“Assalamualaikum, Umik.” Kusentuh kaki umik yang berada di pinggir kolam.Umik melonjak kaget dan mengamatiku. “Agam!” serunya, ia meraih tubuhku dalam dekapan. “Ya Allah, ini betul kamu Le, Agam?” Sekali lagi umik mengamati wajah dan penampilanku yang berbeda 180 derajat dengan Mas Azam. Celana levis yang sobek sana-sini, jaket jeans tanpa lengan, tato di lengan kuperlihatkan dengan jelas.“Ya Allah, Agam. Apa kenapa sama kamu, Le? Kok awakmu kayak gini, Nak?” Umik mengusap wajahku, air matanya mengalir melihat tato di lengan.“Ngapunten, Umik." Kucium berkali-kali tangan umik yang terlihat hanya tinggal tulang dan kulit, urat-urat menonjol menandakan tak ada daging menutupinya.“Ya Allah Le, tobat Nak.” Umik terduduk lemas. “Azam yok opo iki adikmu, Le.” Umik meraih tangan Mas Azam."Udah, Umik tenang dulu, sekarang Agam sampun di sini. Agam sampun pulang Umik mboten usah khawatir.” Mas Azam meraih air yang ada di belakangnya, air
Sayangnya, projek untuk mendirikan Panti Asuhan Bina Karya membuat kami semakin sibuk dan kami tak sempat bertemu. Diana sibuk mengurus seluruh perizinan pendirian gedung dan juga sumbangan yang masuk. Sementara aku mengurus anak-anak yang masih berada di panti lama, panti asuhan yang masih menumpang di tanah warga yang kami dirikan seadanya dengan bahan kayu sumbangan dari mushola setempat. Beruntungnya teman-teman kampus Diana ikut berpartisipasi selama kami mengurus rumah layak huni untuk mereka.Persyaratan prosedur sudah kami serahkan di OPD setempat. Tanah yang dihibahkan oleh Pak Jaya menjadi lokasi yang akan kami dirikan tempat membangun gedung rumah untuk anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya. Rencananya kami akan mendirikan panti asuhan yang dapat mengeluarkan anak-anak yang diasah kemampuannya agar mereka dapat menjalani kehidupan tanpa kesulitan lusa jika mereka telah dewasa, Insya Allah. Semoga rencana kami berjalan dengan baik. Jika aku gagal menjadi a
Aku berjalan seorang diri di taman, melihat layang pesan rindu dari Diana yang mampu membuatku tersenyum sendiri. Mengingat kembali aku harus memutuskannya membuat dada semakin sakit.Langkahku terhenti saat kulihat uy mik duduk seorang diri di halaman mushola pesantren masih menggunakan mukenah.“Assalamualaikum, Umik,” sapaku.Umik menjawab salam dan tersenyum, tetapi tatapannya sendu.“Kenapa Umik malam-malam shalat di mushola, ndak di rumah saja?” “Tadi Umik cari angin, lupa belum shalat Isya, jadi sekalian mampir,” terangnya Aku dan Umik berjalan beriringan, malam terasa sunyi, padahal baru pukul sembilan, tidak seperti biasanya. Tak ada pembicaraan antara aku dan umik, aku diam membisu karena pikiran berkelana entah di mana. Sedangkan umik, mungkin ia masih malas berbicara banyak hal karena ucapanku tadi yang menolak perjodohan.Kami sampai di teras rumah, sebelum masuk umik kembali memanggil. ia mengurungkan langkahnya masuk ke rumah dan mem
Setelah membahas konsep gedung pensi yang akan kami garap aku berniat untuk mengajak Diana berbicara kembali, tetapi ia menolak dengan alasan harus menyelesaikan finishing konsep dalam dan tata letaknya serta gaya dan nuansanya. Sudahlah, aku akan berbicara dengannya esok lagi setelah ia mereda.Aku kembali ke rumah, malam belum terlalu larut kulihat Mas Azam sedang menelpon seseorang, dari nada bicaranya ia tak seperti berbicara dengan teman, atau ia memiliki kekasih? Sudahlah, aku tak ingin mengganggu, lebih baik aku istirahat dan kembali menghubungi Diana.Setelah membersihkan diri, melakukan ibadah, dan membaca Al-Qur'an kuputuskan untuk menelpon Diana, tetapi sepertinya gadis itu masih tak ingin diganggu sehingga mematikan telepon dariku. Rasa sepi menyelimuti, malam biasanya kami akan berkirim pesan sekedar bertanya sedang apa lalu berbalas pantun, atau merangkai kata yang bisa dijadikan lagu. Namun, malam ini ponselku sepi tak ada getaran penanda pesan masuk
Aku dan Mbak Hasna menatap diri di depan cermin, kami sudah mengenakan baju pengantin dan memakai riasan tipis. Hari ini, setelah tiga hari acara lamaran kami akan dipinang. Kami saling diam, hanya mengamati bayangan kami di depan cermin, tak ada senyuman, hanya pandangan kosong. “Mbak?” panggilku lirih.“Heum.”“Kita mau menikah, gak kerasa, ya?”“Iya, kayaknya baru kemarin kamu ngompol di pesantren karena takut tidur sendiri,” goda Mbak Hasna dengan tawa tipis.“Jangan ingatkan aku itu Mbak.”Kami tertawa bersama sesaat kemudian hening dan saling diam. Berlanjut dengan pikiran kami masing-masing. Aku berdiri di depan jendela, taman bunga mawar yang selalu kurawat bersama Mbak Hasna tumbuh subur, semerbak aroma mawar yang mekar terbawa bersama dersik angin malam yang membelai pipi. Malam ini, tepat hari ini, di ruang tamu Agam bersiap akan mengucap ijab kabul dan menghalalkanku setelah kudengar dengan lantang ia membaca tiga juz Al-Qur'an. Agam memilih surah Al-Baqarah, surah An-N
“Mbak, Mbak dulu pernah bilang, pengen punya suami yang tinggal di luar kota biar jauh sama Halwa. Ndak nyangka Allah justru tetap menyatukan kita dalam satu atap lagi.” Aku terkekeh pelan.Pasalnya saat Mbak Hasna kecil ia sering mengatakan besok kalau kita sudah dewasa ia ingin pergi jauh dariku bersama suaminya agar aku tak terus mengganggu barang-barangnya.“Allah memang maha baik, selalu tahu yang terbaik untuk hambanya. Mbak ndak habis pikir bagaimana kalau Mbak jauh dari kamu? Selama ini Mbak selalu bergantung sama kamu, bagaimana Mbak bisa pergi jauh?”Aku tersenyum dan memeluk Mbak Hasna. “Semoga selalu diberi kesehatan dan kebahagiaan, rumah tangga yang sakinah dan selamat dunia akhirat,” bisikku tepat di telinga Mbak Hasna.“Jazakallah Khairan, terimakasih selama ini sudah selalu ada untuk Mbak, Dik. Terima kasih selama ini sudah menjadi tangan dan kaki untuk Mbak.”Kami masih berpelukan dengan air mata mengalir. Aku tidak pernah mengenal cinta lawan jenis, tetapi cinta da
Sesuai permintaan umik dan abah, kami langsung diboyong ke kediaman umik dan abah malam ini juga, barang-barang yang sudah dipersiapkan diangkut secara bergantian. Tidak banyak hanya baju dan beberapa buku yang tak bisa kutinggal. Aku memang tidak bisa meninggalkan buku bacaan, sebelum tidur minimal aku harus membuka buku untuk mengulang hafalan hadisku. Aku juga membawa beberapa buku kesukaanku termasuk buku ‘Wanita Yang Dirindukan Surga’ buku yang tak pernah sekalipun tertinggal kemana aku pergi, bukan karena itu pemberian Gus Azam aku memang menyukai buku itu, buku yang mengajarkan banyak kebaikan.Aku hanya berdua dengan Agam dalam satu mobil, sementara abah dan umik bersama Gus Azam dan Mbak Hasna. Kami hanya diam membisu, tak ada ucapan sepatah katapun, pandanganku terus tertuju pada tangan yang sedang memegang setir kemudi. Sementara pemiliknya acuh, seolah tak ada aku di sampingnya. Sudah bisa ditebak dari sikapnya, sejujurnya dia pasti juga menolak perjodohan ini,
Setelah selesai membilas tubuh aku keluar masih menggunakan handuk yang berbentuk baju. Aku melonjak kaget dan kembali masuk kamar mandi setelah mataku menangkap pemuda duduk dengan santainya di kursi depan jendela memegang buku tanpa menghiraukanku.“Agam, kenapa dia bisa masuk? Bukannya aku sudah mengunci pintunya,” ucapku seorang diri. “Cepat keluar, aku mau mandi,” ucapanya ketus.“Tapi Halwa belum pakai baju Gus, ngapunten bisa Gus Agam keluar sebentar,” ucapku lirih, takut jika umik mendengar.“Kenapa aku harus keluar, ini kamarku,” jawabnya datar.Duh, benar-benar lelaki itu, bagaimana bisa aku terang-terangan keluar hanya mengenakan baju handuk diatas lutut dan memperlihatkan leher dan dadaku.“Ya sudah, Halwa ndak akan keluar,” ancamku. Biarkan saja dia menunggu, palingan juga nanti dia keluar sendiri, batinku.Lama tak ada jawaban, dan terdengar suara pintu terbuka, aku tersenyum. “Halwa dilawan,” uc