Ternyata bukan untukku lamarannya, mungkin aku yang terlalu kepedean saat Gus Azam memberikan perhatian dan senyuman saat kami berkunjung ke rumah abah dan umik. Apa yang aku pikirkan? Harusnya aku bahagia kakak tercintaku mendapat seorang pemuda yang baik dan soleh tentunya. Untuk perasaan mungkin aku bisa memangkasnya. Namun, itu artinya aku akan disandingkan dengan pemuda degil itu, Ilahi ya Rabb.
Mbak Hasna memandangku sendu. “Dik,” ucapnya lirih.Kutahan air mata yang hendak mentes dan memaksa senyum di bibir. Ami dan Abah terlihat begitu bahagia.“Umik, Abah, Ngapunten tapi—”Aku memegang lengan Mbak Hasna. “Alhamdulilah, Mbak pantas dapat imam seperti Gus Azam.”Sakit sih, terasa nyeri di dada, tetapi mana mungkin aku meminta Gus Azam memilihku.“Ada apa Nduk? Apa kamu ndak suka sama Azam?” tanya ami sedikit khawatir, senyumnya memudar ketika melihat raut wajah Mbak Hasna.“Ami ndak usah khawatir, Mbak Hasna mungkin nervous, mana mungkin nolak Gus Azam, bisa ndak tidur nanti Mbak Hasna.” Aku mencoba mengalihkan fokus ami dan yang lainnya dari ucapan Mbak Hasna yang sempat terputus.“Dik,” lirih Mbak Hasna lagi, ia kembali menggenggam tanganku yang terasa dingin dan gemetar. Aku menatapnya dan tersenyum kemudian mengangguk.“Gitu kalau kakak beradik, mau nerima lamaran pake diskusi.” Ternyata abi memperhatikan kami sejak tadi. “Khawatir pisah ranjang itu,” imbuhnya yang diiringi gelak tawa. Aku ikut tertawa meski terasa sangat garing.“Bagaimana Dik Hasna? Apa saya diterima?” Gus Azam kembali bertanya dengan penuh penekanan sementara Mbak Hasna hanya menunduk.“Mbak itu Gus Azam tanya,” lirihku tepat di telinga Mbak Hasna. “Mana mungkin Mbak Hasna nolak, kan? Ada pangeran di depan loh.” Godaku dalam keadaan perih.“Pangeran kodok,” sambung umik.Suasana penuh tawa, tetapi terasa mati bagiku. Gairah di dada lenyap dalam satu ungkapan rasa yang tak tertuju padaku.Kupikir rasa ini terbalas dan dapat menyatu dalam sebuah ikatan bahagia melalui taaruf. Nyatanya sosok yang kukagumi menyimpan rasa dan menjatuhkan pilihannya kepada saudaraku. Haruskah aku ikut bahagia sementara aku tidak tahu apa yang akan kualami nanti?“Kalau Dik Hasna masih ragu, ndak apa-apa. Mungkin mau Shalat Istikharah dulu biar hatinya lebih yakin,” ucap Gus Azam lagi setelah sekian menit Mbak Hasna masih diam membisu tanpa sepatah kata. Jangankan menyambung kata lalu mengucapkannya menjadi kalimat, Mbak Hasna justru mengunci mulutnya rapat-rapat.“Iya, ndak papa, biar kalian lebih akrab juga to.” Umik ikut menimpali.“Ngapunten loh Dik Farrah,” ucap Ami sedikit canggung sesekali ia menatap Mbak Hasna yang terus menunduk.“Ami ini kayak ndak tahu Mbak Hasna si putri malu,” ucapku. Aku tidak ingin ami dan abi tahu akulah yang menunggu Gus Azam sementara pilihan Gus Azam jatuh kepada Mbak Hasna.“Lah iyo Nduk. Duh, calon mantu yang satu ini, gemes Umik.” Umik mengusap kepalaku dan Mbak Hasna yang berdiri di sampingnya secara bergantian.Calon mantu satunya? Ingin sekali aku memberontak dan menolak Agam si degil. Huft… nasib-nasib mengharap dapat Gus Azam justru kebagian Agam yang sama sekali bukan kategori lelaki idamanku.Bagaimana jika dia tak bisa mengaji? Bagaimana jika dia tak bisa mengimami? Duh…. Pikiran, kenapa bisa melayang begitu jauh.“Lihat Zam, Umikmu seperti anak kecil.” Abi terpingkal mendengar ucapan Abah sementara Gus Azam hanya tersenyum, senyum yang begitu manis sekali.Ya Rabb, hapuslah rasa kagumku. Jika dia jodoh kakakku maka jangan biarkan rasa ini bertahan dalam kalbu, bantu aku jauh dari perasaan salah, gumamku dalam hati sesaat setelah melihat lesung pipi yang mempesona bersama lengkungan bibir yang ranum milik lelaki yang telah mengkhitbah saudara perempuanku.“Yu, sebaiknya kita cepetan buat nikahin mereka,” pinta umik tak sabar.“Aku terserah anak-anak saja Dik Farrah, kalau mereka setuju sama niat baik kita ndak ada salahnya kita lakukan pernikahan secepat mungkin dan ndak menunda waktu.”“Bagaimana? Azam sejak dari rumah sudah mengatakan akan mengkhitbah Hasna, kami sudah membicarakan dengan Agam juga. Apa Nduk Halwa menerima lamaran kami untuk Agam?”Aku menghela nafas berat, melihat senyum Ami dan abi juga Mbak Hasna yang memandangku dengan pandangan yang sulit dijabarkan.“Halwa terima Umik, Abah. Insyaallah,” ucapku, keringat dingin membasahi dahi mengucapkan kalimat yang tak begitu panjang, tetapi terasa berat seperti membawa satu ton beban.“Halwa,” pekik Mbak Hasna setelah mendengar jawabanku.Tawa dari semua orang berubah sunyi sesaat setelah Mbak Hasna memanggil namaku dengan nada tinggi.Sorotan tajam dari mata abi penuh selidik, belum lagi pasti setelah ini ami akan memborong banyak pertanyaan. Huft, alasan apalagi yang harus kukatakan pada mereka?“Ada apa Hasna?” tanya ami penuh selidik.“Ngapunten Umik, Abah, tapi Halwa—”“Mbak!” pekikku memotong ucapan Mbak Hasna. "Ngapunten, Halwa kalih Mbak Hasna ke belakang sebentar, nggih." Aku mendorong kursi roda Mbak Hasna membawanya kembali ke dapur.“Mbak, apa yang Mbak lakukan? Jangan merusak kebahagian Ami sama Abah," sungutku ketika kami telah berada di dapur.“Dik, ndak bisa Mbak menikah sama Gus Azam sementara Mbak tahu kamu itu sukanya sama Gus Azam.”“Jangan keras-keras Mbak.” Aku berlutut di depan Mbak Hasna, agar lebih rendah darinya. “Gus Azam mau Mbak Hasna jadi pendampingnya, Halwa seneng ada laki-laki soleh yang bisa jagain Mbak Hasna. Ndak usah pikirin Halwa, kalau Halwa nikah sama Gus Agam kita bisa terus sama-sama, iya tha?”“Dik, ndak bisa gitu.”“Udah, pokoknya Halwa ndak mau Mbak Hasna bicara apapun sama Ami kalih Abi.”Aku kembali mendorong kursi roda Mbak Hasna menuju ruang tamu, tetapi ami datang menghadang kami.“Halwa, Hasna, apa yang kalian sembunyikan dari
“Ami, jangan bicara seperti itu. Halwa ndak salah.” Mbak Hasna memegang gamis Ami dan menariknya pelan.“Ngapunten Mi, Halwa ndak akan merebut Gus Azam. Halwa ndak ada pikiran seperti itu.”“Ami tahu, Halwa anak Ami yang soleha memang ndak mungkin berpikir seperti itu, Ami ndak mau dengar lagi kalian bahas ini. Hasna akan menikah dengan Azam dan Halwa dengan Agam. Ami ndak ingin sampai Abi dengar masalah ini. Dengar kata Ami kan, Nduk?”Ami menatapku bergantian dengan Mbak Hasna.“Nggih Mi,” jawabku serentak Mbak Hasna.“Ya sudah sekarang kalian mandi, anak gadis ndak boleh mandi sore-sore udah hampir Magrib, bada Magrib Ami sama Abi mau antar Mbak Hasna ke rumah Bu Hajjah lagi,” ucap ami sebelum pergi keluar kamarku dan Mbak Hasna.Mbak Hasna sudah beberapa kali terapi pijat di rumah Pak Yai kenalan Abi. Bu Hajjah sendiri yang mengobati kaki Mbak Hasna meskipun kata dokter sudah tidak ada kemungkinan untuk sembuh, tetapi abi dan mi tetap berusaha. Mereka bilang tidak ada yang tidak m
Selesai berjamaah kami mengaji sejenak, abi menyimak hafalan Qu'ranku dan Mbak Hasna, sementara Ami membantu Mbak Ida menyiapkan makanan. Mbak Ida gadis yang Ami rawat sejak ia berusia sepuluh tahun, siang dia ikut mengajar di madrasah dan akan kembali ke rumah sore hari sama sepertiku dan Mbak Hasna. Kami sudah berkumpul di meja makan menyantap hidangan makan malam sederhana yang dimasak oleh Ami. Di rumah kami tak ada pembantu semua dikerjakan oleh ami kadang aku membantu dan Mbak Hasna sebisanya, setelah mengajar di madrasah.“Mbak, bagaimana?” tanya abi setelah selesai menyantap makanannya.“Apanya Bi?” Mbak Hasna balik bertanya.Ia masih sibuk mengupas jeruk, buah kesukaannya. Di meja makan harus ada jeruk karena Mbak Hasna akan mencari buah itu setiap selesai makan. Sementara aku tidak menyukai buah. Jika ami tidak memaksaku selalu minum jus buah aku tak akan menyentuh yang namanya 'buah', entahlah buah apapun terasa tak menarik untukku. Ami akan selalu mengomel setiap pagi jik
“Pelan-pelan Nduk.” Ami mengusap pelan bahu Mbak Ida.“Pelan-pelan aja Mbak, Halwa ndak minta, kok. Habisin aja, habisin. Kalau kurang tambah lagi,” ucapku meledek.“Halwa,” panggil abi lirih,Aku tersenyum dan menutup mulut.“Anak Abi yang satu itu memang suka banget kalau meledek.” Mbak Hasna kembali melempar bantal.“Entah Halwa ini.” Ami mencubit pelan pipiku.“Ida ke kamar dulu, Abi, Ami. Pengen rebahan bentar.”“Iya, Nduk. Istirahat, kamu pasti capek,” jawab ami.Aku masih memandang bahu yang bergoyang menjauh milik Mbak Ida, hingga ia menghilang di balik tangga. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh dengan Mbak Ida, seperti ada yang disembunyikan. Ah, sudahlah, aku tidak ingin suudzon. Dosaku saja sudah banyak ditambah pikiran buruk, bisa tertimbun di arang neraka nanti aku.“Mi, sepertinya Abi sudah dapat calon buat Ida,” ucap Abi.“Iya tha? Siapa Bi?” tanya ami antusias.“Itu loh anaknya Yai Salman, si Maher.”“Maher Fauzan lulusan Kairo itu, ya Allah beneran dia mau ta'aruf
Kusiapkan segelas susu dan biskuit lalu mengantar ke atas, ke kamar Mbak Ida. Ami dan abi tak pernah membedakan kami, kamar Mbak Ida tak jauh berbeda denganku dan Mbak Hasna. Tadinya kami bertiga tidur di lantai dua. Sekarang kamar tempat kami di lantai dua kosong dan digunakan abi untuk menyimpan buku-buku juga berkas-berkas, lebih tepatnya menjadi kamar kerja milik abi saat ia menghitung hasil peternakan sapi perah miliknya yang dikelola Paman Adam, adik abi. Abi mempercayakan semuanya termasuk kebun peninggalan Mbah Kung kepada Paman Adam dan Paman Faiz yang tinggal di desa bersama Mbah Putri dan Mbah Kung, sementara abi fokus mengurus dan mengabdi mengembangkan madrasah.Selain mengurus madrasah abi juga menjual keterampilan karya anak-anak yang nantinya hasil jualan akan dimasukan untuk keperluan madrasah. Mbak Ida yang mengajar mereka untuk melukis, sementara Mbak Hasna mengajar mereka membuat kerajinan tangan dan menjahit agar mereka memiliki keterampilan lain. Madrasah milik a
Kurebahkan tubuh di atas ranjang setelah mengambil buku The Miracle Of The Qur'an, buku karya Caner Tasalman, buku yang sudah berulang kali kubaca. Buku riset yang mengkaji tentang hubungan intim antara Al-Qur'an dan sains modern. Buku ini mengungkap bagaimana Al-Qur'an menjabarkan berbagai macam fenomena, hingga bagaimana sebuah kehidupan dalam rahim terjadi. Selain itu buku ini juga menjelaskan bagaimana Al-Qur'an mencakup filsafat-filsafat dan fisika yang begitu rumit. Selain pembahasan yang sudah sedemikian luas dicakup Al-Quran, ditampilkan pula penerapan kode matematis ajaib pada buku tersebut. Kajian dalam topik-topik buku ini menyempurnakan pengakuan tak terbantahkan bahwa Al-Qur'an adalah karya Tuhan dan bukan karangan manusia. Wallahualam, semua kebenaran ada pada Allah.Caner Taslaman melakukan risetnya di Istanbul, Turki. Kota tempat kelahirannya. Setelah menamatkan tingkat sarjana di Universitas Bosphorus, dia meraih gelar master dalam kajian Filsafat dan Agama di Univers
Mbak Hasna memutar roda kursinya dan mendekati ami memeluknya bersamaku.“Ngapunten nggih Mi, Hasna selalu ngrepotin Ami, Hasna selalu minta tolong sama Ami.”“Mbak Hasna ndak boleh ngomong seperti itu, kalian anak-anak Ami ndak ngerepotin Ami, Nak.” Ami mencium pucuk kepalaku dan Mbak Hasna bergantian. “Nduk, kalian saudara, kalian lahir dari rahim dan titisan yang sama. Hanya berbeda beberapa menit. Ingat pesan Ami, apapun yang terjadi jangan pernah bertengkar, kalian harus saling melindungi, yo Nduk.”Aku dan Mbak Hasna sama-sama mengangguk dalam dekapan ami.“Udah, Ami ndak boleh seperti itu, kasihan anak-anak kalau nanti sampai kepikiran," kata abi menghentikan acara haru kami.“Besok, keluarga Umik sama Abah akan datang. Halwa, ingat Nduk, ingat yang Ami katakan, kalian saudara, jangan egois dan apapun yang terjadi jangan saling menjatuhkan. Dik Halwa di jaga sikapnya, meski Umik dan Abah sudah seperti orang tuamu, tetapi mereka tetap mertua Nduk, kalian harus lebih menjaga sika
Mbak Hasna menarik nafas yang terasa berat kemudian mengucap basmalah. “Insya Allah jika Abi dan Ami ridha, juga adikku Halwa ikhlas, Hasna terima lamran Gus Azam,” jawab Mbak Hasna.Detak jantungku seolah berhenti setelah Mbak Hasna mengatakan itu, kemudian kembali berpacu cukup kuat saat seorang pemuda datang dengan santainya.“Assalamualaikum,” ucapnya masih berdiri di depan pintu.Pemuda dengan thawb berwarna coklat, aku menatapnya detail. Perpaduan thawb dengan lis putih di bagian kancing dan saku, peci mesir menjadi pelengkap dan juga kacamata hitam yang baru saja ia lepas setelah kami menjawab salam bersama.Benarkah dia Agam? gumamku lirih. Ah, biarpun dia tampan, tapi tetap saja dia pemuda yang menyusahkan umik dan abah, pasti juga akan menyusahkanku esok, sudah bisa ditebak. Ya Allah kenapa aku begitu suudzon, aku menggeleng pelan. Bagaimanapun dia akan menjadi suamiku, sudah sepantasnya aku mengurus semuanya kalaupun benar sia