Beruntung coffee shop yang ada di lobi kantor Ibrahim sedang sepi pengunjung, hingga kehadiran Darel beserta anak buahnya yang ternyata tidak hanya dua orang itu tidak menarik perhatian para pengunjung cafe yang lain. Ibrahim pun tidak mau kalah. Dia minta Oscar untuk memanggil para ajudannya berkumpul di cafe saat ini juga. Hanya untuk persiapan kalau-kalau pria tambun ini berbuat sesuatu yang di luar dugaannya.
“Sekarang katakan apa maksud Anda nggak mau mengembalikan Ayya padaku? Dia wanita favorit di klub aku. Jangan pikir kamu bisa menguasainya begitu saja.” Darel sedang mencoba bersabar, sedari pria tampan di depannya ini memindah tempat diskusi mereka dari luar kantor ke dalam cafe, pria bercambang tipis itu sama sekali belum bicara lagi, sekarang dia justru tersenyum menyeringai menanggapi ucapannya barusan membuat kesalnya makin bertambah saja.“Kenapa Anda tersenyum seperti itu?” tanya pria paruh baya itu dengan nada ketus.IbrahiAlayya berdecih tak suka. Mana mungkin dia rindu pada pria sekaku kanebo kering ini. “Jangan ke-PDan deh, Tuan. Siapa juga yang rindu pada Anda,” jawab Alayya dengan gugup. Terlihat sekali dari cara dia menatap Ibrahim yang tidak fokus. Tingkahnya itu sangat menggemaskan, tanpa sadar sudut bibir Ibrahim terangkat sedikit. Apalagi saat jarak dirinya semakin dekat dengan Alayya, wanita itu justru terlihat terkejut lalu mundur satu langkah. “Baiklah. Anggap saya terlalu percaya diri. Sekarang katakan, kenapa jam segini kamu ada di sini? Bukannya tidur biar besok pagi lebih mudah bangunnya?” tanyanya tanpa mengurangi intensitas tatapan tajam, tapi menghanyutkan itu. Alayya susah payah menelan salivanya saat ini. Jaraknya dengan Ibrahim tidak lebih dari sejengkal membuat rasa khawatirnya banyak. Takut pria itu mendengar detak jantungnya yang makin riuh pun malu kalau sampai rasa panas di pipinya menimbulkan rona merah jambu yang bisa dilihat sang Tuan Muda tampan itu. Tanpa berani menat
Di dalam kamarnya, Ibrahim mendudukkan bokongnya dengan kasar di bibir ranjang. Dengan sedikit membungkukkan badan dia mengusap cepat wajahnya berulang kali, ingin rasanya berteriak untuk melepaskan semua beban dalam hatinya saat ini. Ibrahim tersiksa, dia terbebani oleh rasa penyesalan yang tak kunjung menemui muaranya. Ini semua karena pertanyaan Alayya barusan. Pertanyaan yang sangat ingin dia hindari sebenarnya, karena selama satu tahun terakhir ini pria yang akan berusia tiga puluh tahun sebulan lagi itu telah mencoba untuk melupakan kejadiaan kecelakaan itu pun rasa penyesalan yang mengiringinya. Kalau boleh meminta, Ibrahim justru memilih agar dialah yang berada di dalam mobil naas itu, tetapi kehendak Yang Kuasa sudah mentakdirkan kalau istri tercintalah yang harus mengalaminya. Masih jelas dalam ingatan Ibrahim siang hari itu, saat dia seharusnya datang menjemput Nisa di rumah untuk berangkat ke acara ulang tahun rekan kerjanya di daerah puncak. Namun, karena kesibukannya ya
Untuk pertama kalinya dalam hidup seorang Alayya, dia menitikkan air mata hanya karena ucapan seorang pria. Alayya yang sejak kecil hidup di lingkungan lokalisasi dan tinggal bersama orang-orang yang tidak pernah memakai hati dalam berhubungan denagn banyak orang, kali ini merasakan betapa hatinya sakit ketika Ibrahim mencurigainya. Memang benar adanya jika perubahannya saat ini karena dia punya maksud tertentu, tetapi tidak bisakah Ibrahim melihat ketulusannya atau dia kurang pandai berakting hingga dengan mudah Ibrahim mengetahui isi pikirannya?Benar juga. Kenapa dia harus kesal? Kenapa dia mesti menangis? Alayya jadi bingung dengan dirinya sendiri saat ini yang kesal dan sedih bersamaan. Suara pintu kamarnya yang tertutup dengan keras membuatnya segera mengusap jejak basah di kedua pipinya. Cepat dia buka pintu toilet dan ternyata Ibrahim sudah tidak ada di dalam kamarnya, dan mendapati kenyataan itu, Alayya meremas baju di dadanya. Ke
Alayya panik ketika mendengar suara pekikkan Mustika. Dia bingung mau ke mana karena kakinya masih terasa nyeri. Sementara, wanita tua itu terdengar sedang melangkah cepat-cepat menuju pintu keluar. “Nggak ada jalan lain kecuali bersembunyi, tapi di mana?” gumam Alayya sambil melihat kanan dan kirinya. Akhirnya otak kecilnya itu mengarahkan dirinya menuju gorden di jendela besar yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Susah payah dia berjalan hingga sampai di gorden besar dan tebal itu. Beruntung gorden itu panjangnya sampai menyentuh tanah sehingga dia tidak perlu khawatir kakinya terlihat. “Kurang ajar! Siapa yang udah berani menguping pembicaraanku? Christy! Christy! Sini kamu!” sentaknya dari ambang pintu. Alayya jelas sekali mendengar suara Mustika yang kesal dan marah-marah itu, dia pun mengeratkan pegangan pada gorden berharap Mustika tidak menyadari keberadaannya di sana.Christy datang dengan tergopoh-gopoh jga dengan wajah ketaku
“Ma-maaf Tuan, saya nggak mengerti maksud Anda.” Syarif bertanya dengan gugup. Ibrahim tersenyum sinis. Dia menyandarkan punggung pada sandaran sofa single yang dia duduki agar terlihat santai, tetapi sorot matanya tetap tertuju pada laki-laki paruh baya di depannya ini. “Kalau Anda saja tidak tahu, lantas saya harus bertanya pada siapa? Apa mungkin laptop di ruangan Anda rusak hingga bisa merubah angka-angka di situ? Tidak biasanya Anda melakukan miss seperti itu Pak Syarif.” Datar dan tanpa ekspresi Ibrahim bicara pada bawahannya itu. Syarif tertegun. Jujur saja kalau dia sendiri bingung kenapa ada yang salah pada laporan yang jelas-jelas sudah dia periksa sebelum disetorkan kepada atasannya ini. “Sekali lagi maaf, Tuan. Tapi, sungguh ini di luar kendali saya, saya bisa tunjukkan pada Anda laporan yang saya kerjakan sebelumnya,” ujar Syarif dengan yakinnya. “Baik. Saya tidak ingin dengar alasan apa pun, seg
Mustika gugup dia tidak tahu harus menjawab pertanyaan Ibrahim seperti apa. Situasi ini membuatnya terdesak, sedetik kemudian Mustika berdehem sekadar untuk melonggarkan tenggorokannya yang dirasa kering.“Nggak ada apa-apa kok,Ibrahim. Tadi hanya pembicaraan hal pribadi Tante dengan seorang teman. Tante nggak mau ada orang yang mendengarnya, bagaimanapun juga pembicaraan di telepon,kan, privasi.” Dengan tenangnya dan suara yang lugas Mustika bicara, seakan-akan apa yang dia sampaikan adalah kebenaran.Alayya berdecak dan itu memancing perhatian Mustika. “Kenapa kamu seperti itu? Kamu pikir aku sedang bicara bohong?”Alayya kembali memutar bola matanya jengah. “Saat ini aku nggak tahu mana yang benar dan mana yang bohong. Terserah juga Anda mau ngomong apa, toh, bukan saya yang mendengarkan pembicaraan Anda,” ujarnya sambil bersidakep. “Kamu ….”“Udah … udah …, jangan berdebat lagi. Kalau memang hanya itu alasa
Ibrahim berdecih saat membuka pintu kamar Alayya dan mendapati wanita itu terlelap di ranjang besarnya. Dia pun menggeleng pelan sembari melangkahkan kaki mendekati bibir ranjang. Pria yang terlihat segar setelah mandi itu melihat Casio watch di tangan kirinya terlebih dahulu sebelum akhirnya dia menggumam lirih. “Enam belas menit, Ya. Aku hanya terlambat satu menit dari waktu yang 'ku janjikan. Kuharap kamu nggak lagi sandiwara dengan pura-pura tidur, ya?”Ibrahim membetulkan letak selimut yang membungkus tubuh Alayya. Kemudian pria itu tetap melaksanakan solat dhuhurnya di kamar wanita itu. Bukan dia tidak percaya kalau Alayya sedang tidur, hanya saja membiasakan telinga wanita itu mendengar lantunan ayat-ayat suci Alquran adalah salah satu cara Ibrahim memperbaiki watak wanita cantik satu itu. Seusai solat dan mengaji, Ibrahim bangkit dari duduk bersilanya, lalu dia pastikan suhu ruangan tidak terlalu dingin melalui remot AC di atas nakas, barulah di
“Kenapa Tante diam aja? Apa pertanyaanku salah? Apa yang aku rasakan soal perubahan sikap Tante itu nggak benar? Sejak ada Ayya di rumah ini, Tante jadi lebih sensitif dan sering marah-marah. Apa ada yang terjadi yang aku nggak tahu, Tante?” cecar Ibrahim bertubi-tubi. Namun, bukannya menjawab pertanyaan sang keponakan, mustika justru menghindar dengan masuk ke kamarnya. Tentu saja Ibrahim tidak ingin membiarkan begitu saja. Dia pun segera menyusul sang Tante.“Tinggalin Tante Ibrahim. Tante ingin sendiri,” ujar Mustika saat tahu Ibrahim mengikutinya dari belakang. 'Nggak. Tante harus jelasin sikap tante dulu, setelah itu baru aku akan keluar,” keukeh pria itu dengan nada tegas seakan tak ingin dibantah. Kesal, Mustika pun memutar tubuhnya. “brahim!” sentaknya dengan bola mata membesar. “Kamu bukan anak yang seperti ini, kan? Aku membesarkan kamu untuk jadi orang yang selalu menghargai orang tua, lupa kamu?” lanjutnya dengan keua tangan sudah terkepal erat.“Tapi, Tante ….”“Cukup I