Juna melirik Kevin dengan perasaan heran. Baru kali ini ia melihat wajah Kevin yang tampak berseri di belakang kamera. Tak biasanya juga Kevin begitu lahap memakan roti panggangnya, yang kini terpaksa dimakan di perjalanan lantaran waktu syuting yang mepet dengan jam bangun tidurnya.
“Kemarin Juna dapet teguran keras dari sutradara, gara-gara kamu batal syuting.” Rian, road manager Kevin membuka pembicaraan dari bangku penumpang depan.
Kevin menoleh pada Juna yang duduk di kursi pilot seat sampingnya. “Maaf,” ujarnya.
Ucapan Kevin memang terdengar singkat, namun ternyata cukup berarti untuk seluruh pria yang ada di mobil itu. Mereka kira Kevin akan mengeluarkan jurus ketusnya untuk menangg
Kevin memasang wireless earbuds pada salah satu telinganya. Ia menggulirkan layar ponselnya sambil mendengarkan salah satu lagu Bumantara Band. Sebenarnya Kevin merasa enggan untuk mendengarkan lagu yang ditulis dan diaransemen oleh Satria itu. Namun, keengganannya sementara harus ia sisihkan demi bisa menikmati suara merdu milik Tiffany. Bahkan ketika menyanyikan lagu dengan tempo cepat pun, suara wanita itu berhasil membuat Kevin hanyut. Sementara itu, hairstylist yang tengah menata rambut Kevin tidak sengaja melirik layar ponselnya. Ia melihat cover album Bumantara Band yang terpampang pada layar ponsel Kevin. Segaris senyum sinis pun terukir pada wajah wanita itu. “Kamu suka denger lagu Bumantara?” celetuk hairstylist yang merupakan bagian dari kru serial drama yang tengah dibintangi Kevin. Kebetulan, hairstylist pribadinya sedang tidak dapat datang ke lokasi syuting. Kevin melirik wanita itu dari pantulan cermin. “Kenapa?" tanyanya dengan sinis sambil mematikan layar ponselnya.
#Flashback# Tiffany masih diam dalam lamunannya. Gadis yang masih lengkap dengan seragam SMA-nya itu sudah hampir satu jam termenung di kursinya. Bahkan belum sedikit pun menyeruput lemon tea-nya. "Masih belum mau cerita?" tanya Kevin dengan datar setelah mereguk ice americano-nya. Tiffany menggelengkan kepalanya. Ia sama sekali tidak melepaskan pandangannya dari jendela. "Jangan bilang kalau kamu udah cerita lebih dulu sama orang berantakan itu," ketus Kevin. Tiffany spontan melirik tajam pada Kevin. Ekspresi wajahnya sangat menunjukkan kekesalan atas ucapan yang baru saja keluar dari mulut Kevin. Namun, Kevin yang duduk di hadapannya itu sama sekali tidak menghiraukannya. Dengan tampang yang
Juna mengangkat bahu seraya menaikkan salah satu alisnya. “Ya kalau lo yang memang nawarin, thanks.” “Eum?” gumam Tiffany kebingungan. Juna tidak menunjukkan penolakan, padahal Tiffany mengira bahwa temannya itu akan sangat kontra atas kedatangan Kevin ke restorannya. “Lo nggak marah kan, Jun?” tanya Tiffany dengan raut penasaran. “Ya kagak lah, orang gue juga mau numpang di restoran lo. Ngapain juga gue marah-marah?” Tiffany spontan melirik Kevin, lantas pria itu hanya tersenyum tipis membalasnya. Sebenarnya situasi ini benar-benar aneh bagi Tiffany. Baru beberapa hitungan hari Tiffany dipertemukan kembali dengan Kevin, sementara hari ini keduanya sudah berada dalam situasi yang begitu intim. Tiffany terkekeh. Ia berusaha menyimpan rasa herannya. “Masuk,” sambutnya sambil mengulurkan tangan ke arah dalam ruangan. “Thanks Fanoy,” ujar Juna. “Makasih ya, Fan,” ucap Kevin dengan senyum yang belum diluruhkannya. Tiffany pun membalasnya dengan senyuman yang begitu teduh. “Eh, kali
Tiffany berpikir sejenak sambil memutarkan bola matanya. Tak lama setelah itu, ia melirik ke arah Kevin. Dirinya merasa tidak enak pada Kevin, lantaran Juna telah menyandingkan pria itu dengan Dimas. Tiffany tahu persis kalau Kevin paling benci jika dibanding-bandingkan. Bahkan, kebanyakan orang pun akan begitu.Juna menelan ludahnya, katupan rahangnya mengeras. Ia sedikit menyesal karena sudah membuat situasi menjadi canggung.“Eumm.” Tiffany bergumam sambil menopang dagunya. “Iya juga, ya.”Kevin menarik napas panjang sambil meregangkan tubuhnya. Ia menanti penjelasan dari Tiffany. Tatapannya begitu lekat menikmati keindahan wajah Tiffany dari samping.“Gue kan kenal sama Kevin dari waktu jaman sekolah, Jun. Jadi gue belom pake istilah kek
Tiffany mengernyit linglung di depan ruang pribadinya. Ia menepuk-nepuk kepalanya sendiri dengan perasaan tidak karuan. “Kok malah aku yang sewot, sih? Udah untung Kevin mau bantu jadi guest star!” gumamnya dalam batin. Tiffany bersandar pada dinding sambil menjentik bibirnya. Tak perlu waktu yang begitu lama, ia sudah menyesali perkataannya barusan. Wanita itu begitu cemas jika Kevin merasa tersinggung dan marah padanya. Bagaimanapun juga, Kevin sudah berbaik hati untuk menerima tawaran pekerjaan yang begitu riskan baginya. Wajah wanita itu terlihat begitu cemas. Beberapa kali dirinya menoleh ke arah pintu. Hati kecilnya mengatakan bahwa ia harus kembali ke ruangan itu dan meminta maaf kepada Kevin sebelum pria itu larut dalam kesalahpahaman. Namun, di sisi lain Tiffany merasa enggan, apalagi ketika ia mengingat kekecew
Tiffany segera menghampiri Kevin yang tengah kepayahan mengeluarkan isi perutnya di wastafel toilet. Namun, saat baru saja sampai di ambang pintu, Tiffany segera mengehentikan langkahnya. Ia begitu terkejut karena mendapati badan atletis Kevin yang tak berbalut. Pria itu hanya menggunakan handuk untuk menutupi bagian pinggang hingga pahanya. Tiffany spontan membalikkan tubuhnya dengan mata yang terbuka lebar. “Kenapa lo nggak bilang!” rutuknya dengan lirih pada Juna. “Ya abisnya lo langsung masuk, gue kagak sempet bilang.” Tiffany mendengkus sebal. Ia lantas berjalan menuju lemari yang besar di samping toilet. Wanita itu membuka salah satu pintu lemari yang berisikan sejumlah handuk, lantas lekas mengambil satu bathrobe
Merasa kian dikuasai amarah, Tiffany segera mengambil segelas air minum. Ia lantas meneguk air itu di saat Satria masih terus mengoceh. Sejenak, Tiffany mengalihkan pandangannya pada Kevin dan Juna. Tanpa disadarinya, ia telah membiarkan kedua pria itu melihat jejak air mata yang sudah membasahi wajahnya. “Lu bisa ngerti nggak sih maksud gua? Ini semua demi kebaikan lu!” Satria berbicara dengan intonasi tinggi. Tiffany menarik napasnya sangat dalam. “Gue ngerti. Tapi kali ini gue nggak mau ngertiin itu.” Suaranya mulai rendah. “Fan …,” lirih Satria dengan mengantung. Ia mencoba menahan emosinya. “Untuk kali ini biarin gue ngambil keputusan sendiri, Sat. Lagian … ini urusan pribadi g
Tiffany menghela napas panjang. “Ya, Her.”“Bu, saya baru saja dapat kabar dari Pak Raksa,” ucap Heru dengan intonasi yang tak bergairah.Tiffany sedikit menarik sudut bibirnya. Ia menduga akan segera ada hal buruk yang didengarnya. “Gimana katanya?”“Pak Raksa mengurungkan niatnya, Bu.”Tawa yang miris spontan keluar dari mulut Tiffany. Wanita itu lantas beranjak keluar dari ruang editor. “Ya, udah ketebak, sih.""Saya ikuti saran dari kamu aja. Kita fokus untuk mengembangkan yang udah ada dulu,” sambungnya.Heru bergumam. “Iya, Bu. Lebih baik seperti itu.”&ldquo