Nania tak pernah mau jadi lembek. Dia tak mau menjadi wanita yang hanya mampu mengeluarkan air mata. Tapi seperti sebuah pengaturan dalam ponsel pintar, jiwa Nania yang dijejali kepahitan hidup yang tak bisa ia lawan membuat air mata Nania jadi satu-satunya pengobat deritanya.Tepat saat dia menghapus titik air yang mengalir pipinya itu, sebuah mobil yang Nania kenali sebagai milik Brata menggelinding memasuki lahan parkir. Seorang wanita keluar dengan langkah marah dan Brata menyusulnya di belakang.Dia Nyonya Martha. Seorang Ibu dengan tangan yang dingin dalam mengatur segala hal di hidupnya. Tak ada yang berani menatapnya berlama-lama seakan matanya mampu melahap esensi jiwa seseorang sampai mengering."Ibu tidak suka dengan wanita itu. Titik. Kamu hanya perlu menuruti ibu atau lebih baik kamu tak lagi anggap ibu ada." Nyonya Martha melepas kaca matanya dan berbalik menatap Brata. "Kamu tidak bisa menghancurkan reputasi keluarga kita, Brata. Dan Ibu tahu betul dari mana asal wanita
"Pak?"Brata terdiam menatap Nania. Gadis berkulit terpanggang matahari itu terlihat begitu memesona. Mungkin dia mabuk, tapi Brata tak ingat jika ia minum sesiang itu.Tidak. Cintanya pada Nania yang membuatnya mabuk. Padahal dia baru saja berniat membicarakan perceraian mereka siang ini, tapi ketika dia menatap Budi yang berada begitu dekat dengan Nania, hatinya mulai terbakar."Maaf." Brata lemas dan mulai melepaskan diri dari Nania, membuat wanita itu sedikit kesal karena harapannya yang sempat meninggi. "Aku pasti sudah sangat gila.""Tuan?" Nania menahan tangan Brata dan membuat desir aneh di jiwa pria itu.Brata menepis tangan Nania. Tidak. Dia tak bisa jatuh dalam cinta begitu saja. Dia harus memperhatikan kehidupan di sekitarnya yang tak menerima Nania. Dia tak mau Nania menderita ketika ada di sisinya.Orang-orang yang hidup dengan kelas yang sama dengannya tak pernah suka pada wanita semacam Nania. Mereka akan menggancurkan wanita itu dengan semua ucapan buruk mereka.Brata
"Wanita menyebalkan! Baiknya kamu mati saja, Nan!" Evani tengah dibakar amarah. Pasalnya dia mengingat hari dimana dia memakan masakan yang Nania buat.Sebagai orang dengan strata tinggi di ibu kota Jakarta, Evani selalu merasa kalau tidak semua makanan bisa dinikmati. Dia hanya tahu jika makanan mahal lah yang bisa membuatnya terpuaskan.Sampai masakan Nania mampir ke mulutnya.Rasanya kesal saat tahu wanita hina seperti Nania bisa membuatnya terpesona. Apa lagi jika membayangkan Brata memakan makanan itu setiap hari."Aku juga bisa masak. Aku bahkan bisa menyalakan kompor."Evani tahu jika kompor induksi di rumahnya bekerja seperti tombol pada coffee maker miliknya. Dia tak tahu kalau memasak tak hanya tentang satu atau dua tombol, tapi tentang jumlah bumbu dan juga waktu dimana seluruh bahan harus tercampur."Pa! Kita punya kenalan chef, gak sih?"Papa Evani tampak bingung saat tiba-tiba anaknya menelepon hanya untuk bicara soal chef."Ada. Steven kan chef restoran teman Papa, mema
[Ev, bisa ke ruanganku?]Evani membelalakkan mata. Baru saja dia berencana untuk pulang karena pekerjaan kantornya yang membosankan, tiba-tiba Brata mengiriminya pesan chat yang membuatnya merasa dibutuhkan."Bisa, dong. Tunggu, ya sayang."Tanpa banyak basa-basi, wanita itu melenggang menuju ruangan Brata. Di kepalanya, berbagai situasi romantis sudah terbayang.Dulu, saat dia dan Brata belum terikat dengan pernikahan, dia biasa merayu kekasihnya itu hanya agar mereka bisa mampir ke hotel terdekat dan berdiam di dalamnya selama beberapa jam. Akan terjadi hal panas,dan Evani suka membayangkan adegan itu untuk terjadi lagi."Sayang?" Evani berlari kecil dan duduk dalam pelukan Brata. Dia bahkan mengecup belakang telinga suaminya itu dan membuat Brata risi setengah mati.Itu lah mengapa Brata merasa tak bisa menjadikan Evani sebagai seorang istri. Dia lelah dengan cara agresif wanita itu memperlakukannya. Dia tahu jika bercinta akan membuatnya semangat menjalani banyak hal dalam pekerja
Mobil mewah mengisi parkiran kepolisian setempat pagi itu. Pemiliknya pasti tengah tergesa karena suatu masalah yang harus mereka laporkan. Termasuk seorang paruh baya yang saat itu terlihat gugup dengan pakaian yang bahkan tak sempat dia ganti ketika bangun tidur.Pria yang terburu-buru itu bernama Agustinus. Seorang pengusaha kaya yang seharusnya di masa tuanya ini hanya memperhatikan nilai saham perusahaan-perusahaannya sembari mengontrol satu persatu karyawannya dari rumah besar yang ia punya.Kini tampilan pria itu menunjukkan bahwa tak selamanya kekayaan membuatnya hidup dengan tenang. Pagi tadi, saat ia baru saja membuka mata, supir pribadi anak semata wayangnya datang dengan jalan terseok dan wajah separuh hancur. Dia berkata bahwa dia berusaha setengah mati untuk lepas dari penjahat yang kini membawa Evani, anaknya entah ke mana.Menantunya sendiri datang ke kepolisian satu jam lebih cepat darinya setelah mendapat berita serupa. Mereka berdua kini menghadap polisi yang bertug
"Evani. Anakku Evani. Kamu di mana, Nak? Kamu di mana?" Pria kaya itu terbaring lemas sembari menahan nyeri saat dikirim ke dalam ambulance. Wajar saja. Hati orang tua mana yang tak terluka saat anaknya kesusahan. Terlebih, bagi Tuan Agustinus, Evani adalah satu-satunya keluarga yang dia punya. Satu-satunya sosok yang selalu ia jaga, manjakan, dan tenggelamkan dalam kekayaan.Mungkin karena didikan seperti itu lah Evani tumbuh menjulang dengan keangkuhan yang tak terobati. Gadis manja itu selalu merasa bisa menaklukkan semua hal yang dia inginkan, kecuali Brata.Pria itu berbeda. Brata masih di kelas yang sama dengan Evani dan lebih sering menganggapnya tak ada. Untuk berada di dekat Brata, Evani bahkan mempengaruhi Papanya agar segera menanam modal pada perusahaan baru yang Brata pimpin.Tapi seorang Agustinus lebih tahu bagaimana cara menilai seorang manusia. Dia tahu potensi di dalam diri Brata dan juga sejarah bisnis keluarganya yang kemudian melepaskan Brata setelah semua ilmu pe
"Anda sudah datang?" Seorang polisi menyamai langkahnya dengan langkah Brata yang muncul tak lama setelah dia menerima kabar tentang Robert yang sudah dalam penanganan polisi."Di mana dia sekarang?"Polisi itu membawa Brata pada Robert yang menunggu dengan gelisah di ruang interogasi. Pria itu tampak tak jadi dirinya sendiri dan mulai bergumam dengan tak jelas."Kami tak bisa membuatnya bicara, tapi kami yakin kalau semua adalah ulahnya." Polisi di sebelah Brata memperlihatkan bagaimana rekannya merasa kesal atas interogasi yang alot itu. Mungkin karena Robert sudah sangat lelah dan percaya bahwa hidupnya tak akan jauh berubah apa pun yang dia ucapkan."Sebaiknya anda bekerja sama, Pak. Kalau anda mau jujur, hukuman anda akan kami kurangi."Robert tersenyum sinis. Matanya yang layu memandang lantai seperti jika sekarang lantai itu sudah menjadi satu dengannya."Aku bahkan tak punya apa-apa untuk kutunggu di luar sana. Jadi, kenapa aku harus tergoda dengan keringanan hukuman." Robert
"Laporannya sudah masuk, Ndan." Seorang pria berseragam menyetorkan dokumen yang baru saja dia susun filenya."Coba kamu cari panggila ln terakhir dari nomer Pak Robert. Lacak lokasinya, dan juga lacak nomer lain yang terhubung di nomer itu."Tapi, anak buah itu tak berkutik. Dia justru terliha resah dan menutup mulutnya."Kok diem?" Jelas saja hal itu memancing keheranan sang komandan."Sebenarnya kami sudah melacak pemilik nomer itu. Tapi sepertinya datanya palsu.""Maksudnya?" Informasi itu terdengar sangat tak masuk akal tapi juga menarik perhatian pemimpin kepolisian.Anak buahnya sendiri merenggut folder laporan yang sudah dia susun dan membuka lembar demi lembar laporan itu."Nama pemilik nomer itu Hamzah. Tempat tinggal dan juga seluruh identitasnya sudah kami selidiki, hanya saja ....""Hanya saja apa?""Hamzah ini sudah meninggal tiga tahun lalu, Pak. Apakah mungkin seseorang yang sudah mati bisa bangkit kembali untuk melakukan kejahatan?"Berita itu cukup mengejutkan. Polis