Setelah membahas konsep gedung pensi yang akan kami garap aku berniat untuk mengajak Diana berbicara kembali, tetapi ia menolak dengan alasan harus menyelesaikan finishing konsep dalam dan tata letaknya serta gaya dan nuansanya. Sudahlah, aku akan berbicara dengannya esok lagi setelah ia mereda.Aku kembali ke rumah, malam belum terlalu larut kulihat Mas Azam sedang menelpon seseorang, dari nada bicaranya ia tak seperti berbicara dengan teman, atau ia memiliki kekasih? Sudahlah, aku tak ingin mengganggu, lebih baik aku istirahat dan kembali menghubungi Diana.Setelah membersihkan diri, melakukan ibadah, dan membaca Al-Qur'an kuputuskan untuk menelpon Diana, tetapi sepertinya gadis itu masih tak ingin diganggu sehingga mematikan telepon dariku. Rasa sepi menyelimuti, malam biasanya kami akan berkirim pesan sekedar bertanya sedang apa lalu berbalas pantun, atau merangkai kata yang bisa dijadikan lagu. Namun, malam ini ponselku sepi tak ada getaran penanda pesan masuk
Aku dan Mbak Hasna menatap diri di depan cermin, kami sudah mengenakan baju pengantin dan memakai riasan tipis. Hari ini, setelah tiga hari acara lamaran kami akan dipinang. Kami saling diam, hanya mengamati bayangan kami di depan cermin, tak ada senyuman, hanya pandangan kosong. “Mbak?” panggilku lirih.“Heum.”“Kita mau menikah, gak kerasa, ya?”“Iya, kayaknya baru kemarin kamu ngompol di pesantren karena takut tidur sendiri,” goda Mbak Hasna dengan tawa tipis.“Jangan ingatkan aku itu Mbak.”Kami tertawa bersama sesaat kemudian hening dan saling diam. Berlanjut dengan pikiran kami masing-masing. Aku berdiri di depan jendela, taman bunga mawar yang selalu kurawat bersama Mbak Hasna tumbuh subur, semerbak aroma mawar yang mekar terbawa bersama dersik angin malam yang membelai pipi. Malam ini, tepat hari ini, di ruang tamu Agam bersiap akan mengucap ijab kabul dan menghalalkanku setelah kudengar dengan lantang ia membaca tiga juz Al-Qur'an. Agam memilih surah Al-Baqarah, surah An-N
“Mbak, Mbak dulu pernah bilang, pengen punya suami yang tinggal di luar kota biar jauh sama Halwa. Ndak nyangka Allah justru tetap menyatukan kita dalam satu atap lagi.” Aku terkekeh pelan.Pasalnya saat Mbak Hasna kecil ia sering mengatakan besok kalau kita sudah dewasa ia ingin pergi jauh dariku bersama suaminya agar aku tak terus mengganggu barang-barangnya.“Allah memang maha baik, selalu tahu yang terbaik untuk hambanya. Mbak ndak habis pikir bagaimana kalau Mbak jauh dari kamu? Selama ini Mbak selalu bergantung sama kamu, bagaimana Mbak bisa pergi jauh?”Aku tersenyum dan memeluk Mbak Hasna. “Semoga selalu diberi kesehatan dan kebahagiaan, rumah tangga yang sakinah dan selamat dunia akhirat,” bisikku tepat di telinga Mbak Hasna.“Jazakallah Khairan, terimakasih selama ini sudah selalu ada untuk Mbak, Dik. Terima kasih selama ini sudah menjadi tangan dan kaki untuk Mbak.”Kami masih berpelukan dengan air mata mengalir. Aku tidak pernah mengenal cinta lawan jenis, tetapi cinta da
Sesuai permintaan umik dan abah, kami langsung diboyong ke kediaman umik dan abah malam ini juga, barang-barang yang sudah dipersiapkan diangkut secara bergantian. Tidak banyak hanya baju dan beberapa buku yang tak bisa kutinggal. Aku memang tidak bisa meninggalkan buku bacaan, sebelum tidur minimal aku harus membuka buku untuk mengulang hafalan hadisku. Aku juga membawa beberapa buku kesukaanku termasuk buku ‘Wanita Yang Dirindukan Surga’ buku yang tak pernah sekalipun tertinggal kemana aku pergi, bukan karena itu pemberian Gus Azam aku memang menyukai buku itu, buku yang mengajarkan banyak kebaikan.Aku hanya berdua dengan Agam dalam satu mobil, sementara abah dan umik bersama Gus Azam dan Mbak Hasna. Kami hanya diam membisu, tak ada ucapan sepatah katapun, pandanganku terus tertuju pada tangan yang sedang memegang setir kemudi. Sementara pemiliknya acuh, seolah tak ada aku di sampingnya. Sudah bisa ditebak dari sikapnya, sejujurnya dia pasti juga menolak perjodohan ini,
Setelah selesai membilas tubuh aku keluar masih menggunakan handuk yang berbentuk baju. Aku melonjak kaget dan kembali masuk kamar mandi setelah mataku menangkap pemuda duduk dengan santainya di kursi depan jendela memegang buku tanpa menghiraukanku.“Agam, kenapa dia bisa masuk? Bukannya aku sudah mengunci pintunya,” ucapku seorang diri. “Cepat keluar, aku mau mandi,” ucapanya ketus.“Tapi Halwa belum pakai baju Gus, ngapunten bisa Gus Agam keluar sebentar,” ucapku lirih, takut jika umik mendengar.“Kenapa aku harus keluar, ini kamarku,” jawabnya datar.Duh, benar-benar lelaki itu, bagaimana bisa aku terang-terangan keluar hanya mengenakan baju handuk diatas lutut dan memperlihatkan leher dan dadaku.“Ya sudah, Halwa ndak akan keluar,” ancamku. Biarkan saja dia menunggu, palingan juga nanti dia keluar sendiri, batinku.Lama tak ada jawaban, dan terdengar suara pintu terbuka, aku tersenyum. “Halwa dilawan,” uc
Kami berkumpul di ruang keluarga, aku duduk di bawah kaki umik, memijat kakinya. Mendengarkan umik bercerita tentang masa kecil Agam sampai kenapa ia pergi meninggalkan rumah empat tahun lamanya. Aku tidak tahu jika Agam pernah meninggalkan rumah, aku pikir ia kembali ke Mesir setelah dipulangkan, sehingga setiap kali berkunjung hanya ada Gus Azam.“Udah Nduk, nanti kamu capek.” Umik menarik kakinya dari pangkuanku.“Azam sama Hasna besok akan pindah ke rumah baru mereka, ndak jauh dari sini. Tadinya Abah keberatan karena melihat kondisi Hasna tapi Azam ingin dia yang menempati rumah baru,” terang abah di sela acara ngeteh malam kami.Mbak Hasna akan pindah, jadi kita tidak tinggal bersama? Rasa khawatir tiba-tiba saja menyelimuti hati.“Ngapunten Abah, Mbak Hasna akan tinggal berdua dengan Gus Azam?” tanyaku.“Iya Nduk, ndak baik ipar tinggal satu rumah. Tahu, kan?” kali ini umik yang menjawab.Benar juga ipar adalah maut, bagaimana bisa bukan muhrim ti
Setelah kejadian malam itu, aku dan Agam sama sekali tak bertegur sapa. Ia semakin sering mengacuhkanku, kami terlihat baik-baik saja jika berkumpul dengan abah dan umik. Kerana Mbak Hasna sudah tinggal di rumah sendiri, aku membantu abah mengajar di pesantren sementara Agam semakin sering keluar entah apa yang ia urus. Aku tidak bertanya ia pun sepertinya enggan berbagi denganku. Aku istrinya, tapi di dalam kamar kami seperti orang lain. Agam selalu sibuk dengan ponsel dan buku-bukunya. Sementara aku mencoba mengalihkan dengan kesibukan lain. Hati terasa sesak saat ia menatapku seperti membenci. Aku sudah berusaha meminta maaf dan menjelaskan semuanya, aku tidak mencintai Gus Azam. Aku hanya kagum dengan segala kebaikannya, tetapi sepertinya semua yang kuucapkan tak ada yang ia dengar. Aku ada di sampingnya, tetapi baginya seperti tak ada, ia sibuk dengan dunianya sendiri, sementara aku tak bisa masuk karena ia menutup pintu dan jalur utama rapat-rapat.Kusiapkan
“Hapus air matamu dengan benar, jangan sampai Umik tahu kamu menangis, aku ndak mau Umik berpikir aku nyakitin kamu,” ucapnya, aku tidak sadar ia bahkan sudah berdiri di belakangku.“Nggih Gus,” jawabku singkat, kupercepat langkah berharap tak berpapasan dengan orang lain atau umik.Namun, sayangnya aku tidak beruntung, umik berada di dapur sedang mengisi botol air. Mau tidak mau aku tentu bertemu dengannya karena aku memang masuk melalui pintu belakang. Pikirku lebih dekat masuk ke rumah dari pintu belakang, pun tidak harus memutar ke halaman depan sehingga tidak bertemu orang lain. Gazebo paling ujung dekat dengan kolam ikan memang berada di halaman belakang.“Loh, dari mana kalian? Kenapa lewat pintu belakang?” tanya umik menatapku penuh selidik.“Emm… ini Umik, di kamar gerah banget jadi Halwa cari angin sebentar di gazebo belakang, Gus Agam, eh… maksudnya Mas Agam malah nyariin,” kilahku sedikit gugup.Umik menyipitkan matanya, menatapku dalam. “Halwa habis nangis, Nduk?” tanya u