Gio masih terdiam di tempatnya. Kalimat terakhir yang Ranintya ucapkan terngiang kuat di telinga pria itu. Apa memang benar yang Ranintya katakan? Gio melukai hati wanita hanya karena menolak pemberiannya?"Kalian saja yang terlalu sensitif." Gio bicara lirih.Lalu tangan Gio terulur ke arah kotak di meja. Dia menarik kotak itu mendekat. Kotak yang manis. Berwarna hitam dengan pita emas menghiasinya. Ada kartu kecil terpasang di pojok kiri atas.'A little gift. Nothing can say, but thank you'Tulisan tangan ditorehkan dengan tinta emas tertulis di sana. Rapi. Tulisan tangan Veronica enak dilihat. Gio membuka pita emas yang membalut kotak itu. Dia lanjutkan membuka penutup kotak dan melihat isinya. Aroma wangi dan manis segera merebak ke penciuman Gio."Bolen pisang?" Gio tidak mengira isi kotak itu adalah bolen pisang, salah satu makanan khas Bandung.Gio mengangkat kotak itu, mencium lebih kuat aroma dari makanan yang ada di depannya."Ini Veronica membuatnya sendiri?" tanya Gio.Tam
Maureen berjalan lambat ke ruang tamu. Dalam hati dia menata apa saja kata-kata yang akan dia ucapkan waktu berhadapan dengan Paulina. Malu sekali jika ingat sikapnya yang lalu. Kata-kata Maureen tajam, menuduh begitu saja pada Paulina.Di ruang tamu, Paulina duduk bersebelahan dengan pemuda hitam manis dengan rambut agak gondrong. Mereka tampak bicara serius. Hati Maureen makin berdebar-debar tak karuan."Ah, Maureen sudah antar minumannya?" Dari belakang Maureen, Gio muncul.Paulina dan pemuda itu menoleh melihat ke arah Maureen dan Gio. Seketika Paulina mengurai senyumnya. Pemuda di sampingnya ikut tersenyum tipis. Tatapan ramah yang pernah Paulina tunjukkan terlihat lagi.Gio mendahului Maureen mendekat pada kedua tamunya lalu duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka."Sini, Reen," panggul Gio.Maureen mendekat, berdiri di samping Gio. Gio membantu Maureen menyuguhkan minuman pada tamunya."Maureen duduk di samping Papa, ya?" pinta Gio.Maureen makin tidak tenang. Paulina te
"Eh, begini. Sepupuku mau menikah. Dia minta aku baca puisi di hari pernikahannya. Dia sudah buat puisinya. Dan itu harus dibaca cowok dan cewek. Sudah tiga hari aku cari teman yang cocok buat baca bareng, tapi ga ada. Padahal acaranya besok. Jadi karena mendesak aku ke sini. Re, kamu bersedia, kan?" Panjang lebar Resita menjelaskan alasan kedatangannya. Maureen muncul membawakan minuman untuk Resita. Gio yang memberitahu Maureen agar menyediakan minuman untuk tamu. "Minum ya, Kak. Biar hangat," kata Maureen. "Di luar udara dingin." "Ini Maureen, adikku yang cewek." Reggy mengenalkan Maureen. "Hai, Kak." Maureen tersenyum. "Hai ... maaf ya, merepotkan," ucap Resita. "Ga apa, Kak. Cuma minum aja." Maureen tersenyum. "Silakan, Kak." Maureen balik ke dalam. "Wih, beneran cantik gebetan Kak Reggy," bisik Maureen sambil menengok lagi memperhatikan Resita. "Aku ngerti kamu pasti bingung cari teman untuk membaca puisi itu. Waktunya mepet juga, kan?" Reggy melanjutkan pembicaraan awal
Reggy meyakinkan hatinya, dia tidak boleh lambat bergerak. Jadi dia harus mengatakan sesuatu tentang hatinya pada Resita."Kamu tahu, Sita, karena lomba puisi yang lalu, sebenarnya aku-""Re, dua rumah di depan. Kita sampai." Resita memberi petunjuk terakhir dan selesai perjalanan mereka.Reggy menghela napas. Ah, dia sedikit terlambat. Kalimatnya bukan saja tidak selesai dia ucapkan tetapi juga Resita ternyata lebih fokus dengan jalanan, karena memang mereka sudah tiba di tujuan."Ini rumahku. Ala kadarnya. Beda, tidak seperti rumah kamu yang besar dan keren." Resita menunjuk rumah di sebelah kiri mereka. Memang rumah di perumahan sederhana tipe sedang, tidak sebesar rumah keluarga Hendrick. Ruang tamu tampak diterangi lampu temaram, di bagian dalam terlihat gelap."Mungil dan manis. Terkesan adem." Reggy ikut memperhatikan."Makasih udah ngantar aku. Maaf, aku merepotkan kamu. Sampai besok, ya?" Resita melepas sabuk pengaman dan bersiap turun dari mobil."Aku harus bertemu orang tu
Dada Veronica berdegup kencang. Pertanyaan Gio belum segera dia jawab. Yang mulai berkelana di kepalanya adalah kisah pedih yang dia mau tinggalkan dengan pindah ke Malang.Tapi Veronica tidak mungkin tidak menjawab. Gio menunggu Veronica membuka mulut dan memberi alasan pilihan Veronica memulai bisnis di kota kecil yang jauh dari tempat asalnya."Malang kota yang sejuk dan tenang. Kota yang sedang berkembang. Saya mencoba peruntungan saja, mungkin saya akan menemukan yang lebih baik di sini." Entah bagaimana kalimat itu mengalir begitu saja dari bibir Veronica."Really?" Gio seperti tidak percaya dengan jawaban Veronica. "Bukannya peluang lebih besar jika tetap di Bandung?""Ah, Pak Gio benar soal itu. Tapi, hanya saja ..." Veronica mencari kata yang tepat, tapi tidak juga menemukan."Apa terlalu pribadi?" Gio melihat aura yang lain saat Veronica mencoba melengkapi kalimatnya.Wajah Veronica memerah. Sama sekali tidak dia kira sejauh itu Gio akan bisa membaca yang terjadi dengannya."
Baris demi baris bergantian Reggy dan Resita membaca syair indah tentang cinta. Bait demi bait dikumandangkan membahana di seluruh ruangan yang luas dan megah. Semua mata masih terpaku, seolah tak ada yang bergerak menyaksikan keduanya.Detak jantung Reggy terus kencang melaju. Setiap kata yang dia ucap, dia lepas dari hati terdalam. Bukan sekadar menuntaskan permintaan mempelai untuk mengurai cinta dengan pasangannya lewat puisi, tetapi sepenuh hati Reggy ucap, berharap Resita memahami itu isi hati Reggy padanya."Cinta ... Sungguhkah kau cinta padaku?" Resita membaca satu baris."Tidakkah hatimu merasa? Tidakkah sukmamu memahaminya?" Reggy maju satu langkah makin mendekat. "Ya ... cinta ... cinta untukmu."Mata berbinar indah Resita tajam memandang Reggy. Rona merah di pipinya membuat dia makin bersinar. "Bukan aku tak tahu, bukan ... Bukan tidak kurasa ... Mungkinkah? Diriku? Cinta itu buatku?" Semakin dalam tatapan Resita. Kalimat itu memang dalam syair puisi, tetapi seolah-olah
Felipe masuk rumah dengan wajah lesu. Dia tampak sangat letih. Ransel besar di punggungnya dia letakkan di sebelah sofa, lalu melemparkan tubuh ke atas sofa besar, ingin melepas lelah. Semua bagian tubuhnya terasa tak ada daya. "Hai, Abangku yang ganteng!!" sapa Maureen. Dia mendekati Felipe. "Kok loyo banget? Rencana ga sukses?" "Yerry udah baikan karena bertapa dua malam di hutan. Aku ini yang perlu vitamin," ujar Felipe. "Kayak patah dan lepas tulang-tulangku." Felipe pergi ke salah satu lokasi wisata alam dengan sahabatnya, Yerry. Ayah Yerry meninggal karena serangan jantung. Tentu saja sangat mengejutkan dan menyakitkan. Yerry sangat kehilangan, begitu juga dengan mama dan kakaknya. Karena ingin membantu Yerry agar bisa kembali tenang dan siap menjalani hari-harinya, Felipe mengajak Yerry camping dua malam. Di sana Yerry bercerita banyak sekali tentang ayahnya, keluarganya, dan bagaimana situasi mereka dengan kepergian sang ayah. Setelah menumpahkan semua sedih di hutan, Feli
Felipe berdiri agak di belakang Yerry dan kakaknya, Vera. Yerry akhirnya menemukan ke mana Vera pergi. Ke tempat wisata yang menjadi tempat favorit papa mereka jika liburan. Perjalanan ke sana lebih kurang satu jam dari rumah. "Kenapa papa harus meninggalkan kita, Yer?" Suara Vera lirih dan terdengar pilu. "Karena buat Tuhan, sudah cukup waktunya papa di dunia ini." Mengatakan ini sebenarnya sangat berat untuk Yerry. "Tapi Tuhan tahu aku butuh papa. Aku sayang papa." Vera mulai menangis. "Pasti. Tuhan pasti tahu. Tuhan juga sayang papa." Yerry menahan pedih yang menyusup lagi di hatinya. "Kenapa Tuhan biarkan papa meninggal? Kenapa Tuhan ga sembuhkan? Tuhan tahu aku ga bisa tanpa papa. Buat aku papa segalanya." Vera makin keras bicara sambil melepas tangis. Vera memang sangat dekat dengan papanya sejak kecil. "Itulah yang Tuhan tidak suka, Kak Ve." Yerry harus menguatkan hati, agar bisa menguatkan kakaknya. "Maksudmu?" Vera menatap adiknya. "Tuhan juga ingin kita sayang pada-