Darah merah seketika keluar dari perut sebelah kiri Ibu, Baju nya yang panjang kini terlihat memerah. Ibu berusaha menahan rasa sakit dengan menahan luka tusukan itu dengan tangannya, meskipun lukanya tidak henti-hentinya mengalir hingga membasahi tangannya.
Tubuhnya seketika terjatuh ke tanah di depan warung, dengan darah yang mengalir hingga membasahi tanah yang ada di depan warung. Icha seketika berdiri dari duduknya dan menghampiri Ibu sambil berteriak dan menangis melihat Ibu yang tergeletak di tanah.
Vito yang tadinya berlari dari kebun depan warung kini hanya terdiam dengan tangan yang bergetar hebat. Bagaimana tidak, entah mengapa, dia seperti tersadarkan pada sore itu. Karena yang dia tusuk bukanl
Saya coba upload dua bab lagi hari ini. tetap support untuk vote dan komen agar saya masih semangat ya dan minta doanya agar saya bisa kembali produktif lagi untuk upload bab-bab terbaru terima kasih
Brak “IBUUUUU!” Aku berteriak sekuat tenaga ketika aku memasuki rumah di sore itu. Dan terlihat, Ibu masih terbaring tidak sadarkan diri di tengah rumah, tubuhnya yang terluka kini sudah ditutup oleh perban. Namun masih terlihat warna merah yang merembes dari perban yang di menutupi badannya. Ibu kini tidak sadarkan diri, matanya yang masih tertutup dan hanya terdengar detak jantung yang masih berdetak. Tidak ada respon dari Ibu ketika aku berteriak dari luar rumah sambil berlari, aku tidak peduli dengan rumahku yang kini kotor karena sendal yang belum sempat aku lepas dari luar rumah. Para warga, terutama Ibu-Ibu yang menemani ibuku hanya bisa terdiam melihatku yang kini menangis meratapi
Icha hanya terdiam di dekat dapur ketika Ibu menghembuskan nafas terakhirnya di dekatku, sebuah perasaan bersalah muncul di dalam dirinya saat ini. Sebuah kesalahan yang membuatnya harus melihat seseorang yang membantunya dan merawatnya ketika dia tidak sadar, harus meregang nyawa di depan matanya seperti hal nya Budi yang harus meninggal dengan cara mengenaskan di Gunung Sepuh. Apalagi, Icha adalah orang yang pertama kali menyetujui ketika Vito mengajak mereka mendaki bersama Vito untuk pertama kalinya. Dan Icha juga yang membujuk Budi untuk bisa ikut serta dengan alasan untuk bisa menjadikan pendakian itu menjadi bahan untuk podcastnya nanti ketika mereka kembali ke kota. “Ini semua salahku hingga seperti ini, Budi, si Ibu warung. Semuanya kehilangan nyawa karena ku.”
Terdengar suara-suara langkah kaki dari orang-orang berjalan dengan tergesa-gesa, Mereka berjalan tanpa ada satu orang pun yang berbicara satu sama lain. Meskipun gelapnya malam menemani mereka saat mereka berjalan. Namun sepertinya mereka tidak peduli lagi dengan perjanjian yang mengikat mereka malam itu, karena ada sesuatu hal yang lebih penting yang harus mereka dengan segera. Awalnya mereka takut untuk keluar pada malam hari, namun setelah semua yang menyaksikan Ibu menghembuskan nafas terakhirnya memberitahukan kepada seluruh warga atas apa yang terjadi dengan mendatangi rumah mereka satu persatu. Akhirnya, pada malam itu, hampir semua warga yang sudah menutup rumah dan jendelanya rapat-rapat, kini memaksakan diri untuk keluar rumah. Dan menghampiri rumahku lagi dengan keadaan duka. Suasana di rumah pun mend
Tiang-tiang gapura itu sudah terlihat usang tiang-tiangnya sudah berkarat, dan tulisan di atasnya sudah tidak jelas terlihat karena cat yang luntur, dan warna putih di atasnya pun sudah terlihat menguning. Rombongan itu kemudian melewati gapura, dan melihat tanah pemakaman yang membentang luas, disana terlihat banyak makam dari beberapa generasi, terlihat dari jenis makamnya dari yang memakai batu sebagai dinding makam, hingga makam yang sudah dilapisi oleh keramik di sekeliling makamnya. Rombongan itu kemudian belok ke salah satu sudut pemakaman itu. Disana terdapat salah satu makam dengan dinding batu dan pohon yang tumbuh di atas makamnya. Terlihat tulisan dengan tanggal lahir dan tanggal meninggal yang terlihat usang dan sedikit muncul lumut di ujungnya. Dan disebelahnya ada makam kosong yang sudah digali, untuk tempat peristirahatan Ibu yang terakhir.
Malam di Kampung Sepuh yang tadinya ramai kini sepi kembali, perlahan-lahan para warga berangkat untuk mengantarkan jenazah Ibu. Kini kembali pulang ke rumahnya masing-masing, mereka kembali menutup pintu dan jendelanya rapat-rapat dengan kesedihan yang mendalam di malam itu. Para warga kini mencoba beristirahat kembali sambil menunggu pagi tiba. Meskipun, kebanyakan dari mereka sepertinya hanya berdiam diri di tengah rumah, sambil merokok atau mendengarkan radio yang menyala sepanjang malam. Sambil memikirkan seseorang yang kini tidak bisa mereka temui di esok hari, seseorang yang seringkali menyapa mereka ketika mereka melewati warung di pagi hari. Tidak ada rasa takut yang dirasakan oleh para warga pada malam itu ketika mereka berada di dalam rumah, rasa kesedihan mereka atas kehilangan seseorang yang mereka hormati lebih besar daripada rasa takut ak
Suara itu terdengar sangat keras, suara kemarahan dari sesosok makhluk yang kehilangan tuannya. Sima yang dari tadi menghilang ketika proses pemakaman Ibu, ternyata meluapkan amarahnya di Gunung Sepuh. Sehingga, ketika aku datang ke Gunung Sepuh ini, tidak ada tanda-tanda makhluk yang datang untuk sekedar mengejekku atau mengikutiku dari belakang. Semuanya menghilang dikarenakan Sima memasuki Gunung Sepuh sendirian. Entah apa yang Sima lakukan, namun sepertinya tujuan kami sama. Mencari sosok makhluk yang menjadi penyebab hilangnya nyawa Ibu pada sore itu. Jujur saja, Sima tidak bisa langsung membunuh Vito atas apa yang dia lakukan kepada Ibu. Apalagi dengan banyaknya manusia yang mengelilinginya pada saat itu. Sehingga ketika kejadian
Di atas sana, tampaknya Kala sangat menikmati pertarungan dua makhluk yang ada di bawah. Dengan santainya dia duduk di sebuah dahan besar yang tinggi dengan menghisap cerutu yang selalu dia bawa. Asap yang dikeluarkan oleh cerutu yang dia hisap mengepul ke atas, sebelum akhirnya asap itu menghilang di antara pepohonan yang tinggi menjulang dan mengelilingi lapangan itu. Kala sepertinya sangat menikmati Sima dan monyet besar itu bertarung satu sama lain, seperti layaknya seorang manusia yang melihat dua ekor hewan yang saling bertarung. Sesekali Kala tersenyum, bahkan bertepuk tangan ketika melihat Sima yang sedang bertarung di bawah sana. Namun, terlihat di belakangnya. Banyak sekali mata merah yang menyala dan tertutup oleh gelapnya malam, mereka sepertinya adalah makhluk yang menjaga Kala ketika dia sedan
Tekanan yang dikeluarkan Kala begitu kuat, daun-daun dari semak-semak yang berada di sekitar lapangan itu berhamburan seketika. Juga para makhluk besar yang menyembunyikan dirinya diantara gelapnya pepohonan hutan, mundur beberapa langkah sehingga membuat dirinya sepenuhnya menghilang. Monyet-monyet kecil yang dari tadi mengelilingi Sima dan monyet besar itu seketika menyingkir dan menjauh ketika Kala turun dan memusnahkan monyet besar itu dengan tangannya sendiri. Meskipun begitu, wajahnya masih tersenyum kepadaku dan Sima yang energinya tampak sudah habis terkuras pada malam itu. Aku tidak menyangka bahwa Sima akan melepaskan dendamnya hingga tubuhnya terluka seperti ini. “Sekali lagi.” Tiba-tiba Kala kembali berbicara k