"Lantas, apa yang harus kita lakukan Gusti Prabu?" tanya Jaya Wiguna meluruskan pandangannya ke wajah sang raja.
"Panggil para senapati! Kita adakan pertemuan sekarang, aku tunggu di ruang utama istana!" tegas Prabu Bagaskara langsung bangkit dan berlalu dari hadapan Jaya Wiguna.
"Kenapa harus melibatkan tiga senapati bodoh itu dalam menghadapi kekacauan ini?" desis Jaya Wiguna.
Meskipun demikian, Jaya Wiguna tetap melaksanakan tugas dari Prabu Bagaskara. Ia langsung melangkah keluar dari ruangan tersebut.
Kemudian, ia memerintahkan kepada salah seorang prajurit untuk segera memanggil para senapati agar segera menghadap sang raja di ruang utama istana.
Kebetulan saat itu ketiga senapati yang dimaksud tengah berada di pendapa istana. Maka, prajurit yang diberi tugas oleh Jaya Wiguna itu langsung melangkah menghampiri para senapati tersebut.
Setibanya di pendapa istana, prajurit itu langsung menyampaikan pesan dari Jaya Wiguna kepada Senapati
Pasukan dari Padepokan Dewa Petir semakin mendekati wilayah kademangan Turonggo. Jasena dan Sumadra sebagai panglima tertinggi segera mengatur strategi pasukannya dari barisan depan hingga barisan belakang untuk melakukan serangkaian serangan ke jantung pertahanan musuh."Kita akan melakukan serangan pada waktu malam. Aku harap sebagian dari kalian segera mendirikan perkemahan di tempat ini!" ujar Jasena berkata kepada para prajurit senior yang berjumlah sekitar seratus orang yang ia percaya sebagai pimpinan dari kelompok-kelompok kecil dari pasukannya.Salah seorang dari mereka kemudian menyahut, "Lantas apakah prajurit yang ada di desa Nelayan akan bergabung dengan kita, Panglima?""Itu sudah pasti, mereka sedang dalam perjalanan menuju ke sini. Begitu pula dengan prajurit jin yang dipimpin oleh Ki Butrik, sebentar lagi mereka akan segera tiba!" tandas Jasena menjawab pertanyaan salah seorang prajurit senior.Dengan demikian, para prajurit senior itu langsung m
Pada malam harinya, dari pihak kerajaan pun sudah bersiaga penuh dengan menyiapkan armada tempur dan para prajurit yang berjumlah sekitar delapan ribu orang dengan perlengkapan senjata yang mumpuni siap digunakan untuk menghadapi serangan lawan yang mereka anggap sebagai pemberontak. Begitu juga dengan para prajurit Padepokan Dewa Petir, mereka sudah bersiap hendak melakukan serangan pertama ke jantung pertahanan musuh yang telah menguasai daerah tersebut. Meskipun mereka kalah jumlah. Namun, mereka tampak berani dan tidak merasa gentar dalam menghadapi para prajurit kerajaan yang bersenjatakan lengkap itu, karena mereka didukung oleh dua pasukan siluman yang memiliki kekuatan tinggi dan sukar direksi keberadaannya. "Bersiaplah!" seru Jasena duduk di pelana kudanya dengan sebilah pedang menyanggul di punggung. "Berangkatlah sekarang!" perintah Wanara mengarah kepada para prajuritnya yang sudah tidak sabar lagi hendak melakukan pengusiran terhadap para
Senapati Loguna kemudian bertempur semakin cepat. Sambil mengerutkan kening ia melihat korban tusukan pedang Jasena bergelimpangan. Mereka adalah para prajurit setianya yang masih bertahan menemaninya bertempur.Namun kemudian terasa bahwa ia harus berbuat lebih banyak lagi dari yang sudah dilakukannya. "Aku tidak boleh berlari dari pertempuran ini. Aku harus bisa mengalahkan mereka," desis Senapati Loguna dalam hati.Senapati Loguna masih selalu dapat mengendalikan diri agar tidak gegabah dalam melakukan serangan terhadap para prajurit Padepokan Dewa Petir. Terutama kepada Wora Saba yang tengah dihadapinya itu.Oleh sebab itu, ia pun kemudian langsung menghunus pedangnya. Bukan karena terdesak oleh kemarahan yang membabi buta. Tapi dengan perhitungan-perhitungan yang menentukan, bahwa ia memang harus menggunakan senjata andalannya itu setelah pedang yang pertama ia keluarkan patah oleh pedang Wora Saba.Kilauan cahaya keluar dari ujung pedang te
Usai terbunuhnya dua senapati kerajaan Rawamerta. Yakni, Senapati Landaka dan Senapati Loguna, maka Jasena segera memerintahkan para prajuritnya untuk mengevakuasi jasad prajurit yang telah binasa dan juga mengevakuasi para prajurit yang terluka akibat pertempuran pada malam itu.Setelah itu, pasukannya langsung kembali ke perkemahan untuk mengurus para prajurit yang menjadi korban dari pertempuran itu, sekaligus hendak beristirahat sejenak.Wanara melarang keras para prajuritnya agar tidak menghancurkan barak milik para prajurit kerajaan Rawamerta. Karena, ia berniat akan merebut barak tersebut dalam serangan berikutnya, dan akan menjadikannya sebagai markas utama bagi para prajurit Padepokan Dewa Petir.Setibanya di perkemahan, Jasena dan Sumadra langsung menghadap Wanara yang saat itu tengah berbincang dengan Ramanggala yang baru saja tiba di perkemahan tersebut dengan membawa tujuh ribu pasukan, sehingga padukan di perkemahan itu bertambah menjadi dua belas
Karena para prajurit itu sudah merasa terdesak. Mereka pun sudah tidak bisa bertahan lagi, maka terdengar sebuah isyarat dari mulut salah seorang prajurit tersebut.Sepertinya salah seorang dari prajurit itu sedang memanggil prajurit lainnya untuk membantu mereka menghadapi Wanara yang tiba-tiba muncul dan berhasil mengalahkan mereka.'Tuiiit ... tuiiit!' Seperti itulah bunyi isyarat dari prajurit tersebut.Beberapa saat kemudian, beberapa prajurit telah berhamburan keluar dari sebuah saung penjagaan yang ada di depan gerbang barak tersebut, mereka mendekat Wanara dan membuat formasi melingkar.Enam prajurit itu langsung mengepung Wanara dengan menodongkan senjata tombak mereka.Wanara hanya berdiam diri dengan sikap tenang.Ia mengerutkan keningnya sambil berkata dalam hati, "Mereka memang benar-benar mempunyai nyali yang sangat besar."Namun kemudian terdengar salah seorang dari para prajurit itu yang terluka parah
Prabu Bagaskara geram sekali dengan kegagalan para prajuritnya yang bertugas di wilayah kademangan Turonggo. Ditambah lagi dengan hadirnya beberapa pendekar yang sengaja berkunjung ke istana dengan sikap yang tidak sopan dan menjengkelkan.Akan tetapi, Prabu Bagaskara tidak dapat berbuat apa-apa, karena jika dirinya berlaku kasar terhadap para pendekar itu. Maka sudah dapat dipastikan, mereka tidak akan mau membantunya dalam mengatasi pemberontakan yang tengah gencar dilakukan oleh para prajurit dari Padepokan Dewa Petir."Kenapa tidak kita usir saja mereka, Gusti Prabu!" kata Panglima Jaya Wiguna menyarankan. Ia merasa gusar dengan sikap diam Prabu Bagaskara."Hei, kau ini bicara apa? Kita akan kehilangan dukungan, jika mereka kita usir!" hardik sang raja mendelik ke arah Panglima Jaya Wiguna.Entah kenapa, Panglima Jaya Wiguna hanya diam saja? Biasanya ia selalu menentang keputusan raja, jika dinilainya tidak sesuai dengan kehendak dan pemikirannya. Aka
Ketika menginjak hari kelima penyerangan terhadap pertahanan pihak kerajaan yang berbasis di kademangan Turonggo.Para prajurit Padepokan Dewa Petir kembali bersiap untuk melakukan pertempuran. Mereka hendak menghadang kedatangan ribuan para prajurit kerajaan Rawamerta.Kali ini, Wanara turut serta dalam pertempuran tersebut, dan akan memimpin pasukannya bersama Ramanggala.Mendadak terdengar suara seruan dari seorang prajurit senior, "Para prajurit! Berikan jalan untuk yang mulia Raja Bumi!"Seketika muncullah Wanara yang telah mengenakan pakaian kebesarannya sebagai seorang pimpinan dari pasukannya. Ia tersenyum lebar melangkah menuju ke barisan terdepan dari ribuan pasukannya itu, diikuti oleh Ramanggala, Jasena, dan para panglima prajurit.Hari itu dua pasukan berkekuatan besar dan berjumlah ribuan prajurit sudah saling berhadap-hadapan di sebuah sabana luas yang akan menjadi arena pertempuran pada saat itu."Wanara! Sebaiknya kau urungk
Maka dari pihak pasukan kerajaan tinggal Panglima Jaya Wiguna bersama Senapati Karama serta lima panglima saja yang memimpin perang. Sementara yang lainnya sudah kabur meninggalkan arena pertempuran.Wanara dalam pertempuran itu, sudah membuktikan kegagahan dirinya. Hingga akhirnya Senapati Karama dan lima panglima lainnya kabur dari arena pertempuran itu.Tiba-tiba muncul pula Sumadra yang ikutan menyerang Panglima Jaya Wiguna dari udara. Ia tidak segan-segan langsung menyabetkan pedangnya ke arah Panglima Jaya Wiguna yang tengah berhadap-hadapan dengan Wanara.Dengan gerakan cepat, Panglima Jaya Wiguna segera menghindar dari terjangan pedang yang hampir mengenai tubuhnya. Sehingga serangan dari Sumadra hanya mengenai angin kosong saja.Panglima Jaya Wiguna berdiri sambil memandang sinis ke arah Sumadra dan Wanara yang ada di hadapannya. Sedikitpun ia tidak merasa gentar menghadapi kedua pendekar itu."Semua prajurit sudah meninggalkan dirimu send