Tiffany menggelengkan kepalanya. Perasaannya begitu tidak enak. Ia merasa bersalah kepada Kevin, atas ucapan dan sikapnya sejak di bar.
Tiffany meraih pergelangan tangan Kevin. “Bukan gitu maksud aku, Vin. Tapi … tapi aku takut bikin kamu risih. Aku …,” jelas Tiffany dengan menggantung.
“Aku?” tanya Kevin yang penasaran. Wajahnya masih tampak dingin dengan sorot mata yang tajam, persis seperti tabiatnya saat masa sekolah dulu.
“Aku ….” Tiffany menundukkan kepalanya. Sikap Kevin yang begitu dingin malah membuat pikirannya buncah hingga lupa dengan apa yang akan dikatakannya.
Kevin mengangkat salah satu alisnya. Begitu lama Tiffany berdiskusi dengan pikirannya sendiri, membuat perhatian Kevin teralihkan pada pergelangan tangannya yang masih erat digenggam wanita itu. S
Kevin tertegun menatap wajah Tiffany. Napasnya lagi-lagi terasa sesak. Dadanya seolah menyempit, dipenuhi segala duka yang selama ini telah menyiksanya. Belasan tahun sudah ia bertahan hidup demi nama Tiffany yang terus mengalir dalam denyutnya. Bukan salah Kevin jika kali ini ia benar-benar terluka. Pria itu baru saja dicampakkan oleh satu-satunya harapan dalam hidupnya. “Kamu selalu ingkar, Vin." Tiffany mencoba menyeka air matanya. "Apa aku terlalu rendah di mata kamu, Vin? Sampai kamu harus berkali-kali bohongin aku," ujarnya dengan suara parau. Ia melirik Kevin sebentar, kali ini perasaannya terlalu rapuh untuk melihat wajah pria itu. "Kamu bilang ... kamu mau pergi, kamu bilang kamu mau pindah. Tapi ternyata waktu itu kamu masih ada di Bandung, kan? Kamu cuma bersembunyi dari aku aja!" Lagi-lagi tangisan ya
Tiffany segera melepaskan genggamannya dari Kevin. Seketika wajahnya memucat. “Lo tanya aja sendiri sama Kevin,” sahutnya dengan dingin tanpa melirik Juna. Tiffany terus memusatkan pandangannya pada Kevin. Ia berharap agar Kevin segera siuman, supaya dirinya tidak sendirian lagi membalas ocehan Juna. Juna beranjak dari posisinya. Ia berjalan ke arah jendela dengan ekspresi yang begitu masam. “Sebenernya si Kevin itu kenapa, sih? Seenggaknya kasih tau aja penyakit dia apa!" "Disuruh check up juga malah nolak terus. Kan sekarang akibatnya jadi gini! Masa iya harus absen syuting hari pertama!” sambung Juna yang tengah meluapkan emosinya pada Reyhan. Tiffa
Tiffany melepaskan seatbelt-nya, sementara Kevin terus mengamati wajah Tiffany sejak ia menghentikan mobilnya di depan rumah wanita itu. Kevin begitu bersikeras untuk mengantarkan Tiffany sampai ke rumahnya. Meskipun kondisinya belum pulih, Kevin tidak rela jika sampai Juna yang mengantarkan Tiffany pulang. “Makasih ya, Vin. Kamu jadi repot-repot nganterin aku ke rumah.” “Gapapa, Fan. Emang udah seharusnya aku nganterin kamu pulang. Kan aku yang udah bawa kamu ke apartemen,” sahut Kevin. Tiffany tersenyum. “Makasih juga karena kamu udah jemput aku di bar,” ujarnya. "Oiya, masalah hp tadi ...," ujar Kevin dengan mengantung.
Juna melirik Kevin dengan perasaan heran. Baru kali ini ia melihat wajah Kevin yang tampak berseri di belakang kamera. Tak biasanya juga Kevin begitu lahap memakan roti panggangnya, yang kini terpaksa dimakan di perjalanan lantaran waktu syuting yang mepet dengan jam bangun tidurnya.“Kemarin Juna dapet teguran keras dari sutradara, gara-gara kamu batal syuting.” Rian, road manager Kevin membuka pembicaraan dari bangku penumpang depan.Kevin menoleh pada Juna yang duduk di kursi pilot seat sampingnya. “Maaf,” ujarnya.Ucapan Kevin memang terdengar singkat, namun ternyata cukup berarti untuk seluruh pria yang ada di mobil itu. Mereka kira Kevin akan mengeluarkan jurus ketusnya untuk menangg
Kevin memasang wireless earbuds pada salah satu telinganya. Ia menggulirkan layar ponselnya sambil mendengarkan salah satu lagu Bumantara Band. Sebenarnya Kevin merasa enggan untuk mendengarkan lagu yang ditulis dan diaransemen oleh Satria itu. Namun, keengganannya sementara harus ia sisihkan demi bisa menikmati suara merdu milik Tiffany. Bahkan ketika menyanyikan lagu dengan tempo cepat pun, suara wanita itu berhasil membuat Kevin hanyut. Sementara itu, hairstylist yang tengah menata rambut Kevin tidak sengaja melirik layar ponselnya. Ia melihat cover album Bumantara Band yang terpampang pada layar ponsel Kevin. Segaris senyum sinis pun terukir pada wajah wanita itu. “Kamu suka denger lagu Bumantara?” celetuk hairstylist yang merupakan bagian dari kru serial drama yang tengah dibintangi Kevin. Kebetulan, hairstylist pribadinya sedang tidak dapat datang ke lokasi syuting. Kevin melirik wanita itu dari pantulan cermin. “Kenapa?" tanyanya dengan sinis sambil mematikan layar ponselnya.
#Flashback# Tiffany masih diam dalam lamunannya. Gadis yang masih lengkap dengan seragam SMA-nya itu sudah hampir satu jam termenung di kursinya. Bahkan belum sedikit pun menyeruput lemon tea-nya. "Masih belum mau cerita?" tanya Kevin dengan datar setelah mereguk ice americano-nya. Tiffany menggelengkan kepalanya. Ia sama sekali tidak melepaskan pandangannya dari jendela. "Jangan bilang kalau kamu udah cerita lebih dulu sama orang berantakan itu," ketus Kevin. Tiffany spontan melirik tajam pada Kevin. Ekspresi wajahnya sangat menunjukkan kekesalan atas ucapan yang baru saja keluar dari mulut Kevin. Namun, Kevin yang duduk di hadapannya itu sama sekali tidak menghiraukannya. Dengan tampang yang
Juna mengangkat bahu seraya menaikkan salah satu alisnya. “Ya kalau lo yang memang nawarin, thanks.” “Eum?” gumam Tiffany kebingungan. Juna tidak menunjukkan penolakan, padahal Tiffany mengira bahwa temannya itu akan sangat kontra atas kedatangan Kevin ke restorannya. “Lo nggak marah kan, Jun?” tanya Tiffany dengan raut penasaran. “Ya kagak lah, orang gue juga mau numpang di restoran lo. Ngapain juga gue marah-marah?” Tiffany spontan melirik Kevin, lantas pria itu hanya tersenyum tipis membalasnya. Sebenarnya situasi ini benar-benar aneh bagi Tiffany. Baru beberapa hitungan hari Tiffany dipertemukan kembali dengan Kevin, sementara hari ini keduanya sudah berada dalam situasi yang begitu intim. Tiffany terkekeh. Ia berusaha menyimpan rasa herannya. “Masuk,” sambutnya sambil mengulurkan tangan ke arah dalam ruangan. “Thanks Fanoy,” ujar Juna. “Makasih ya, Fan,” ucap Kevin dengan senyum yang belum diluruhkannya. Tiffany pun membalasnya dengan senyuman yang begitu teduh. “Eh, kali
Tiffany berpikir sejenak sambil memutarkan bola matanya. Tak lama setelah itu, ia melirik ke arah Kevin. Dirinya merasa tidak enak pada Kevin, lantaran Juna telah menyandingkan pria itu dengan Dimas. Tiffany tahu persis kalau Kevin paling benci jika dibanding-bandingkan. Bahkan, kebanyakan orang pun akan begitu.Juna menelan ludahnya, katupan rahangnya mengeras. Ia sedikit menyesal karena sudah membuat situasi menjadi canggung.“Eumm.” Tiffany bergumam sambil menopang dagunya. “Iya juga, ya.”Kevin menarik napas panjang sambil meregangkan tubuhnya. Ia menanti penjelasan dari Tiffany. Tatapannya begitu lekat menikmati keindahan wajah Tiffany dari samping.“Gue kan kenal sama Kevin dari waktu jaman sekolah, Jun. Jadi gue belom pake istilah kek