“Pak Oha main bola dengan teman-teman di Kampung Parigi ya,” Kata Oha sambil berlari mengambil sandal ke arah luar.
“Iya hati-hati, jangan pulang terlalu malam,” Kata Pak Asep yang terlihat sedang merokok di depan rumah pada siang itu.
***
Kembali beberapa jam sebelum Oha bertemu dengan wanita di persawahan ketika sore hari tiba. Saat ini Kampung Sepuh sedang ramai, karena aku masih tidak sadarkan diri. Meskipun matahari sudah berada tepat di atas kepala.
Kali ini di depan sudah ada Pak Caca yang datang dengan motor dinasnya menemui Pak Ardi yang kali ini menunggu hasil dari pemeriksaan Dokter yang anaknya bawa dari kota.
Seorang Dokter yang menjadi Dokter pribadi keluarga mereka, sekaligus teman dari Agus. Karena umurny
Terima kasih sudah menjadi pembaca setia WARUNG TENGAH MALAM ya Vote dan Komen bintang lima ya supaya saya masih tetap semangat untuk uploab bab terbaru Apabila ada kritik dan saran bisa follow hanzociwidey ya terima kasih.
Keramaian di sekitar rumah dan warung tempat aku tinggal yang terjadi tadi siang, kini tidak tampak lagi. Para warga kini pulang ke rumahnya masing-masing, setelah tadi berkumpul kembali di sore hari atas permintaan Pak Ardi. Setelah mengetahui keadaanku saat ini dari seorang dokter yang dipanggil khusus oleh Pak ardi, membuat para warga dan Ibu pun saat ini sedikit lebih tenang. Karena menurutnya, tidak ada yang salah denganku pada saat itu, namun aku masih belum sadarkan diri akibat kehabisan energi dan kelelahan yang sangat parah, sehingga aku seakan-akan sedang tertidur dan Ibu hanya tinggal menungguku untuk bangun. Pak Ardi juga menjelaskan tentang apa yang terjadi pada malam itu. Semua kejadian
Malam semakin larut, sepi dan sunyi menemani Mang Darman dan Mang Rusdi yang masih tetap berjaga di dalam warung itu. Mereka sebenarnya takut, namun karena ada tawaran yang menggiurkan dari Pak Ardi. Mereka mencoba menghilangkan ketakutan mereka demi beberapa lembaran uang merah dan uang biru yang mereka dapatkan di esok hari. Mang Rusdi sedang asyik duduk di depan warung, dengan ditemani secangkir kopi dan rokok yang menemaninya pada malam itu. Juga radio tua yang sengaja dia bawa dari rumah sebagai hiburan untuk mengusir sepi. Dengan suara lagu dangdut yang tidak terlalu jelas terdengar, namun hal itu bisa menjadi hiburan satu-satunya untuk mengusir sepi ketika mereka berjaga. Mengingat Kampung Sepuh ada
Mang Rusdi terlihat panik dengan berlari ke arah belakang warung dengan terburu-buru, tumpahan ampas kopi dan mie rebus yang terlihat kotor di bajunya, bahkan radio yang menyala kini terlihat padam karena kena tumpahan air mie yang berada dekat dengan radio it. Namun sepertinya Mang Rusdi tidak peduli. Dia terus berlari dengan rasa takut yang sangat terlihat dari wajahnya yang nampak panik ke ruangan belakang menghampiri Mang Darman yang berada di sana. Ruangan belakang adalah ruangan kecil di belakang warung. Sebuah ruangan kecil yang memanjang, tempat menyimpan barang dagangan yang ditumpuk memanjang. Di sebelah kiri terdapat kamar mandi kecil dan di sebelahnya terdapat ruangan kecil tanpa pintu yang di dalamnya terdapat kompor kecil, panci untuk memasak air dan beberapa alat makan serta gelas. Biasanya tempat
Bau sesuatu yang terbakar kini tercium jelas oleh Mang Rusdi dan Mang Darman, baru saja mereka berdua melangkahkan kaki ke arah warung, kini mereka harus mencium bau sesuatu yang terbakar. Sesuatu yang mereka percaya bahwa apabila tercium sesuatu yang gosong, berarti ada makhluk yang menyeramkan lain yang sedang memata-matai mereka. “Mang, kayaknya bakalan muncul pocong atau genderuwo sepertinya kali ini Mang,” Kata Mang Darman yang kali ini memegang baju Mang Rusdi karena ketakutan. “Hush gak boleh gitu, ketemu tuyul aja kita seperti ini. Apalagi muncul dua makhluk itu,” Kata Mang Rusdi yang mencoba menahan Mang Darman agar tidak berbicara sembarangan tentang para makhluk yang suka datang ke warung. Mereka berjalan perlahan ke luar warung, mencoba melihat keadaan sekitar warung karena terlihat sepi, tidak
“Mang, Mang naha jadi mati lampu gini? ” Kata Mang Darman yang panik karena seluruh lampu di warung menjadi gelap gulita. Rasa sunyi dan sepi menyelimuti mereka yang baru pertama kali merasakan menjaga warung di Kampung Sepuh pada malam hari, Mang Rusdi yang tidak tahu apa-apa ikutan panik. Karena dia takut, akibat kompor yang terus-terusan menyala tadi, mengakibatkan ada kabel yang terbakar di dekat kompor yang membuat konslet. “Duh gimana ini?” Kata Mang Rusdi yang masih berdiri di dekat kompor yang baru saja dia matikan. "Coba Mang Darman, pinjam HP nya. Biasanya kan di HP suka ada senternya, soalnya aku gak bawa HP malam ini, cuman bawa radio doang,” Kata Mang Rusdi yang berteriak ke Mang Darman dalam kegelapan malam di warung itu. “Aduh Mang, HP ku mah masih HP
“Eh!” Mang Darman dan Mang Rusdi menengok secara bersamaan ke depan warung. Dan terlihat sesosok wanita berdiri di depan etalase warung sembari tersenyum hangat kepada mereka berdua. Sosok wanita Ibu-ibu muda, dengan wajah yang tampak masih cantik dan kulitnya putih. Serta memakai kebaya yang sederhana juga sebuah topi caping yang dikalungkan di belakang leher. Meskipun pada saat itu warung dalam keadaan gelap gulita akibat listrik yang mati, namun kecantikanya masih terlihat meskipun hanya diterangi oleh cahaya lilin yang disimpan di atas etalase. Wanita itu tampak tersenyum kepada Mang Rusdi dan Mang Darman, dan secara tak sadar Mang Darman membalas senyuman dari wanita tersebut.
Sebuah pohon di atas gunung dengan rerumputan yang hijau dan pemandangan yang indah terlihat dari atas sana. Di bawahnya terdapat hutan yang mengelilingi bukit itu, hutan yang sangat gelap dan beberapa dari mereka memunculkan aura yang menakutkan. Sungguh sangat kontras sekali dengan pemandangan yang indah di atas bukit itu. Di sela-sela pohon di hutan itu terdapat banyak sekali pasang mata yang saling mengawasi satu sama lain, mata yang berwarna merah terang seperti memberi isyarat bahwa hutan tersebut adalah wilayahnya dan mereka seperti tidak akan membiarkan siapa pun yang menginjakan kaki di sana. Aku kembali berdiri di tempat ini, tempat yang sepertinya tidak asing bagiku, rasanya aku pernah menginjakan kaki di tempat ini. Tapi aku tidak mengetahui kapan tepatnya aku berdiri di puncak seperti sekarang.
Rasa senang dan haru bercampur aduk di dalam hatiku saat ini, bagaimana tidak. Di depanku ada sosok yang ingin sekali aku temui, meskipun aku tidak tahu bahwa ini adalah jiwa Bapak atau hanyalah suatu memori yang sengaja Bapak simpan ketika dirinya meninggal. Namun aku sangat senang, karena jujur selama aku kuliah di kota. Aku jarang sekali pulang ke Kampung Sepuh, terhitung hanya beberapa kali saja aku pulang ketika libur panjang semester. Itupun tidak lama, karena Ibu dan Bapak seperti tidak ingin membuatku berlama-lama tinggal di Kampung Sepuh. Dan mereka selalu menyarankan aku untuk tetap tinggal di kota, dan menyuruhku untuk tidak terlalu memperdulikan Kampung Sepuh yang menjadi tempat kelahiranku ini. Aku tersenyum sambil melihat