Pada keesokan harinya, Wanara ditemukan dalam kondisi mengenaskan oleh dua orang pemuda. Tubuhnya dipenuhi sampah-sampah pantai yang terbawa ombak hampir menutupi tubuh Wanara, dan pakaiannya pun dalam keadaan basah oleh air laut.
Ketika dua pemuda tersebut tiba di pantai itu, tubuh Wanara hampir tergerus ombak. Beruntung kedua pemuda itu langsung menolongnya, dan membawa Wanara ke sebuah gubuk tempat tinggal mereka yang ada di dalam hutan bakau tidak jauh dari pesisir pantai itu.
"Langsung masukkan ke dalam saja!" kata salah seorang pemuda tersebut mengarah kepada kawannya.
"Bantu aku! Orang ini tubuhnya sangat berat sekali," desis kawannya.
Dengan demikian, kawannya pun langsung membantu membawa Wanara masuk ke dalam gubuk tempat tinggal mereka. Tubuh Wanara langsung dibaringkan di atas bebalean yang ada di dalam gubuk itu.
"Sepertinya orang ini sudah satu malam berada di pantai," kata Sumadra berkata lirih kepada Jasena.
"Aku rasa memang seperti itu," jawab jasena melepas tali pedang pusaka yang menyanggul di punggung Wanara.
"Pedang ini sangat bagus," desis Jasena berusaha mengeluarkan pedang tersebut dari selongsongnya.
Namun, Jasena tampak seperti kesulitan dalam mengeluarkan pedang itu dari selongsongnya. Terasa berat dan teramat sulit untuk dikeluarkan.
"Hati-hati! Jangan sembarangan kau sentuh pedang itu!" seru Sumadra mencegah Jasena, karena ia khawatir akan terjadi sesuatu menimpa kawannya itu.
"Baiklah, aku tidak akan mengeluarkan pedang ini." Jasena kembali meletakkan pedang tersebut di samping pembaringan Wanara.
"Siapakah orang yang sudah tega menganiaya orang ini?" desis Sumadra sambil menyeka tubuh Wanara dengan kain basah.
"Entahlah, aku rasa orang ini adalah seorang pendekar pengelana," sahut Jasena membantu melucuti pakaian Wanara yang sudah tampak kotor oleh kotoran dan sampah pantai.
Setelah selesai membersihkan tubuh Wanara, Sumadra dan Jasena langsung mengobati luka di kening Wanara yang tampak melebar dan membiru, semua itu dikarenakan benturan keras mengenai batu karang yang ada di tepi pantai tempat Wanara ditemukan.
"Syukurlah, orang ini masih dalam keadaan hidup. Itu tandanya Dewata agung masih melindunginya," ucap Jasena langsung mengganti pakaian Wanara menggunakan baju miliknya.
"Aku rasa pakaian itu tidak cukup di tubuhnya orang ini. Coba kau pakaikan bajuku ini!" Sumadra melempar baju miliknya ke arah Jasena.
Jasena segera meraihnya dan langsung memakaikan baju tersebut ke tubuh Wanara yang masih belum sadarkan diri. Setelah memakaikan baju, Jasena pamit kepada Sumadra.
"Kau jaga orang ini! Aku mau mencari makanan!" kata Jasena lirih, tangannya seperti sedang mengepal sesuatu.
"Apakah kau mau ke perkampungan?" Sumadra balas bertanya sembari menatap wajah sahabat baiknya itu.
"Ya, aku mau ke sana untuk membeli bahan makanan," jawab Jasena tersenyum-senyum.
Sumadra mengerutkan kening, menatap tajam wajah Jasena. Kemudian bertanya lagi, "Uang dari mana, Jasena?" Sumadra mengamati tangan Jasena yang tampak mengepal sesuatu.
Jasena menggaruk kepala tanpa gatal. "Aku dapat ratusan keping uang dari saku bajunya orang ini," jawabnya cengengesan.
Sumadra mendelik ke arah Jasena. Kemudian berkata, "Simpan lagi uangnya! Itu bukan milik kita!" Sumadra memarahi Jasena.
"Iya, aku kembalikan." Jasena menyimpan kembali kantung yang berisi ratusan keping uang di samping pembaringan Wanara.
"Terus malam ini kita makan apa?" tanya Jasena tampak bingung.
"Untuk sementara, kita tetap makan buah-buahan yang ada di hutan ini!" jawab Sumadra dengan entengnya.
Dengan suara berat, Jasena pun menjawab, "Baiklah," kata Jasena membaringkan tubuhnya di samping Wanara.
Di hutan itu memang terdapat bermacam-macam buah-buahan yang matang silih berganti. Setiap harinya selalu saja ada yang matang, membuat Sumadra dan Jasena tidak pernah kekurangan bahan makanan.
Hutan itu sudah mereka huni selama satu tahun lebih. Awal mula kedatangan mereka di hutan tersebut, dikarenakan mereka mendapat kasus besar di istana. Sepasang patung suci milik raja sudah dirusak oleh Sumadra dan Jasena yang kala itu menjadi pelayan di istana kerajaan Tunggal Pulo yang sebagian wilayahnya merupakan kepulauan kecil yang terletak di tenggara pulau Jowaraka.
*****Beberapa jam kemudian, Wanara sudah terlihat menggerak-gerakkan tangannya. Jasena dan Sumadra tampak semringah dan segera mendekati Wanara yang saat itu sudah membuka matanya.
Berkatalah Wanara dengan bola mata masih tampak sayu, "Kalian siapa?" tanya Wanara tampak penasaran.
"Sekarang aku ada di mana? Pedangku mana?" sambung Wanara berusaha bangkit.Akan tetapi, tenaganya memang masih lemah dan belum bisa bangkit, sekali bangkit itu hanya untuk duduk saja.
"Dadaku sangat sakit," kata Wanara meringis sambil memegangi dadanya.
Jasena segera mencegah Wanara, "Sebaiknya kau berbaring saja!" kata Jasena merasa khawatir dengan kondisi Wanara.
Wanara terus mengamati wajah kedua pemuda yang sudah menolongnya itu, tatapan matanya penuh selidik terhadap Jasena dan Sumadra yang masih tampak asing menurutnya.
Kemudian, Wanara bertanya lagi, "Kalian siapa?" Wanara mengerutkan kening sambil memandangi wajah Jasena dan Sumadra.Jasena dan Sumadra saling berpandangan, kemudian mereka berpaling ke arah Wanara yang tampak bingung dan penasaran terhadap mereka.
Jasena pun segera menjawab, "Aku Jasena dan ini Sumadra, kami menemukanmu dalam keadaan tidak sadarkan diri di tepi pantai."
"Ya, tubuhmu hampir terseret ombak, beruntung kami segera datang," timpal Sumadra menyambung ucapan Jasena.
"Ya, Dewata agung! Semoga perbuatan baik kalian membawa keberuntungan," ucap Wanara tampak senang dan merasa berterima kasih kepada dua pemuda itu.
Lalu, Wanara diam termangu. Perutnya yang kosong berbunyi hingga terdengar oleh kedua pemuda yang sudah menolongnya itu.
"Perutku perih, sepertinya aku lapar. Apakah di sini ada warung?" sambung Wanara bertanya lagi, ia belum sadar kalau dirinya tengah berada di gubuk yang berdiri di sebuah hutan bakau yang jauh ke perkampungan.
Jasena dan Sumadra tertawa kecil mendengar pertanyaan dari Wanara. Berkatalah Sumadra, "Ini hutan mana ada warung di sini, adanya di desa dekat bibir pantai. Namun, jaraknya sangat jauh dan kami pun tidak mempunyai uang!"
"Jika kalian mau, pakai saja uangku! Aku punya banyak kepingan uang!" Wanara meraba saku baju yang melekat di tubuhnya.
"Uangku hilang," ucapnya panik. "Di mana uangku?" Wanara terus meraba-raba saku baju dan celana yang ia kenakan itu.
Jasena dan Sumadra tertawa lagi. "Coba kau perhatikan. Baju siapa itu yang melekat di tubuhmu!" kata Jasena tersenyum-senyum.
Wanara pun mengamati baju yang melekat di tubuhnya. Setelah sadar kalau itu bukan baju miliknya, Wanara pun tertawa kecil dan geleng-geleng kepala.
"Lantas, uangku di mana?" tanya Wanara.
Jasena meraih kantung uang milik Wanara di samping pembaringan Wanara yang sedikit tertutup oleh cawan. Kemudian menyerahkan kantung tersebut. "Uangmu masih utuh," kata Jasena.
Wanara tersenyum dan banyak mengucapkan terima kasih kepada kedua pemuda yang sudah menolongnya itu. Kemudian, Wanara menyerahkan beberapa keping uang kepada Jasena. "Silahkan kau belanjakan uang ini untuk kebutuhan kita selama berada di sini!" kata Wanara lirih.
Jasena menoleh ke arah Sumadra, lantas ia pun meminta penilaian sahabatnya, "Bagaimana ini?" tanya Jasena tampak ragu menerima uang tersebut.
"Terimalah, dan belanjakan uang tersebut untuk keperluan kita di sini!" jawab Sumadra sambil mengangguk.
"Baiklah," sahut Jasena bangkit. "Kalian tetap di sini, aku mau berangkat belanja!" sambungnya tampak bersemangat.
"Hati-hati, Kawan!" ucap Wanara tersenyum lebar memandangi langkah sahabat barunya itu.
"Iya, kau jangan khawatir," sahut Jasena tanpa menoleh ke belakang.
Ia melangkah keluar dari gubuk tersebut, menuju ke arah timur menyusuri jalanan pantai yang berada di utara hutan tempat tinggalnya itu.
Sumadra bangkit dan langsung memberikan air minum kepada Wanara. "Minumlah, Wanara!"
"Ya, terima kasih, Sumadra." Wanara bangkit dengan dibantu oleh Sumadra dan duduk berhadap-hadapan dengan sahabat barunya itu.
Wanara tampak haus satu air dalam batang bambu yang dijadikan sebagai gelas itu habis tak tersisa. Bertanya lagi Sumadra, "Mau aku isi lagi airnya?"
"Cukup, aku sudah tidak kehausan lagi!" jawab Wanara menolak halus tawaran dari Sumadra.
"Baiklah, kau tidur saja dulu! Aku mau mencari kayu bakar untuk masak nanti!" kata Sumadra bangkit.
"Kalau ada buah yang bisa dimakan, tolong petikan satu saja untukku. Aku lapar!" pinta Wanara.
Sumadra tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Baiklah, aku akan segera kembali," pungkasnya langsung berlalu dari hadapan Wanara.
*****
Dalam perjalanan menuju ke sebuah perkampungan yang ada sebelah timur hutan tempat tinggalnya, Jasena berpapasan dengan dua orang pria yang tidak ia kenal. Mereka tampak sinis ketika melihat kedatangan Jasena, dua orang itu terus memandangi wajah Jasena. Namun, Jasena tetap bersikap tenang dan bertutur sapa dengan sopan terhadap kedua pria itu. Tiba-tiba, salah seorang dari mereka berteriak memanggil Jasena, "Hai, Anak muda! Kemarilah sebentar!" Seketika, Jasena menghentikan langkahnya. Lalu ia berpaling ke arah kedua pria itu. "Iya, Ki. Ada apa?" jawab Jasena balas bertanya. "Kemarilah!" pinta salah satu dari dua orang pria itu. "Mau apa mereka?" desis Jasena segera menghampiri. Setelah berada di hadapan kedua pria tersebut, Jasena hanya diam dan tidak berkata apa-apa. Salah satu dari mereka kembali bertanya, "Kau mau ke mana, Anak muda?" Jasena me
Wanara tampak kaget dan segera bangkit dari tempat pembaringannya. "Ternyata aku hanya mimpi," desis Wanara. Wanara langsung meraih gelas yang terbuat dari potongan batang bambu berukuran sedang, kemudian menuangkan air dari dalam kendi ke dalam batang bambu tersebut. "Kau kenapa, Wanara?" tanya Sumadra bangkit dan mengamati Wanara yang sedang minum. "Aku mengalami mimpi," jawab Wanara terengah-engah. Sumadra tampak penasaran, lantas ia pun bertanya lagi, "Mimpi tentang apa, Wanara?" Wanara pun segera menceritakan tentang mimpinya itu kepada Sumadra. Tak hanya Sumadra, Jasena pun saat itu sudah terjaga dari tidurnya karena mendengar suara gaduh kedua sahabatnya itu. "Menurut cerita para penduduk, memang benar kalau di hutan ini terdapat manusa pondok, seperti yang masuk dalam mimpimu itu," timpal Jasena sambil menatap wajah Wanara yang dipenuhi keringat.
Menurut kabar dari orang-orang yang pernah dimintai keterangan oleh Wanara. Mereka menyebutkan bahwa kerajaan Jantara itu, memiliki keindahan alam yang sangat luar biasa. Konon katanya, kerajaan Jantara seindah rembulan purnama. Di wilayahnya terdapat banyak pepohonan obat dan rempah-rempah yang sangat diburu oleh para tabib dari berbagai pelosok kerajaan di sejagat raya. Wanara dan kedua rekannya menjelajah seantero wilayah kerajaan tersebut. Kebiasaan penduduk di wilayah kerajaan Jantara yang dijumpainya, tidak jauh berbeda dengan para penduduk di kerajaan Rawamerta. "Besok pagi kita harus berjalan ke barat, melewati bukit itu!" kata Wanara meluruskan jari telunjuknya ke arah perbukitan yang menjulang tinggi di arah barat dari tempatnya berdiri bersama kedua kawannya. "Terus malam ini kita tidur di mana, Wanara?" tanya Jasena mengerutkan kening menatap tajam wajah Wanara. Wanara tersenyum dan menudingkan jari telunjuknya ke sebuah gundukan b
Jasena dan Sumadra segera meraih ikan dalam kantung itu, mereka pun segera membersihkan ikan-ikan tersebut, kemudian langsung membakarnya. "Akan lebih enak lagi kalau ikan itu ditambahkan bumbu rempah!" seloroh Wanara. "Dari mana kita bisa mendapatkan bumbu tersebut?" tanya Sumadra terheran-heran dengan ucapan sahabatnya itu. "Kau pergi ke desa beli di warung!" gurau Wanara tertawa lepas. Sumadra mendelik ke arah Wanara. Lalu, ia berkata, "Kau mendapatkan ikan ini dengan cara bagaimana, Wanara?" tanya Sumadra sambil membolak-balik ikan yang sedang ia bakar itu. "Aku menangkapnya dengan tanganku sendiri," jawab Wanara sambil tersenyum lebar. "Sungguh?" timpal Jasena kembali bertanya tampak ragu dengan apa yang dikatakan oleh Wanara. "Aku memang bukan pandita atau ulama, tapi aku tidak bohong. Ikan-ikan itu, aku tangkap menggunakan tangan kosongku," tegas Wanara. "Tidak ada yang menuduhmu berbohong, aku hanya memastikan,"
Usai menebang dan memotong pohon tersebut menjadi dua bagian, Wora Saba langsung mengajak Wanara dan kedua sahabatnya untuk segera ikut dengannya."Kalian mau ikut denganku atau tetap berada di hutan ini?"Wanara tidak langsung menjawab, ia berpaling ke arah Sumadra dan Jasena. Lalu, bertanya kepada kedua sahabatnya itu, "Apakah kalian mau ikut ke padepokan bersama Wora Saba?"Kedua pemuda itu menjawab tanpa bersuara, mereka hanya mengangguk tanda setuju ikut dengan orang tersebut."Kami ikut denganmu," tandas Wanara.Wora tersenyum dan merasa senang, karena Wanara dan kedua rekannya mau ikut dengannya."Ya, sudah. Ayo, kita berangkat sekarang!" ajak Wora Saba langsung meraih batang kayu Lemo yang sudah dibagi menjadi dua potong itu."Baiklah, sini aku bantu!" jawab Wanara meminta Wora Saba untuk menyerahkan batang pohon tersebut kepadanya.Wora Saba tersenyum dan segera menyerahkan satu batang potongan pohon Lemo kepada Wanara. Wanara tampak riang dan tidak
Pada suatu hari, Wanara mengajak Wora Saba berbincang di pendapa padepokan. Mereka hanya berdua saja, tanpa Jasena ataupun Sumadra. Karena hari itu, kedua rekannya sedang membantu Resi Wana bercocok tanam di sebuah ladang yang ada di belakang kediamannya itu."Apakah kau tahu tentang orang sakti di desa ini selain guru?" tanya Wanara lirih.Wora Saba hanya tersenyum, kemudian menjawab lirih, "Yah, aku tahu!"Wanara segera menggeser posisi duduknya, lebih mendekat ke arah pemuda yang pandai membuat ukiran kayu dan dipercaya sebagai seorang tabib muda yang bisa mengobati berbagai penyakit."Siapa namanya, Wora?" bertanya lagi Wanara dengan bola mata lurus ke wajah sahabat barunya itu."Wirya Tama!""Apakah dia punya padepokan seperti guru kita ini?"Wora tersenyum, seakan-akan tidak merasa risih meskipun diberondong beberapa pertanyaan oleh Wanara, "Ya, Ki Wirya Tama mempunyai pondok sama seperti guru kita. Sekarang masih ada sekitar puluhan murid yang masih menun
Beberapa hari kemudian, Wanara meminta izin kepada gurunya untuk berangkat ke sebuah tempat yang berada di balik bukit yang jaraknya lumayan jauh dari padepokan milik Resi Wana.Tanpa banyak pertanyaan, Resi Wana langsung mengizinkan muridnya itu untuk berangkat ke tempat yang dimaksud. "Silahkan kau pergi ke sana, dan yakin pada dirimu untuk senantiasa mempelajari ilmu kanuragan dengan baik dan bersungguh-sungguh. Dia adalah Wirya Tama yang akan menjadi gurumu dan akan mengajarkanmu jurus tenaga dalam!" ucap Resi Wana penuh kebijaksanaan, memberi izin tanpa banyak tanya."Terima kasih, Guru. Aku akan berangkat esok lusa." Wanara terlihat senang dan bahagia mendengar jawaban dari Resi Wana.Orang tua itu hanya tersenyum, menatap lekat wajah Wanara yang berparas tampan itu. Kemudian, ia berkata lirih, "Namaku tersimpan dalam kalimat namamu Wana bermakna kesatria dan Ra, bermakna tangguh. Jadi Wanara artinya kesatria tangguh!"Wanara dan kedua rekannya saling berpa
Setelah berhasil melewati hutan yang banyak ditumbuhi pepohonan tinggi berdaun lebat, Wanara menghentikan langkah sejenak. Ia berdiri tegak mengatur pernapasan sambil mengamati sekitaran tempat tersebut. Tampak butiran peluh keluar dari pori-pori keningnya, hingga mengalir membasahi wajah yang sudah tampak pucat kelelahan."Katanya dekat? Ini rasanya sudah berjalan lama tapi tak kunjung tiba," gumam Wanara memandangi puncak bukit yang menjulang tinggi di hadapannya.Kemudian, ia meraih batang bambu berukuran dua jengkal telapak tangan, sebagai wadah air minum. Lalu, Wanara meminum air tersebut hingga hampir menghabiskan isi dalam wadah batang bambu itu. Sejenak, ia berdiam diri sambil mengamati suasana di hutan tersebut. "Aku harus melanjutkan perjalanan ini," desis Wanara kembali melangkah naik ke atas bukit tersebut, menyusuri jalanan setapak.Ia tidak menghiraukan rasa lelah yang mendera, karena ingin segera tiba di tempat tujuan sebelum menjelang sore. Peluh kian be