Sesuai permintaan umik dan abah, kami langsung diboyong ke kediaman umik dan abah malam ini juga, barang-barang yang sudah dipersiapkan diangkut secara bergantian. Tidak banyak hanya baju dan beberapa buku yang tak bisa kutinggal. Aku memang tidak bisa meninggalkan buku bacaan, sebelum tidur minimal aku harus membuka buku untuk mengulang hafalan hadisku. Aku juga membawa beberapa buku kesukaanku termasuk buku ‘Wanita Yang Dirindukan Surga’ buku yang tak pernah sekalipun tertinggal kemana aku pergi, bukan karena itu pemberian Gus Azam aku memang menyukai buku itu, buku yang mengajarkan banyak kebaikan.Aku hanya berdua dengan Agam dalam satu mobil, sementara abah dan umik bersama Gus Azam dan Mbak Hasna. Kami hanya diam membisu, tak ada ucapan sepatah katapun, pandanganku terus tertuju pada tangan yang sedang memegang setir kemudi. Sementara pemiliknya acuh, seolah tak ada aku di sampingnya. Sudah bisa ditebak dari sikapnya, sejujurnya dia pasti juga menolak perjodohan ini,
Setelah selesai membilas tubuh aku keluar masih menggunakan handuk yang berbentuk baju. Aku melonjak kaget dan kembali masuk kamar mandi setelah mataku menangkap pemuda duduk dengan santainya di kursi depan jendela memegang buku tanpa menghiraukanku.“Agam, kenapa dia bisa masuk? Bukannya aku sudah mengunci pintunya,” ucapku seorang diri. “Cepat keluar, aku mau mandi,” ucapanya ketus.“Tapi Halwa belum pakai baju Gus, ngapunten bisa Gus Agam keluar sebentar,” ucapku lirih, takut jika umik mendengar.“Kenapa aku harus keluar, ini kamarku,” jawabnya datar.Duh, benar-benar lelaki itu, bagaimana bisa aku terang-terangan keluar hanya mengenakan baju handuk diatas lutut dan memperlihatkan leher dan dadaku.“Ya sudah, Halwa ndak akan keluar,” ancamku. Biarkan saja dia menunggu, palingan juga nanti dia keluar sendiri, batinku.Lama tak ada jawaban, dan terdengar suara pintu terbuka, aku tersenyum. “Halwa dilawan,” uc
Kami berkumpul di ruang keluarga, aku duduk di bawah kaki umik, memijat kakinya. Mendengarkan umik bercerita tentang masa kecil Agam sampai kenapa ia pergi meninggalkan rumah empat tahun lamanya. Aku tidak tahu jika Agam pernah meninggalkan rumah, aku pikir ia kembali ke Mesir setelah dipulangkan, sehingga setiap kali berkunjung hanya ada Gus Azam.“Udah Nduk, nanti kamu capek.” Umik menarik kakinya dari pangkuanku.“Azam sama Hasna besok akan pindah ke rumah baru mereka, ndak jauh dari sini. Tadinya Abah keberatan karena melihat kondisi Hasna tapi Azam ingin dia yang menempati rumah baru,” terang abah di sela acara ngeteh malam kami.Mbak Hasna akan pindah, jadi kita tidak tinggal bersama? Rasa khawatir tiba-tiba saja menyelimuti hati.“Ngapunten Abah, Mbak Hasna akan tinggal berdua dengan Gus Azam?” tanyaku.“Iya Nduk, ndak baik ipar tinggal satu rumah. Tahu, kan?” kali ini umik yang menjawab.Benar juga ipar adalah maut, bagaimana bisa bukan muhrim ti
Setelah kejadian malam itu, aku dan Agam sama sekali tak bertegur sapa. Ia semakin sering mengacuhkanku, kami terlihat baik-baik saja jika berkumpul dengan abah dan umik. Kerana Mbak Hasna sudah tinggal di rumah sendiri, aku membantu abah mengajar di pesantren sementara Agam semakin sering keluar entah apa yang ia urus. Aku tidak bertanya ia pun sepertinya enggan berbagi denganku. Aku istrinya, tapi di dalam kamar kami seperti orang lain. Agam selalu sibuk dengan ponsel dan buku-bukunya. Sementara aku mencoba mengalihkan dengan kesibukan lain. Hati terasa sesak saat ia menatapku seperti membenci. Aku sudah berusaha meminta maaf dan menjelaskan semuanya, aku tidak mencintai Gus Azam. Aku hanya kagum dengan segala kebaikannya, tetapi sepertinya semua yang kuucapkan tak ada yang ia dengar. Aku ada di sampingnya, tetapi baginya seperti tak ada, ia sibuk dengan dunianya sendiri, sementara aku tak bisa masuk karena ia menutup pintu dan jalur utama rapat-rapat.Kusiapkan
“Hapus air matamu dengan benar, jangan sampai Umik tahu kamu menangis, aku ndak mau Umik berpikir aku nyakitin kamu,” ucapnya, aku tidak sadar ia bahkan sudah berdiri di belakangku.“Nggih Gus,” jawabku singkat, kupercepat langkah berharap tak berpapasan dengan orang lain atau umik.Namun, sayangnya aku tidak beruntung, umik berada di dapur sedang mengisi botol air. Mau tidak mau aku tentu bertemu dengannya karena aku memang masuk melalui pintu belakang. Pikirku lebih dekat masuk ke rumah dari pintu belakang, pun tidak harus memutar ke halaman depan sehingga tidak bertemu orang lain. Gazebo paling ujung dekat dengan kolam ikan memang berada di halaman belakang.“Loh, dari mana kalian? Kenapa lewat pintu belakang?” tanya umik menatapku penuh selidik.“Emm… ini Umik, di kamar gerah banget jadi Halwa cari angin sebentar di gazebo belakang, Gus Agam, eh… maksudnya Mas Agam malah nyariin,” kilahku sedikit gugup.Umik menyipitkan matanya, menatapku dalam. “Halwa habis nangis, Nduk?” tanya u
Agam beranjak setelah membenarkan selimutku. Ia kembali ke tempat semula, aku menghembuskan nafas lega. Aku pikir, ia akan meminta yang lain, tentu saja aku belum siap. Aku dan dia sama-sama belum siap, aku pikir sih begitu.Malam ini aku tidur dengan nyenyak, aku harap ini bukan mimpi. Konyol sekali, padahal dulu aku sangat tidak suka dengannya, tetapi sekarang mendapat perhatian kecil darinya saja membuatku tidur dalam senyuman.….Seperti biasa, sebelum adzan Subuh aku lebih dulu membersihkan diri, aku terbiasa mandi sebelum Subuh, shalat dalam keadaan bersih dan segar. Setelah sembahyang bersama Agam, seperti hari hari sebelumnya, ia menyimak hafalan Qur'an dan hadits yang kubacakan. Ini yang tidak kusangka darinya, di balik tato-tato di tangan, ia bisa menghafal Al-Qur'an dengan sempurna, dan menjaga shalatnya. Memang benar pepatah mengatakan jika kita menilai seseorang jangan hanya dari sampulnya, belum tentu sampul buruk di dalamnya tidak ada sebuah informasi yang tidak penting
Dadaku terasa sesak, nafas serasa berhenti bersama saraf otak yang tak lagi bisa berpikir normal. “Tidak usah menangis, aku merangkai kata menjadi lagu bersama Ana, dan sekarang kamu merusaknya, apa kamu puas?” ucapnya lagi, kali ini ia menatapku begitu dekat, bahkan kami nyaris tak berjarak. Kami saling pandang, sesaat kemudian ia berbalik membelakangiku melepas pecinya dan melemparkan kasar, “Arh!” Ia memukul dinding, tangan putihnya terlihat merah dan tergores.“Ngapunten Gus, Halwa memang salah, tetapi ndak sepantasnya Gus Agam mengatakan itu, jika memang bukan Halwa yang Gus Agam inginkan... njenengan bisa kembalikan Halwa dengan baik-baik.” Aku menyeka air mata yang semakin deras mengalir. “Halwa masih punya Abi dan Ami, kalapun bagi njenengan Halwa ndak berarti… Halwa bisa pulang ke rumah mereka,” ucapku lirih.Aku mengambil tote bag yang ada di ranjang, ponsel sengaja kutinggal. Aku akan pergi karena aku tak berarti untuknya. Aku tahu dan paham wanita haram meninggalkan rumah
“Kita akan kemana Mbak?” tanya Pak Ahmad.Aku tak menjawabnya dan masih terus memandang tepi jalan. Pohon besar yang berdiri kokoh di pinggir jalan, melambai pelan tertiup angin.“Mbak kita sudah jalan dua jam, tanpa tujuan cuma muter-muter. Kita mau pergi kemana?” tanya Pak Ahmad lagi. “Antar halwa ke Masjid Agung saja Pak,” jawabku.Pak Ahmad hanya mengangguk, kemudian mengantar menuju Masjid Agung. Aku bisa istirahat sejenak dan sembahyang Zuhur sebelum kembali berpikir akan kemana. Sampai di Masjid Agung aku meminta Pak Ahmad untuk pulang lebih dulu. Dia menolak, tetapi aku tetap memaksa. Akhirnya Pak Ahmad meninggalkanku sendiri di depan Masjid Agung Lamongan.Masjid yang menjadi ikon kota Lamongan, kota tempat aku tinggal, kota penuh dengan kesan religi dan julukan sebagai kota pesantren. Aku menatap masjid besar yang berdiri dengan kokoh itu, Masjid Agung Lamongan punya cerita sejarah yang tak kalah menarik dengan makam peninggalan tokoh-tokoh Islam terdahulu. Masjid yang bera