Merasa kian dikuasai amarah, Tiffany segera mengambil segelas air minum. Ia lantas meneguk air itu di saat Satria masih terus mengoceh.
Sejenak, Tiffany mengalihkan pandangannya pada Kevin dan Juna. Tanpa disadarinya, ia telah membiarkan kedua pria itu melihat jejak air mata yang sudah membasahi wajahnya.
“Lu bisa ngerti nggak sih maksud gua? Ini semua demi kebaikan lu!” Satria berbicara dengan intonasi tinggi.
Tiffany menarik napasnya sangat dalam. “Gue ngerti. Tapi kali ini gue nggak mau ngertiin itu.” Suaranya mulai rendah.
“Fan …,” lirih Satria dengan mengantung. Ia mencoba menahan emosinya.
“Untuk kali ini biarin gue ngambil keputusan sendiri, Sat. Lagian … ini urusan pribadi g
Tiffany menghela napas panjang. “Ya, Her.”“Bu, saya baru saja dapat kabar dari Pak Raksa,” ucap Heru dengan intonasi yang tak bergairah.Tiffany sedikit menarik sudut bibirnya. Ia menduga akan segera ada hal buruk yang didengarnya. “Gimana katanya?”“Pak Raksa mengurungkan niatnya, Bu.”Tawa yang miris spontan keluar dari mulut Tiffany. Wanita itu lantas beranjak keluar dari ruang editor. “Ya, udah ketebak, sih.""Saya ikuti saran dari kamu aja. Kita fokus untuk mengembangkan yang udah ada dulu,” sambungnya.Heru bergumam. “Iya, Bu. Lebih baik seperti itu.”&ldquo
Tiffany mengerutkan keningnya. Selama bertahun-tahun mengenal Dimas, tidak pernah sekalipun ia menyangka bahwa pria itu mampu melayangkan tuduhan semacam itu, meskipun yang dikatakan Dimas memang hampir sepenuhnya benar. "Kok kamu gitu sih ngomongnya," keluh Tiffany dengan sorot mata yang sinis. Dimas menarik napasnya dalam-dalam. Ia lantas beranjak dari sofa dan beralih duduk pada kursi di depan komputernya. Pria itu sama sekali tak berbicara, tetapi malah menyalakan monitornya. Sementara itu, Tiffany masih tercenung dengan perasaan yang serba salah. Pandangannya sama sekali tak lepas dari punggung Dimas. "Jawab dong, Dim," desak Tiffany dengan nada suara yang kesal. "Dimas," panggil Tiffany. Dimas tak kunjung menghiraukannya. "Dim, aku dateng ke sini tuh buat bicara baik-baik sama kamu. Tapi kamu malah sama aja kayak Satria!" Dimas berdecak dan tiba-tiba memutarkan kursinya dengan kasar menghadap Tiffany. Matanya tajam menyal
Tiffany mencengkeram stirnya dengan kuat setelah menghentikan mobil di depan rumahnya. Tampak tiga orang wanita segera menghampiri mobilnya. Bahkan salah satu di antaranya—yang bule—mengetuk-ngetuk kaca mobilnya dengan keras. Ketiga wanita itu mengerumuni mobilnya seperti seorang pelajar yang hendak tawuran. Raut wajahnya sama-sama kusut. Dahinya mengerut hingga alisnya hampir menyatu. "Apa lagi, sih!" Tiffany membuang napasnya dengan kasar. Ia menimbang-nimbang tindakan yang akan ia pilih. "Turun!" teriak ibunya Satria sambil menggedor-gedor kaca mobilnya. "Cepetan turun!" susul Rina yang turut menggedor-gedor mobilnya. Sementara itu, ibunya Rina hanya berteriak-teriak menyuruh Tiffany untuk segera turun sambil berkacak pinggang. Sebenarnya Tiffany takut untuk turun dan menghadapi ketiga wanita itu sendirian. Belum lagi ditambah rasa malu yang harus ditanggu
*FlashbackTiffany tergopoh-gopoh saat mengikuti strecher ambulace yang baru diturunkan dari mobil. Tangisnya tak kunjung berhenti sejak masih di TKP. Rasa sakit akibat luka yang ada di sekujur tubuhnya seolah tak berarti apa-apa setelah ia melihat kucuran darah yang terus keluar dari hampir seluruh bagian tubuh Arga."Kakaaaaak!" pekik Tiffany."Kakaaak!"Beberapa kali ia tersungkur di lantai rumah sakit. Tiffany sama sekali tidak menyadari bahwa kakinya sudah terlalu lemah untuk menopang langkahnya. Namun, ia tetap tak mau berhenti dan jauh dari Arga."De, pake kursi roda ya!" perintah seorang perawat. "Kita harus obatin dulu luka-lukanya.""Diemm!" pekik gadis SMA itu sambil menyingkirkan lengan perawat yang hendak membantunya untuk bangkit."Kakak," gumamnya sambil berusaha bangkit sendirian."Kakak ...." Rintihannya kian menjadi setelah strecher ambulance yang mengangkut tubuh kakaknya hilang dar
Satria duduk dengan menekuk lututnya di salah satu sudut lorong lantai inap. Dengan urat-urat yang tampak pada pelipisnya, ia menunduk lemas sambil menjambak rambutnya sendiri. "Gue kan udah bilang, jauhin Fany!" caci Dimas, "Lo cuma bikin dia dapet masalah aja!" "Udah, Dim. Udah!" ujar Lauren yang mencoba menenangkan Dimas. Ia tidak ingin Satria kembali terpancing emosi seperti tadi. "Lo harusnya sadar diri, Sat! Lo udah punya keluarga! Lo cuma jadi beban buat Fany!" Dimas masih belum bisa meredakan amarahnya. "Dim, udah Dim .... Ini rumah sakit!" gerutu Lauren dengan gamam. Lauren berusaha menahan tubuh Dimas dari depan karena pria itu terus saja mencoba menyerang Satria. Wanita itu tampak begitu kewalahan, ia belum pernah melihat Dimas semarah ini. "Nggak ada untungnya lo ribut sekarang, Dim!" sentak Joan, manajer Bumantara Band. Dimas menoleh geram pada Joan. "Gue emang nggak lagi nyari untung!" "Gue cuma mau buat manusia itu sadar!" sambungnya sambil mengacungkan telunjuk
[Flashback] "Pokoknya aku benci Kevin!" teriak Tiffany dari dalam kamarnya. Ia menangis sesegukan sambil memeluk guling. "Nggak usah ngomong kayak gitu, nanti nyesel!" sahut Arga di depan pintu kamar adiknya. "Tapi dia jahat banget, Kak!" Tiffany kembali mengadu pada Arga atas kemunculan Kevin di mal tadi siang. Padahal, yang Tiffany tahu, satu bulan yang lalu Kevin sudah berpamitan padanya untuk pergi ke Amerika. "Ya mungkin dia punya alasan yang kamu nggak tau," ujar Arga yang masih mencoba menenangkan kekecewaan Tiffany pada Kevin. "Enggak!" pekik Tiffany sambil meremas gulingnya. "Pokoknya aku benci Kevin!" "Aku benci si anak mamih itu!" "Aku benci Kevin!" "Aku benci!" Arga menghela napasnya sejenak. Jika ada di posisi Tiffany, mungkin ia pun akan sama-sama kecewa dan sedih atas sikap Kevin. Lagi pula, mana ada orang yang tidak sakit hati ketika dibohongi oleh temannya sendiri? Apalagi oleh seseorang yang dianggap lebih dari sekadar teman, meskipun bukan kekasih. "Kakak
Hueeek! Hueeek! Kevin terus memuntahkan cairan bening dari mulutnya. Jelas saja hanya cairan bening yang ia muntahkan, sebab dirinya belum memakan apa pun setelah sarapan tadi pagi. "Udahlah, Vin ... kita jangan dulu ke sana," ujar Juna yang dibuat tidak fokus saat menyetir karena suara muntahan Kevin. "Kamu aja sakit, pake sok-sokan jenguk orang sakit!" sambungnya dengan rasa panik yang tak karuan. Kevin tak menggubris. Ia benar-benar tengah kepayahan dengan rasa mual dan peningnya. Kevin begitu payah dalam mengendalikan kekhawatirannya akan kondisi Tiffany. Kecemasannya itulah yang membuat Kevin mengalami rasa panik yang berlebihan. "Pulang aja ya, Vin!" Kevin mengerutkan kening dari pilot seat-nya. "Jangan kebanyakan bicara! Udah! Cepet nyetirnya, ke rumah sakit!" sentak Kevin dengan emosi yang sudah memuncak. Juna mendengkus. "Di sana ada Satria, Vin! Kamu nggak bakalan mungkin diizinin ketemu sama Fany!" Kevin mencengkeram keresek yang ia pegang dengan begitu kuat. Ia san
[Flashback] Tiffany mendengkus sambil menyilangkan tangannya di atas meja. Wajahnya begitu muram, ditambah dengan bibirnya yang mengerucut sebal. Matanya berkaca-kaca menatap kosong jendela. Di depannya, Satria hanya diam sambil mengamati wajah adik kelasnya itu. Seumur hidupnya, lelaki itu belum pernah setegang ini saat berhadapan dengan seorang gadis. "Kakak pernah jahatin cewek, nggak?" Tiba-tiba Tiffany membuka suara. Ucapannya bagaikan petir yang menyambar keheningan dalam benak Satria. "Maksudnya?" tanyanya dengan datar tanpa antusias, seperti biasanya. Tiffany menghela napas panjang. "Enggak." Satria merapatkan bibirnya sambil manggut-manggut. Ia benar-benar tidak pandai dalam membangun perbincangan dengan orang lain. Sementara itu, Tiffany lagi-lagi menghela dan membuang napasnya dengan begitu kesal. Wajah Tiffany yang kini tampak itu malah membuat Satria merasa tersipu. "Tapi Kakak nggak mungkin ngejahatin cewek tanpa alasan, kan?" Kali ini suara Tiffany terdengar pa