Apa tidak bisa dibicarakan baik-baik jika kalian berdua ada masalah, apalagi ini masih pagi banget," timpal Pak Kusnan.

“Bu Lastri tuh, Pak. Datang-datang teriak-teriak.” Sungut Murni.

"Aku tidak akan teriak-teriak kalau penjual soto celana dalam ini tidak memulai duluan!" Ibu menunjuk Mbok Karsiem.

"Soto celana dalam?" Orang-orang yang ada di sana terkejut mendengar perkataan Ibu.

"Iya, perempuan tua ini menggunakan celana dalam sebagai penglaris," jelas Ibu.

"Bu Lastri, jangan sembarangan menuduh!" Pekik Murni.

"Aku tidak sembarangan menuduh ibumu, Murni. Asna sendiri yang mengetahui ada celana dalam di kuah soto Mbok Karsiem. Dan karena Asna mengetahuinya, wanita tua ini mengirim peliharaannya untuk mencelakai Asna. Asna hampir mati kehilangan darah, ia juga tidak bisa bicara sekarang," ucap Ibu panjang lebar.

Orang-orang mulai berkasak-kusuk mengenai penglaris celana dalam Mbok Karsiem.

"Apa mungkin ya?"

"Bisa jadi itu, lihat saja setiap Mbok Karsiem jualan soto selalu ramai pembeli, enggak pernah sepi."

"Hih, jijik aku. Mana aku sering banget membeli sotonya Mbok Karsiem."

Suara-suara sumbang mengenai penglaris celana dalam yang dikatakan Bu Lastri membuat Mbok Karsiem meradang.

Wajahnya memerah dan tanganya terkepal.

'Awas kau Lastri.'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status