Kusiapkan segelas susu dan biskuit lalu mengantar ke atas, ke kamar Mbak Ida. Ami dan abi tak pernah membedakan kami, kamar Mbak Ida tak jauh berbeda denganku dan Mbak Hasna. Tadinya kami bertiga tidur di lantai dua. Sekarang kamar tempat kami di lantai dua kosong dan digunakan abi untuk menyimpan buku-buku juga berkas-berkas, lebih tepatnya menjadi kamar kerja milik abi saat ia menghitung hasil peternakan sapi perah miliknya yang dikelola Paman Adam, adik abi. Abi mempercayakan semuanya termasuk kebun peninggalan Mbah Kung kepada Paman Adam dan Paman Faiz yang tinggal di desa bersama Mbah Putri dan Mbah Kung, sementara abi fokus mengurus dan mengabdi mengembangkan madrasah.
Selain mengurus madrasah abi juga menjual keterampilan karya anak-anak yang nantinya hasil jualan akan dimasukan untuk keperluan madrasah. Mbak Ida yang mengajar mereka untuk melukis, sementara Mbak Hasna mengajar mereka membuat kerajinan tangan dan menjahit agar mereka memiliki keterampilan lain. Madrasah milik abi memang tidak hanya berfokus mengaji dan ilmu agama, abi ingin anak-anak merubah hidupnya juga dengan belajar sedikit keterampilan.Sementara aku, jangan tanya apa tugasku. Aku tak bisa jika harus mengajar keterampilan seperti mereka. Entahlah kenapa otakku ini tak maju-maju jika soal begitu, aku pun bingung. Jika disuruh membantu Mbak Hasna mengajar keterampilan pasti aku akan menyanyi, bersholawat, kan gak nyambung banget.Memang terkadang aku sedikit oleng dan lupa aku ini seorang ustazah muda yang perilakunya dicontoh oleh banyak murid-murid. ‘Halwa si ceroboh’ julukanku saat di pesantren, cocok sekali denganku. Untungnya saudara kembarku selalu menjadi pengingat. Mbak Hasna selalu mengingatkanku untuk hati-hati sebelum aku melakukan apapun.Aku sudah berdiri di depan kamar Mbak Ida, terdengar suara isak tangis.Apa Mbak Ida menangis? batinku.“Jadi benar Mas sama Ha—” Mbak Ida tak melanjutkan ucapannya, mungkin ia mendengar langkahku.Aku gegas mengetuk pintu merasa Mbak Ida menyadari kehadiranku.“Mbak ini Halwa bawakan susu, Mbak udah tidur?” kilahku seolah tak mendengar ucapannya.Sepertinya ia sedang menelepon, tetapi siapa yang ia panggil ‘Mas’. Apa Mbak Ida punya kekasih? Aku menggeleng tak ingin berpikir macam-macam. Mungkin hanya temannya, batinku. Meski aku tahu Mbak Ida tak memiliki teman laki-laki aku tetap berpikir positif.Mbak Ida keluar dengan mata sembab, sepertinya benar ia sedang menangis, tetapi kenapa?“Ndak usah repot-repot Dik Halwa, Mbak bisa ambil di bawah.” Mbak Ida mengambil nampan dari tanganku, tetapi ia tetap menunduk dan tak ingin bertatap mata denganku.“Mbak Ida nangis? Kenapa?” Aku mencoba menunduk untuk melihat wajah Mbak Ida yang berpaling dari tatapanku, seolah disembunyikan dari pandanganku.“Ndak, ini tu cuma kelilipan, tadi sedang bersihin buku Mbak banyak debu makanya merah,” kilahnya padahal jelas sekali daru wajahnya ia berbohong. Mana ada orang kelilipan hidungnya ikut merah.Lagipula mustahil buku-buku Mbak Ida berdebu. Ami selalu rutin membersihkanya meski terkadang Mbak Ida mengunci kamarnya dan ami harus meminta kuncinya setiap kali ingin membersihkan kamar Mbak Ida. Namun, aku baru teringat, Ami memang sudah lama tak masuk kamar Mbak Ida. Ah, masa iya bukunya sampai berdebu, batinku penuh curiga.“Ya, sudah. Mbak lanjut saja, Halwa mau lanjut hafalan,” ucapku tak ingin banyak bertanya lagi karena takut membuat Mbak Ida merasa tidak nyaman.“Makasih ya, Dik.” Mbak Ida mengangkat sedikit nampannya.Aku mengangguk dan kembali mengayunkan langkah menuruni anak tangga meski pikiran dalam keadaan berkecamuk. Namun, aku tetap tak ingin berpikiran buruk kepada Mbak Ida, terlepas dia memiliki kekasih atau tidak itu haknya.Meskipun keanehan Mbak Ida saat ini terjadi semenjak kami membicarakan pernikahan antara Mbak Hasna dan Gus Azam. Ah, apa yang aku pikirkan? Mana mungkin Mbak Ida dan Gus Azam, meski mereka dulu dekat, tetapi tidak mungkin Guz Azam yang sholeh menjalin hubungan yang tidak halal. Aku tahu persis sifat lelaki itu, memandang lawan jenis saja dia akan menunduk.Kurebahkan tubuh di atas ranjang setelah mengambil buku The Miracle Of The Qur'an, buku karya Caner Tasalman, buku yang sudah berulang kali kubaca. Buku riset yang mengkaji tentang hubungan intim antara Al-Qur'an dan sains modern. Buku ini mengungkap bagaimana Al-Qur'an menjabarkan berbagai macam fenomena, hingga bagaimana sebuah kehidupan dalam rahim terjadi. Selain itu buku ini juga menjelaskan bagaimana Al-Qur'an mencakup filsafat-filsafat dan fisika yang begitu rumit. Selain pembahasan yang sudah sedemikian luas dicakup Al-Quran, ditampilkan pula penerapan kode matematis ajaib pada buku tersebut. Kajian dalam topik-topik buku ini menyempurnakan pengakuan tak terbantahkan bahwa Al-Qur'an adalah karya Tuhan dan bukan karangan manusia. Wallahualam, semua kebenaran ada pada Allah.Caner Taslaman melakukan risetnya di Istanbul, Turki. Kota tempat kelahirannya. Setelah menamatkan tingkat sarjana di Universitas Bosphorus, dia meraih gelar master dalam kajian Filsafat dan Agama di Univers
Mbak Hasna memutar roda kursinya dan mendekati ami memeluknya bersamaku.“Ngapunten nggih Mi, Hasna selalu ngrepotin Ami, Hasna selalu minta tolong sama Ami.”“Mbak Hasna ndak boleh ngomong seperti itu, kalian anak-anak Ami ndak ngerepotin Ami, Nak.” Ami mencium pucuk kepalaku dan Mbak Hasna bergantian. “Nduk, kalian saudara, kalian lahir dari rahim dan titisan yang sama. Hanya berbeda beberapa menit. Ingat pesan Ami, apapun yang terjadi jangan pernah bertengkar, kalian harus saling melindungi, yo Nduk.”Aku dan Mbak Hasna sama-sama mengangguk dalam dekapan ami.“Udah, Ami ndak boleh seperti itu, kasihan anak-anak kalau nanti sampai kepikiran," kata abi menghentikan acara haru kami.“Besok, keluarga Umik sama Abah akan datang. Halwa, ingat Nduk, ingat yang Ami katakan, kalian saudara, jangan egois dan apapun yang terjadi jangan saling menjatuhkan. Dik Halwa di jaga sikapnya, meski Umik dan Abah sudah seperti orang tuamu, tetapi mereka tetap mertua Nduk, kalian harus lebih menjaga sika
Mbak Hasna menarik nafas yang terasa berat kemudian mengucap basmalah. “Insya Allah jika Abi dan Ami ridha, juga adikku Halwa ikhlas, Hasna terima lamran Gus Azam,” jawab Mbak Hasna.Detak jantungku seolah berhenti setelah Mbak Hasna mengatakan itu, kemudian kembali berpacu cukup kuat saat seorang pemuda datang dengan santainya.“Assalamualaikum,” ucapnya masih berdiri di depan pintu.Pemuda dengan thawb berwarna coklat, aku menatapnya detail. Perpaduan thawb dengan lis putih di bagian kancing dan saku, peci mesir menjadi pelengkap dan juga kacamata hitam yang baru saja ia lepas setelah kami menjawab salam bersama.Benarkah dia Agam? gumamku lirih. Ah, biarpun dia tampan, tapi tetap saja dia pemuda yang menyusahkan umik dan abah, pasti juga akan menyusahkanku esok, sudah bisa ditebak. Ya Allah kenapa aku begitu suudzon, aku menggeleng pelan. Bagaimanapun dia akan menjadi suamiku, sudah sepantasnya aku mengurus semuanya kalaupun benar sia
Baiklah, ini saatnya aku beraksi, bukan mempersulit aku hanya ingin melihat bagaimana calon imamku. Bisakah dia menjadi imam yang baik untukku?Meskipun dia anak seorang ustaz pimpinan pesantren, tetapi sikap buruknya tak mencerminkan dia seorang pemuda yang tumbuh di lingkungan pesantren.“Ngapunten nggih Gus, Halwa ndak minta banyak hanya sedikit dan insya Allah ndak akan memberatkan Gus Agam.” Aku menarik nafas, bersiap mengutarakan syarat ia bisa meminangku. “Halwa hanya ingin mahar hafalan tiga juz al qur'an, surah mulk, dan yasin. Untuk mahar lain Halwa hanya ingin sepuluh ribu.” Aku diam sejenak, semua orang memandangku, mungkin mereka tak akan mengira aku akn meminta hal itu. “Nduk kamu ndak salah?” tanya umik.Ya, mestinya mana ada wanita yang meminta mahar sepuluh ribu, di luar sana mereka berlomba mencari lelaki yang memberi mahar hingga puluhan jutaan rupiah. Namun, bagiku itu tak penting, mahar bukan harga seorang wanita, mahar bukan
AGAM POV“Kamu itu kapan mau nurutin maunya Umik sama Abah, Agam? Umik ini udah tua, pengen lihat kamu kayak Mas Azam.”Seperti biasa umik akan memberi wejangan ketika aku memilih masuk ruang studio daripada menyibukkan diri bersama santri seperti Mas Azam, kakakku yang selalu mengikuti kemauan abah dan umik.“Umik, Agam udah bilang, Agam pengen jadi penyanyi terkenal, ngeluarin album, pengen manggung di banyak kota. Urusan pesantren sampun kalih Mas Azam, Mas Azam bisa mengurusnya meski tanpa Agam,” ucapku sedikit kesal meski masih menggunakan bahasa selembut mungkin.Umik duduk di sebelahku yang kembali sibuk dengan laptop.“Besok ikut Umik ke rumah Abi Husein sama masmu, yo?” umik membujuk.Ini sudah ketiga kalinya umik memintaku untuk ikut dengannya berkunjung ke rumah Abi Husein, pemilik Madrasah yang dulu sempat menjadi pengurus pesantren milik Abah. Lebih tepatnya sahabat abah yang sudah seperti saudaranya.“Umik, apa ndak bisa lain waktu saja? Besok itu Agam sampun ada janji s
Malam itu aku baru saja turun dari motor besarku dan melihat Anton menyeret gadis membawanya ke semak tepat di ujung gang. Gadis itu memberontak, tetapi tanpa suara karena mulutnya dibekap kuat oleh Anton. Aku tidak tahu gadis itu siapa, tetapi jiwaku tak bisa diam saja. Mana mungkin aku membiarkan dia dilecehkan oleh sahabatku sendiri. Kulajukan motor dengan kecepatan tinggi hampir saja menghantam tubuh Anton jika dia tak sigap menghindar.“Jangan ikut campur!” serunya. Pengaruh miras membuatnya menjadi gila, berdiri sempoyongan dengan senyum menyeringai.“Gila! Jangan berbuat macam-macam!” seruku, kutarik paksa Anton untuk melepaskan gadis itu yang langsung duduk lemas dan gemetar sambil membenahi hijabnya.Sementara Anton tak terima dan memukulku, malam itu aku dan Anton terlibat baku hantam. Aku pikir teman yang selama ini bersamaku mereka orang baik. Nyatanya mereka lebih mendukung Anton berbuat asusila dan memukulku. Terlebih yang tidak kutahu mereka sudah sering melakukan itu e
“Assalamualaikum, Umik.” Kusentuh kaki umik yang berada di pinggir kolam.Umik melonjak kaget dan mengamatiku. “Agam!” serunya, ia meraih tubuhku dalam dekapan. “Ya Allah, ini betul kamu Le, Agam?” Sekali lagi umik mengamati wajah dan penampilanku yang berbeda 180 derajat dengan Mas Azam. Celana levis yang sobek sana-sini, jaket jeans tanpa lengan, tato di lengan kuperlihatkan dengan jelas.“Ya Allah, Agam. Apa kenapa sama kamu, Le? Kok awakmu kayak gini, Nak?” Umik mengusap wajahku, air matanya mengalir melihat tato di lengan.“Ngapunten, Umik." Kucium berkali-kali tangan umik yang terlihat hanya tinggal tulang dan kulit, urat-urat menonjol menandakan tak ada daging menutupinya.“Ya Allah Le, tobat Nak.” Umik terduduk lemas. “Azam yok opo iki adikmu, Le.” Umik meraih tangan Mas Azam."Udah, Umik tenang dulu, sekarang Agam sampun di sini. Agam sampun pulang Umik mboten usah khawatir.” Mas Azam meraih air yang ada di belakangnya, air
Sayangnya, projek untuk mendirikan Panti Asuhan Bina Karya membuat kami semakin sibuk dan kami tak sempat bertemu. Diana sibuk mengurus seluruh perizinan pendirian gedung dan juga sumbangan yang masuk. Sementara aku mengurus anak-anak yang masih berada di panti lama, panti asuhan yang masih menumpang di tanah warga yang kami dirikan seadanya dengan bahan kayu sumbangan dari mushola setempat. Beruntungnya teman-teman kampus Diana ikut berpartisipasi selama kami mengurus rumah layak huni untuk mereka.Persyaratan prosedur sudah kami serahkan di OPD setempat. Tanah yang dihibahkan oleh Pak Jaya menjadi lokasi yang akan kami dirikan tempat membangun gedung rumah untuk anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya. Rencananya kami akan mendirikan panti asuhan yang dapat mengeluarkan anak-anak yang diasah kemampuannya agar mereka dapat menjalani kehidupan tanpa kesulitan lusa jika mereka telah dewasa, Insya Allah. Semoga rencana kami berjalan dengan baik. Jika aku gagal menjadi a