Esok harinya, ketika matahari baru terbit. Wanara sudah menampakkan wajah mendung di hadapan gurunya, ia merasa sedih jika harus meninggalkan Ki Wirya Tama sendirian.
"Kau tidak usah khawatir. Barga akan menemaniku di sini. Ingat, harus pulang sekarang, Santika menunggumu!" kata Ki Wirya Tama tersenyum-senyum.Wanara tidak dapat berkata-kata lagi, ia langsung memeluk tubuh pria berusia senja itu. Setelah itu, Wanara langsung pamit kepada gurunya."Aku berangkat sekarang, Guru. Terima kasih atas ilmu yang sudah Guru ajarkan, semoga bermanfaat.""Berangkatlah, dan berhati-hatilah!" kata sang guru melepas kepergian Wanara.Wanara segera melangkah tanpa menoleh lagi ke arah gurunya. Sejatinya, ia merasa tidak tega melihat pemandangan tersebut. Oleh sebab itu, Wanara mempercepat langkahnya agar segera menjauh dari kediaman Ki Wirya Tama."Di padepokan Ki Resi Wana, aku harus mengamalkan jurus pamungkas ini," desis Wanara sambil terus melangkah menyusuri perbDi suatu sore yang sejuk, Resi Wana mengajak keempat muridnya duduk-duduk santai bercengkerama sembari menikmati keindahan alam saat matahari terbenam di ufuk barat. "Wanara, kemarilah!" panggil Resi Wana."Iya, Guru. Sebentar!" sahut Wanara sambil maju dengan segera menghampiri gurunya.Resi Wana menoleh ke arah Wanara. "Mana pengawalmu?" tanya Resi Wana.Dengan lirihnya, Wanara pun menjawab, "Ki Butrik sudah berangkat ke hutan untuk membantu Wora Saba menebang kayu, Guru."Resi Wana hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya, kemudian ia berkata lagi, "Pelajaran jurus pamungkasmu bagaimana, Wanara?""Berkat restu Guru, aku sudah berhasil menguasai semuanya," jawab Wanara dengan raut wajah bahagia. "Sekarang aku sudah bisa melompat tinggi," sambung Wanara."Maksudmu terbang?""Iya, Guru. Kau lihat!" Wanara bangkit dan langsung ambil ancang-ancang kemudian menghentakkan kakinya melompat tinggi ke udara dengan begitu ringan dan mudahnya.
Di suatu hari, bertepatan dengan pergantian musim hujan ke musim kemarau. Wanara dan sahabat-sahabatnya tengah berkumpul di bawah atap pendapa sambil berbincang-bincang."Wanara, nasibmu jauh lebih bagus daripada aku yang lebih dulu menuntut ilmu di sini," ujar Wora Saba tersenyum mengarah kepada Wanara."Kau lebih hebat dariku, Wora Saba," sahut Wanara tetap merendah."Sewaktu di padepokan Ki Wirya Tama, katanya kau diajarkan ilmu pamungkas untuk menghindari malapetaka. Benarkah?" tanya Wora Saba lirih."Iya, itu memang benar. Tapi, belum sepenuhnya sempurna," jawab Wanara. "Kau lihat sendiri, terbang saja aku masih belum bisa tinggi!" sambung Wanara."Intinya kau harus yakin dan jangan putus asa!" Wora Saba senantiasa memberikan dukungan kepada sahabatnya itu."Berkat ajaran dari guru, yang tanpa lelah. Baik itu Guru Wirya Tama ataupun Guru Resi Wana. Keduanya sudah membuat bangkit semangatku untuk menekuni ajaran dari mereka secara terus-menerus sian
Wanara hanya tersenyum-senyum melihat ketiga kawannya sedang bertarung melawan ketiga perampok itu."Aku tidak mempunyai pasangan untuk berkelahi," teriak Wanara."Kau diam saja. Ini urusan kami!" Wora Saba menyahut sambil terus menggempur musuhnya."Ya, sudah. Aku jadi penonton saja!" Wanara langsung melangkah mundur dan duduk santai di sebuah batang pohon yang roboh yang ada di pinggiran jalan tersebut.Setelah lama bertarung. Akhirnya, Wora Saba dan kedua rekannya mendapatkan kemenangan, dengan sangat mudahnya mereka sudah menjatuhkan keempat pria paruh baya itu. Lantas, Wanara bangkit."Hai, Pak tua! Memangnya kalian ini tidak ada kerjaan lain selain jadi perampok?" tanya Wanara berkecak pinggang di hadapan ketiga perampok itu."Tidak ada lagi Raden. Kami terpaksa menjalankan pekerjaan seperti ini," jawab salah satu dari mereka tampak gemetaran, ketika melihat sebuah sinar keluar dari bola mata Wanara."Apa kau bilang? Pekerjaan?!" Wanara menge
Setelah melakukan pendaratan dengan sempurna, Wanara langsung bergegas menuju ke sebuah desa yang ada di tepi pantai tersebut. Desa tersebut merupakan tempat kelahirannya tidak jauh dari perkampungan nelayan tempat Wanara bertemu dengan Jasena dan Sumadra.Tetapi rasanya aneh sekali, karena tak kelihatan satu orang pun di sekitar desa tersebut."Guru! Aku datang!" teriak Wanara dengan suara lantang dengan air muka berseri-seri.Mendengar suara teriakan dari Wanara. Tiba-tiba saja, orang-orang dari desa tersebut keluar dari persembunyiannya, semua beramai-ramai mengerumuni dan mengelu-elukan Wanara."Ternyata, kau Wanara. Kami mengira kau makhluk dari angkasa yang terbang dan mendarat di sini akan membuat malapetaka," ujar salah seorang dari mereka.Kemudian, ada seorang pria berkata, "Wanara, kau tega sekali meninggalkan gurumu seorang diri.""Guruku di mana guruku?" tanya Wanara tampak sudah tidak sabar lagi ingin berjumpa dengan gurunya."Ki Agen
Di atas udara, ia memutar tubuhnya dan melesat ke arah selatan. Dalam sekejap mata, Wanara sudah tiba di sebuah gubuk sederhana milik Ki Ageng Jayamena yang telah lama ia tinggalkan.Matanya yang tajam mengawasi sekeliling rumah tersebut. Kemudian, ia meluncur turun dari ketinggian dan mendarat tepat di hadapan rumah sederhana yang berdiri kokoh di tengah perkebunan pisang yang berjajar rapi di sepanjang jalan dan di bagian sisi kanan dan kiri rumah tersebut.Kemudian, Wanara melangkahkan kakinya mendekati daun pintu rumah itu. Ia tampak ragu untuk mengetuknya. "Apakah guru akan memaafkan aku?" desis Wanara berdiri di balik pintu dengan menampakkan wajah penuh kegundahan.Akan tetapi, rupanya Ki Ageng Jayamena sudah mengetahui kedatangan muridnya itu. Maka dari dalam rumah, ia pun berkata mempersilahkan Wanara untuk menunggunya di beranda rumah."Duduklah, Wanara. Sebentar lagi aku akan keluar!" kata sang guru."I–iya, Guru," jawab Wanara gugup, kemudi
Keesokan harinya, Wanara langsung mendatangi tempat yang dituju. Yakni, barak para prajurit kerajaan Rawamerta yang menamakan diri mereka sebagai prajurit Dewa petir.Ketika sedang terbang, Wanara mendengar suara gaduh orang-orang sedang tertawa. Seperti sedang merayakan sesuatu.Dengan cepat, ia menukik turun dari udara menuju ke arah asal suara itu.''Aku rasa, itu adalah tempatnya," desis Wanara mengarahkan dua bola matanya ke beberapa bangunan barak yang berjajar rapi di sepanjang pantai.Kakinya segera menginjak tanah kembali, tepat di depan deretan barak-barak tersebut. Ratusan prajurit kala itu tengah beristirahat sambil berbincang-bincang, tampak kaget dengan kedatangan Wanara."Hai, pasukan Dewa petir!" seru Wanara.Para prajurit itu tampak ketakutan. Mereka mengira Wanara adalah siluman yang datang dari langit, para prajurit itu hendak berlari masuk ke dalam barak. Namun, Wanara segera mencegahnya, "Prajurit Dewa petir jangan kabur kalian!" be
Wajah Panglima Rasoma memang terlihat garang. Tubuhnya tampak kekar berotot dan tinggi mirip raksasa, dengan membawa sebilah pedang bergagang kepala naga, sepasang matanya bulat dan tajam wajah Wanara."Hai, Algojo!" teriak Wanara menyambut kedatangan Panglima Rasoma. "Kenapa kau tidak mau menatap wajahku?" sambung Wanara bertanya.Panglima Rasoma menunduk, kemudian mengangkat wajahnya, dan tertawa lepas ketika melihat Wanara. Lantas, ia berkata, "Tubuhmu sangat kecil, kau juga tidak membawa senjata. Tapi keberanianmu sungguh luar biasa, meskipun tidak sepadan dengan kondisimu.""Hai, Algojo! Jangan pernah kau menghinaku, aku bukan anak kemarin sore!" hardik Wanara membentak keras.Begitu menghentikan ucapannya, Wanara langsung melangkah maju. Panglima Rasoma tampak memandang sebelah mata, ia tidak percaya kalau Wanara mempunyai kesaktian tinggi."Hai, Anak muda! Jika aku melawanku, apa kata dunia persilatan? Aku pasti dapat cibiran karena sudah melawan pendekar seper
Satu minggu kemudian, Wanara sudah menjemput Jasena, Sumadra, dan Ki Butrik yang merupakan pengawal pribadinya. Semua atas perintah Ki Ageng Jayamena yang menginginkan kawan-kawannya Wanara berkumpul di desa tersebut dan segera menghimpun kekuatan untuk membentengi diri dari cengkraman penguasa jahat kerajaan Rawamerta."Aku berharap kalian ikut ke pulau Jowaraka, ada tugas penting dari guruku!" kata Wanara berbicara di hadapan kawan-kawannya.Belum sempat menjawab, tiba-tiba Resi Wana sudah menyahut dari belakang sambil melangkah menghampiri Wanara dan kedua rekannya."Kalian berangkat duluan! Tujuh hari ke depan, kami pun akan bertolak ke sebrang dan akan ikut berjuang menegakkan keadilan di tanah Jowaraka!" tandas Resi Wana.Wanara dan kedua rekannya langsung berpaling ke arah datangnya pria senja itu. Kemudian, mereka menjura sambil membungkukkan badan seraya memberi hormat kepada sang guru."Terima kasih, Guru," sahut Wanara."Berangkatla