***Bu Nela sedikit berlari ke arah dimana Helena berdiri dengan mulut ternganga. Melihat Helena yang baik-baik saja membuat perasaan wanita paruh baya itu sedikit lega. Dipeluknya Helena yang masih mematung di ambang pintu."Tante khawatir banget waktu Hazel bilang kamu pergi liburan gak ngasih kabar," tutur Bu Nela dengan posisi masih terus memeluk Helena. "Kamu sehat kan, Len?"Helena mengangguk. Tangannya yang sejak tadi menggantung kini sudah membalas pelukan Bu Nela dengan perasaan rindu. "Maaf, Tante," cicit Helena lirih. "Aku ....""Tante paham, sudah, jangan jelaskan apapun," sela Bu Nela.Bu Nela melepaskan pelukan sementara dua pria berbeda usia sedang berjalan mendekat. Hazel dengan wajahnya yang datar, dan Pak Prabu dengan air muka sumringah."Kamu baik-baik saja, Len?" tanya Pak Prabu. Kedua mata Helena memanas. Dia menghambur di pelukan Pak Prabu laiknya seorang putri yang tengah memeluk orang tuanya sendiri. "Maafkan Hazel, dia memang bodoh!" kata Pak Prabu sarkas. "
***"Me-- menikah?" tanya Helena gagap. "Siapa?"Bik Asih menepuk-nepuk bibirnya berulang kali karena kelepasan mengatakan rencana pernikahan Hazel yang entah akan disetujui atau tidak oleh Helena. "Siapa, Bik?" cecar Helena. "Katakan!""Anu, Non ....""Apa sih, Len, kamu kepo banget," sela Hazel cepat. "Lagian Bik Asih itu nanya ke aku, bukan kamu!"Helena menganga. Dia menatap Bik Asih dan Hazel bergantian dengan sorot mata penuh rasa ingin tahu. "Jangan macam-macam kamu, Hazel!" Helena berbicara ketus. "Bilang apa kamu sama Bik Asih, hah?Hazel mencebik. Dia meneguk minuman di atas meja tanpa peduli dengan tatapan tajam yang Helena lontarkan. Sementara Pak Prabu dan Bu Nela memilih diam, mereka menyerahkan sepenuhnya masalah hati ini pada Hazel dan Helena. "Tante sama Om juga tau kan?" selidik Lena. Pak Prabu dan Bu Nela mengedikkan bahu dan memilih bungkam membuat Helena mendengkus kesal dan cemberut. "Kamu kenapa marah-marah sih, Len? Harusnya kamu senang ada yang melamar," c
***Hazel seketika menghentikan tawanya dan bersikap cool. Dia memperbaiki posisi duduk dan berkata. "Menikah secara agama dan negara juga gak masalah kan, Len? Nanti resepsi kita atur saja jadwalnya."Helena nampak berpikir. Berulang kali wanita cantik itu menggigit jemarinya untuk mengusir rasa cemas. Menikah lagi sebenarnya bukan tujuan yang ingin Helena capai, ya, meskipun sebelumnya dia sempat mengiyakan permintaan dari Adinda untuk menggantikan posisinya kala itu. Siapa sangka, Adinda justru ingin menjebak Helena dan membuat nama baiknya hancur di depan keluarga Hazel. Helena masih ingin melajang. Trauma akan gagalnya pernikahan masih bersemayam di hatinya. Teringat bagaimana baiknya Andra di masa lalu namun ternyata diam-diam menghamili wanita lain.Dan mengenai Anita juga Mama Fiona ... Helena sudah lama tidak mencari tahu. Dia ingin mengubur dalam-dalam semua kenangan tentang masa lalu."Bagaimana, Len?" tanya Hazel lembut. Sikapnya yang semula mengesalkan tiba-tiba berubah
***"Jangan sembarangan kamu, Len ...." Hazel menatap sengit pada Helena yang justru nyengir di sebelah Bu Nela. "Kamu pikir aku se-brengsek itu?"Helena mengedikkan bahu. "Kamu memang breng ....""Kalau aku brengsek, aku sudah perkosa kamu waktu kamu ketiduran tanpa baju di bathtub ....""Hazel!" Helena memekik malu. Wajahnya memanas sementara dia menyembunyikan wajahnya di balik kedua tangan. "Ketiduran di bathtub, kok bisa?" tanya Bu Nela menyelidik. "Kecapean atau gimana ....""Tanya sendiri sama orangnya, Ma! Aku sama Bik Asih sampai panik, kami kira dia pingsan karena pintu kamar udah digedor-gedor tapi gak dibuka sama dia!" Hazel menggerutu. "Pikiranku waktu itu udah over banget, kukira juga dia patah hati gara-gara aku sama Dinda mau menikah ....""Pede!" sela Helena seraya mencebik. "Jangan mengada-ada ya kamu, Hazel! Sok cakep!"Semua orang yang ada di ruang tamu tertawa mendengar perdebatan Helena dan Hazel. Tidak terkecuali Pak Prabu, diam-diam hatinya merasa lega karena
***Helena masih terpaku di depan rumah dengan senyum yang masih mengembang. Melihat Sang Majikan bersemu sambil senyum-senyum tidak jelas, Bik Asih mengulum bibirnya menahan tawa. Jarang, atau bahkan hampir tidak pernah Helena terlihat sebahagia ini."Non, mobilnya sudah pergi. Sudah dong senyumnya," goda Bik Asih.Helena terperanjat. Alih-alih marah, wanita cantik itu justru bergelayut manja di lengan Bik Asih dan berkata. "Terima kasih banyak ya, Bik.""Saya gak melakukan apa-apa, Non. Terima kasih untuk apa?""Tanpa Bibi, mungkin sekarang aku tidak sebahagia ini."Bik Asih mengangguk samar. "Bibi minta maaf ya, Non. Maaf sekali karena sudah lancang memberitahukan keberadaan Non Lena. Tapi ... Bibi hanya ingin Non Lena mendapatkan seseorang yang benar-benar tulus menyayangi Non.""Apa Bibi melihat ketulusan itu pada keluarga Hazel?""Saya rasa Non Lena pun tahu jawabannya," sahut Bik Asih seraya tersenyum. "Bu Nela, Pak Prabu dan Pak Hazel terlihat sangat tulus, Non."Helena mengan
***Menjelang sore hari, ponsel Helena berdering nyaring membuatnya terpaksa bangun dari tidur siang yang teramat panjang."Kamu kemana saja sih, Len? Aku telepon dari tadi bukannya langsung diangkat ....""Baru bangun tidur," sela Helena. "Ada apa?""Ck, tidur dari jam berapa sekarang baru bangun?" cecar Hazel kesal. "Aku telepon kamu dari jam satu siang dan sekarang sudah jam lima sore. Kamu bilang baru bangun?""Aku lelah," sahut Helena malas. Enggan berdebar dengan Hazel di sambungan telepon. "Kalau mau ngajakin ribut, nanti malam saja ya, aku belum makan. Lapar."Hazel menyentak napasnya kasar. "Jangan sampai jatuh sakit menjelang hari pernikahan kita. Awas kamu!""Iya ....""Makan dulu gih! Setelah makan telepon aku, ada yang mau aku bicarakan.""Baiklah," sahut Helena mengalah. "Nanti malam aku telepon balik. Selamat sore.""Waalaikumsalam, Len."Helena membuka matanya lebar. Sejenak dia menatap layar ponsel yang sudah terputus panggilannya. "Benar Hazel kan itu tadi?" gumam He
***"Maaf sudah menggantung perasaan kamu cukup lama, Hazel.""Aku mengerti. Tidak masalah, Len. Semua orang butuh waktu untuk menyembuhkan lukanya," sahut Hazel bijak. "Tapi aku yakin sekali kamu mau membuka hati karena memiliki perasaan yang sama sepertiku. Benar kan?"Helena mencebik. Seketika ia mengusap air matanya dengan gerakan kasar dan berkata. "Aku mau marah mendengar tingkat ke-pede-an kamu, tapi ... itu semua benar."Hazel tergelak di seberang sana. Pun dengan Helena, perlahan senyum tipis tergambar di sudut bibirnya. "Tidurlah, besok aku jemput!""Ijinkan aku pulang sendiri, aku ... gak mau ada orang yang tau tentang kedekatan kita sementara waktu sampai Adinda benar-benar merelakan kamu, Hazel."Hazel bergeming. Sambungan telepon mendadak hening karena keduanya yang tengah berkutat dengan pikiran masing-masing."Kalau memang itu yang kamu mau, baiklah, tapi ... pastikan kamu sampai di rumah dengan selamat. Kalau ada apa-apa segera hubungi aku. Mengerti?""Mengerti sekal
*** "E-- eh, Mas, kamu bisa tunggu aku sebentar saja? Ak-- aku ada urusan sama teman lama.""Urusan apa sampai-sampai Mas harus nunggu kamu lebih lama lagi, hem? Din, makanan kita bahkan sudah datang, ayo!"Sudut bibir Helena terangkat. Geli sekali ketika mendengar perempuan yang usianya setara dengannya harus memanggil seorang pria yang lebih tua dengan sebutan 'Mas'."Mas ...." Adinda merengek. "Sebentar saja, please!"Pria yang rambutnya sedikit dihiasi uban itu terdengar menghela napas panjang. "Baiklah. Lima menit, kalau lebih dari itu Mas gak akan menunggu kamu lagi.""Terima kasih," ucap Adinda senang. Sebuah kecupan mendarat di pipi Adinda membuat Helena segera memalingkan muka. Geli, juga mual. Adinda berdiri kikuk, setelah kepergian kekasihnya, dia mencekal bahu Helena dan berbisik. "Kalau sampai kejadian hari ini tersebar, aku gak akan maafkan kamu, Len!""Kalau begitu kita impas," sahut Helena asal. "Kamu gak akan memaafkan aku, dan aku juga menolak untuk memaafkan semua