“Vibesnya beda, ya. Desain interior di sini lebih trendi. Kalau yang di restoran kesannya lebih glamour.” Kevin mengedarkan matanya pada setiap sisi ruangan pribadi Tiffany. Ia mengamati sejumlah foto dan pajangan yang ada pada setiap sisi ruangan. Tiffany tersenyum setelah melepaskan semua atribut yang menutupi wajah dan kepalanya. Kini Kevin dapat dengan jelas melihat wajah cantik natural Tiffany. Kali ini wanita itu sama sekali tidak menggunakan riasan wajah apapun, persis seperti masa sekolah dulu. Dengan poni see through dan rambut messy bun yang makin menyempu
Rina melamun di kursi teras rumahnya. Matanya menatap kosong hamparan rumput hijau di depannya. Ini adalah kali pertamanya ia berani diam di luar rumah setelah tersebarnya video amatir pertikaiannya dengan Tiffany dan Satria ke publik. Jelas saja Rina merasa malu untuk bertemu dengan banyak orang, terutama dengan tetangganya. Ia tidak menyangka kalau waktu itu emosinya benar-benar tidak dapat dikendalikan hingga berujung dengan membongkar aib rumah tangganya sendiri. “Keterlaluan!” teriak seorang wanita dari dalam rumahnya. Rina terkejut hingga agak meloncat dari kursinya. Ia pun bergegas masuk menemui ibunya di dalam. “Bu! Kenapa sih, Bu? Suaranya sampai jelas kedengeran keluar!” Sang Ibu—Lia—melotot dengan mata yang merah penuh amarah. Ia lantas menyodorkan ponseln
Seluruh pria di studio latihan pribadi Bumantara Band termenung setelah mendengar penuturan Tiffany soal perkataan Lauren padanya tadi malam. Sama seperti Satria, mereka semua pun tidak habis pikir dengan ucapan Lauren yang begitu kasar itu. Bahkan, mereka pun tidak menyangka bahwa selama ini Lauren telah memendam kebencian dan perasaan dendam kepada Tiffany. Tadinya mereka pikir bahwa sikap Lauren yang kerap sentimen pada hubungan gelap Tiffany dan Satria itu hanya sebatas tindakan rasional dari seorang manajer, namun ternyata lebih dari itu. “Apa jangan-jangan ... waktu nyokap gua dateng ke restoran lu, itu ulah si Lauren?” duga Satria, sambil membelai kepala Tiffany yang kini tengah nyaman bersandar pada dada bidangnya. Tiffany terperangah. Ia menarik tubuhnya dari Satria dan menoleh pada pria itu dengan tatapan yang bingung. “M—maksudnya, dia yang udah sengaja bawa ibu lo ke tempat gue?” Satria terdiam sejenak dengan pikirannya, sebelum akhirnya ia mengangguk mengiyakan pertan
Hallo, pembaca setia novel "Wanita Pecandu Luka"! Salam kenal, yaa. Saya mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya karena kalian sudah membaca novel ini. Eummm... sebelum lanjut membaca bab berikutnya, saya mau tau dong pendapat kalian soal karakter-karakter yang ada di dalam novel ini. Siapa sih karakter pria yang paling kalian suka, di antara Kevin, Satria, dan Dimas? Sertakan pula alasannya, ya! Oh yaa, kalau kalian suka dengan novel "Wanita Pecandu Luka", jangan lupa untuk senantiasa memberikan dukungan pada novel ini ya. Kalian juga dapat mengikuti akun saya dan berlangganan novel "Wanita Pecandu Luka" supaya tidak sampai ketinggalan bab terbarunya. Dengan begitu, saya akan lebih bersemangat untuk menulis. Hehe... Terima kasih. Salam hangat dari penulis :)
Setelah mendengar teriakan Rina yang cukup mengganggu, sejumlah ibu-ibu yang tengah berkumpul di salah satu rumah tetangga Tiffany pun ramai berdatangan menghampirinya. Mereka sontak terkejut ketika mengetahui bahwa wanita yang tengah membuat kerusuhan itu adalah Rina—wanita yang akhir-akhir ini hangat dibicarakan di media pemberitaan. “Mbak, udah Mbak … jangan marah-marah. Ngabisin tenaga aja buat marah-marah sama pelakor! Udah, Mbak. Nanti juga dia kena karmanya sendiri,” celetuk salah satu ibu-ibu yang paling tua dari yang lainnya, mungkin sekitar lima puluh tahunan. Dimas mengerutkan bibirnya menahan kesal. “Bu, tolong ya, jangan buat statement yang enggak-enggak! Nggak usah memperkeruh keadaan!” “Loh?” gumam ibu-ibu tadi. “Itu Dimas, kan?” tanyanya pada ibu-ibu yang lai
Kevin melepaskan sejilid kertas dari tangannya. Ia menggeliatkan tubuhnya setelah selesai membaca dan mempelajari naskah serial drama yang akan diperankannya mulai hari ini. Sambil mengamati langit-langit kamarnya, senyum Kevin tiba-tiba mengembang dengan sempurna. Matanya mengecil membentuk bulan sabit. Lagi-lagi ingatannya dimabuk oleh bayang-bayang wajah Tiffany. "Fany," gumamnya yang membuat wajahnya merah tersipu. Kevin memegangi dadanya. Hatinya terasa begitu hangat. Wajah Tiffany seolah menjadi hotpack yang menghangatkan perasaannya di pagi buta yang dingin ini. 'Itu tuh bahasa anak zaman now, Vin. Kamu sih nggak penah iseng main ke Indo, jadi ketinggalan jaman deh!' Terbayang tawa Tiffany yang begitu renyah ketika puas meledeki Kevin saat di kafe kemarin pagi. Ada juga raut wajah Tiffany yang menggemaskan ketika wanita itu merasa jengkel atas ledekan-ledekan yang dilayangkan Kevin. Semua keceriaan yang terjadi kemarin pagi seolah terjadi bagai sebuah mimpi. setelah belasan
Usai sampai di apartemennya, Kevin lekas membawa Tiffany ke dalam kamarnya. Dengan begitu hati-hati, ia meletakkan tubuh wanita itu di atas kasur king size-nya, tak luput menyelimutinya hingga bagian leher. "Kenapa kamu bisa sampai kayak gini, Fan?" gumam Kevin. Mata sendunya kembali terpaku mengamati wajah cantik Tiffany yang kini sedang tertidur lelap. Perasaannya sesak ketika ia makin mendalami raut wajah wanita itu. Meskipun Kevin tidak tahu persis dengan apa yang sebenarnya telah membuat Tiffany begitu terluka hingga mabuk seperti saat ini, Kevin seolah dapat menerima transfusi kesedihan itu dari lubuk hati Tiffany. “Semoga kamu dapat segera menyelesaikan masalah kamu, Fan,” lirih Kevin sambil membelai rambut Tiffany dengan lembut. Selepas itu, Kevin se
Tiffany menggelengkan kepalanya. Perasaannya begitu tidak enak. Ia merasa bersalah kepada Kevin, atas ucapan dan sikapnya sejak di bar. Tiffany meraih pergelangan tangan Kevin. “Bukan gitu maksud aku, Vin. Tapi … tapi aku takut bikin kamu risih. Aku …,” jelas Tiffany dengan menggantung. “Aku?” tanya Kevin yang penasaran. Wajahnya masih tampak dingin dengan sorot mata yang tajam, persis seperti tabiatnya saat masa sekolah dulu. “Aku ….” Tiffany menundukkan kepalanya. Sikap Kevin yang begitu dingin malah membuat pikirannya buncah hingga lupa dengan apa yang akan dikatakannya. Kevin mengangkat salah satu alisnya. Begitu lama Tiffany berdiskusi dengan pikirannya sendiri, membuat perhatian Kevin teralihkan pada pergelangan tangannya yang masih erat digenggam wanita itu. S