***"Kau yang memanggil semua security itu, hah? Banci!" Andra mencibir sinis. "Takut babak belur kamu, brengsek?"Hazel sedikit mundur. Tangannya bersedekap dada dan berkata, "Bukan aku, mungkin saja calon istriku yang memanggilnya. Dia tidak mau aku terluka apalagi minggu depan kita menikah. Tidak lucu bukan kalau ada berita yang mengatakan 'Hazel dihajar oleh mantan suami Helena yang gagal move on'. Tidak tau diri.""Brengsek!"Keamanan Perusahaan segera mengepung Andra dan mengunci pergerakan mantan suami Helena. "Lepaskan aku!" Andra berteriak marah. "Akan aku hajar pria brengsek itu, minggir kalian semua!"Melihat Andra tidak bisa berkutik, Helena keluar dari dalam mobil dan langsung berlari mendekati Hazel. Tanpa sadar, perempuan itu meraba wajah Hazel dengan panik. Helena menghela napas lega ketika melihat wajah calon suaminya baik-baik saja. "Kamu baik-baik saja?" tanya Helena lemah. Kepalanya dia rebahkan pada dada Hazel yang sempat bergemuruh menahan emosi karena menghadapi
***"Len, melepaskan Andra bukan keputusan yang tepat," kata Hazel setengah dongkol. "Kalau kita biarkan dia bebas, yang ada dia akan selalu mengusik kamu. Mengganggu kita!""Mas ...." Helena memanggil. "Kalau kita lanjutkan laporan ini, Mas yakin kalau Andra akan mendekam di penjara sesuai dengan hukumannya, hah? Hukuman atas kasus kedua orang tuaku saja dengan mudah dia beli apalagi yang hanya kasus seperti ini." Helena berbicara benar. Jika hukuman untuk perbuatan yang paling fatal saja bisa Andra lewati, lalu bagaimana dengan hukuman untuk perbuatan yang hanya mengganggu ketenangan hidup orang lain? "Kita hanya akan membuang-buang waktu, Mas. Pernikahan kita kurang satu minggu lagi, akan sangat melelahkan kalau kita fokus sama Andra."Hazel nampak berpikir. Keduanya sedang dalam perjalanan pulang setelah fitting gaun pengantin pada seorang designer kenalan Mama Nela. "Bagaimana kalau dia menggangu lagi?" tanya Hazel cemas. "Bagaimana kalau dia nekat mengganggu kamu sementara aku
***"Ada apa, Mas?"Hazel menghela napas panjang. "Adinda," jawabnya jengah. "Dia mengirim pesan?"Helena menerima ponsel dari tangan Hazel. Benar saja, sebuah pesan datang dari nomor tidak dikenal. "Sepertinya memang Adinda," sahut Helena tenang. "Pesan-pesan teror seperti ini tidak mempan buatku, Mas. Apa yang kamu pikirkan?""Aku bukan perempuan kemarin sore, Mas," kata Helena lagi. "Sekalipun jika yang Adinda katakan itu benar, itu juga bukan urusanku. Itu adalah bagian masa lalu kalian. Sama seperti kamu yang tidak mempermasalahkan masa laluku dengan Mas Andra.""Kamu bukan bekas, Len.""Aku tau, Mas," sahut Helena lembut. "Aku tau kalau kamu tidak akan menganggapku seperti itu, Mas. Tenanglah!"Hazel mengembuskan napas lega. Mama Nela tersenyum melihat kedewasaan pada diri Helena dan Hazel."Kalau ada masalah apapun itu, kamu harus terbuka pada Hazel, Len. Begitupun sebaliknya," kata Mama Nela menasehati. "Membangun rumah tangga itu artinya kalian berdua siap berbagi suka dan du
***Rahang Adinda mengetat. Tanpa sadar, kedua tangannya mengepal kuat dan tiba-tiba salah satu tangannya sudah mencengkeram rahang Helena membuat calon istri Hazel itu kesulitan berbicara. "Kau benar-benar murahan!" desis Adinda geram. "Kau tau dengan baik siapa aku dan siapa Hazel. Pernikahan kami hampir berlangsung kalau saja ...."Helena menghempaskan tangan Adinda kasar. "Kalau saja kamu tidak ketahuan sedang hamil. Benar kan?""Aku hamil anak Hazel!" teriaknya. "Tau apa kamu tentang panasnya hubungan kami, hah?"Helena tertawa lagi. Dia bersedekap dada sembari memindai tubuh Adinda dari bawah hingga atas. Seketika senyum sinisnya terlempar di depan Adinda. "Apa ketika menyebutku murahan, kamu seperti sedang melihat dirimu sendiri, Din? Kamu sedang berkaca?""Apa maksudmu?""Ah, tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya mencoba mengingatkan padamu, Din. Kamu tidak lupa kan pertemuan kita d Restoran kapan hari? Dengan siapa kamu datang, seperti apa pria yang bersamamu dan ....""Hentik
***"Ha ... ha ... ha ...." Adinda tergelak. "Dibalik sikapnya yang sok angkuh, aku terkejut mendengar ini. Dia ... calon istrimu yang janda itu termakan sama ucapanku, iya?" Adinda lagi-lagi tertawa lebar membuat deru napas Hazel memburu. Perempuan di depannya adalah perempuan berbeda dengan yang ia kenal dulu. Sangat berbeda. Atau mungkin memang inilah sebenarnya wajah Adinda sementara selama bersama Hazel dulu hanyalah topeng semata. "Dia tidak menyadari kalau dirinya adalah bekas? Bahkan Andra sudah menikmatinya selama keduanya menjadi suami istri. Dia merajuk mengira kamu dan aku ... berbagi ranjang? Janda tidak tau diri!""Itu dua hal yang berbeda," sahut Hazel berusaha tenang. "Helena terikat pernikahan yang mengharuskannya mendapat nafkah lahir dan batin sementara kita ... Ayolah, Din, aku bahkan belum pernah menciummu. Hentikan omong kosongmu!"Brak ...!!!Adinda menggebrak meja di hadapannya. Beberapa pengunjung Cafe terlihat melirik sejenak kemudian kembali tak acuh. "Kamu
***"Ayo, masuk!" Hazel menuntun tubuh Helena memasuki rumah. Perlahan, bahu wanitanya mulai berguncang hebat diiringi sesenggukan yang menyesakkan."Bik, buatkan teh hangat ya," pinta Hazel pada Bik Asih. "Satu saja buat Helena."Bik Asih menatap iba pada sosok majikan mudanya yang tengah berada dalam dekapan Hazel. Wanita paruh baya itu mengangguk dan menyahut, "Baik, Pak."Setengah berlari, Bik Asih menuju dapur dan mengerjakan apa perintah Tuannya. Segelas teh hangat beraroma melati berada di atas nampan. Dengan hati-hati Bik Asih meletakkan gelas untuk Helena di atas meja."Minum dulu, Len." Hazel mengangsurkan gelas mungil itu tepat ke hadapan Helen. "Minumlah sedikit agar lebih tenang.""Terima kasih," ucap Helena pada Hazel. "Terima kasih, Bik."Bik Asih mengangguk sendu. Sudah lama sekali perempuan paruh baya itu tidak melihat kesedihan di wajah Helena namun hari ini ... wajah muram itu kembali hadir."Kalau aku jual rumah ini bagaimana ....""Tidak akan ada yang dijual, Len,
***"Nit, jangan bilang kalau ...."Anita mengangguk seraya tersenyum licik. "Ya, Mas Andra yang akan melakukan itu untuk kita.""An-- Andra ... kamu yakin?""Yakin sekali, Ma. Aku tidak perduli kalau dia adalah ayah dari bayiku. Mas Andra pasti mau melakukan perintah kita karena aku tahu kalau dia berusaha kembali dengan Helena. Argh, benar-benar lelaki buaya!" Anita menggerutu. "Tapi aku tidak perduli, asalkan kekayaan Helena nanti jatuh ke tangan kita, itulah saatnya aku membuang Mas Andra. Pria miskin tidak tau diri itu."Mama Fiona manggut-manggut. Membayangkan hidupnya akan kembali berjaya membuatnya tersenyum puas. "Kamu memang selalu berani, Nit, persis seperti Mama ketika muda," puji Mama Fiona. "Ya, kita harus menyingkirkan orang-orang yang ada di sekitar Helena. Kita buat dia menjadi perempuan paling menyedihkan tanpa satu pun orang yang peduli padanya. Helena akan hancur, Mama yakin sekali dia akan hancur nanti. Ha ... ha ... ha ...."Anita dan Mama Fiona tertawa bersama.
***"Rencanamu gila!"Andra mengedikkan bahu, "Ya, terserah apa katamu yang jelas ... aku menawarkan sesuatu yang berharga untuk kehidupan kamu ke depannya. Bagaimana?"Adinda menyandarkan punggungnya di kursi Cafe. Ditatapnya wajah Andra menelisik, takut jika ternyata pria di depannya sedang merencanakan sesuatu untuk menjebaknya. "Bagaimana aku tahu kalau kamu tidak sedang ingin menjebakku?" cecar Adinda sinis. "Kau mantan suami Helena ... pasti kamu akan melindungi mantan istrimu bagaimanapun caranya.""Oh ya? Apa aku terlihat ingin melindungi Helena?"Adinda menatap Andra tajam. "Menurutku begitu, karena ... ya, karena memang begitulah seharusnya ketika seseorang begitu mencintai pujaan hatinya.""Sayang sekali, tebakan kamu salah, Din," sahut Andra sinis. "Yang aku cintai hanyalah hartanya, bukan Helena ...."Adinda mencondongkan tubuhnya ke depan. Sungguh, pengakuan mengejutkan keluar dari bibir Andra. "Bisa aku percaya semua ucapan kamu?""Tentu," jawab Andra cepat. "Dia meng