Bab 96. Kuusir Keluarga Mertuaku Secara Elegant“Ka-kamu …!” Seisi ruang tengah itu tersentak kaget. Termasuk Mas Sigit.“Iya, saya …,” ucapku sembari mengukir senyum seindah yang aku bisa. Satu persatu kutatap dengan sangat lembut. Lalu berlabuh di wajah mantan suamiku. Kuulas senyum semakin manis. Diiringi tatapan dari sorot mataku yang penuh binar. Aku ingin tau reaksinya.Pria durjana itu menatapku tak percaya. Kedua bola mata keranjangnya membulat sempurna. Dia lepas genggaman tangan Yosa di jemarinya. Dia bahkan mulai berdiri, berjalan keluar dari kursinya, kemudian menghampiriku.“Mas!” panggil Yosa kaget berlipat ganda. Kaget melihatku, juga kaget melihat reaksi suaminya. “Maaaas …!” panggilnya sekali lagi. Namun, yang dipanggil seolah tak mendengar. Dia seperti terhipnotis dengan senyum yang merekah di bibirku. Dan makin kulebarkan saat dia semakin mendekatiku.Aku jadi menyesal kenapa tadi pagi hanya dandan sederhana. Cuma sapuan bedak dan pewarna bibir tipis yang a
Bab 97. Anakku Benar Kecelakaan Atau Jebakan“Selamat ya, Bude! Akhirnya Bude bisa menempati rumah Bude lagi!” ucapku mengusap-usap lengan wanita enam puluh tahunan itu. Tetapi dia terlihat masih saja murung. “Ini surat rumah, Bude! Bude pengang, simpan dengan baik, ya! Rencana Bude hendak mengalihnama kepemilikan menjadi nama Bening, sebaiknya dibatalkan saja. Ini harta Bude, harus tetap atas nama Bude,” Mas Elang menjelaskan.Bude Asih menerima map plastik berisi sertificat rumahnya. Menatapnya dengan mata berkaca-kaca.“Kami pulang, ya, Bude! Kami akan sering-sering mengunjungi Bude ke sini. Kalau Bude ada waktu, Bude juga boleh main ke warung makan Bening, Bude sehat-sehat, ya!” ucapku lalu kukecup kedua pipinya.“Kunci saja semua pintu dan jendela, Ning! Bude mau ikut kalian ke warung makanmu!”“Lho, kenapa, Bude? Ini rumah Bude, kan?”“Nanti saja, Bude masih ingin sama kamu!”Bude Asih melangkah masuk ke dalam mobil Mas Elang. Aku toleh ke arah Mas Elang, dia memberi isy
Bab 98. Bening Terjebak Masih setengah perjalanan. Ponselku berdering lagi. Sebuah pesan dari nomor sama masuk lagi. Buru-buru aku mengusap layar. [Maaf, Bu! Posisi Ibu di mana sekarang. Kenapa lama sekali, Bu! Nada mengalami pendarahan hebat di kepalanya, Bu!] Jantungku bagai berhenti memompa. Aku merasa lemas, sesak tak bisa menghirup oksigen. [Saya sudah di tenga jalan, tolong selamatkan anak saya, Bu, Pak!] Kubalas pesannya. Lima menit berlalu, tak ada lagi balasan pesan dari sekolah itu. Tetapi hatiku semakin was-was. Penumpang turun naik di halte-halte yang kami lintasi, itu membuatku semakin tak tenang. Aku sedang bur-bur, anakku sedang sekarat! Tolong cepatlah! Astaga! Angkotnya malah terpaksa berhenti karena macet parah. Bagaimana ini. Ojek, ya, aku naik ojek saja. Naik motor mungkin bisa lebih cepat karena bisa nyalip dan nyelinap di kemacetan ini. Segera kubayar ongkos, lalu buru-buru turun. Kulambai seorang tukang ojek yang kebetulan sedang ngetem tak jauh d
Bab 99. VOP Nek Ayang (Tukang Ojek Itu Ternyata Suruhan Nek Ayang) “Ibuk enggak bosan di sini?” Ajeng menyapaku pagi ini saat aku berjalan menuju ruang makan. Mereka sudah lebih dulu berkumpul di sana untuk sarapan bersama. Kulihat cucu kesayanganku si Elang tampil berbeda hari ini. Setelan kemeja lengkap dengan dasi. Rambut gondrongnya sudah dipangkas rapi. “Nenek sudah bangun? Sini, Nek, sarapan bareng!” sambutnya seraya menarik sebuah kursi untukku, tepat di sampingnya. “Rapi banget kamu, Le? Tampan. Mau ke mana? Mau mengahadiri sidang gugatan cerai Bening? Kan, besok? Lagian ngapain pakai dasi segala” cecarku tak henti memindai penampilannya. “Nenek … duduk, lho! Eeeemuac!” Sebuah kecupan mendarat di pipiku. Elangku kembali seperti dulu. Segar, ceria, penuh semangat, enerjik, dan penuh perhatian. Elangku sudha kembali. Tuhan, terima kasih. Cucu laki-laki semata wayangku. Harapan dan impian almarhum suamiku. “Mas Mas, pesan terakhirmu padaku, sudah terpenuhi. Betapa ka
Bab 100. Berusaha Lolos Dari Jebakan Mas Sigit “Aku hanya menuntuk hakku, Sayang. Hingga detik ini kau masih istriku, bukan? Aku tak pernah talak kamu. Sidang lanjutan kasus kita esok pagi, bukan? Artinya hingga detik ini aku masih punya hak atas tubuhmu! Sini! Sekalian kita membuat negosiasi untuk persiapan sidang akhir perceraian kita besok! Aku mau kita berdamai saja, ya!” Mas Sigit makin erat memelukku. “Damai? Lepaskan aku dulu! Damai gimana maksudnya?” tanyaku sembari berpikir keras. Pikiranku masih sangat kacau. Bayangan Nada yang berdarah bergentanyangan di otak, membuat kepalaku terasa pening. Aku harus pastikan dulu keselamatannya. Itu yang paling utama bagiku saat ini. Tapi, bagaimana cara meloloskan diri dari pria mesum ini? “Iya, damai … maksudku kita jangan berpisah. Cabut gugatan kamu!” kata Mas Sigit mulai menggerayangi leher dan tengkukku dengan bibir dan lidahnya. Mual mengaduk perutku. seluruh bulu halus di tubuhku ikut merinding. Betapa aku ingin muntah
Bab 101. Kujebak Mantan suamiku Dengan Jebakannya Sendiri “Kenapa diam, Ning? Kamu marah?” Mas sigit memegang daguku. “Tidak!” kataku seraya menepis halus tangannya. “Aku hanya berpikir, betapa besar usaha Mas Sigit untuk mempertahankan rumah tangga kita. Aku merasa terharu, Mas. Terima kasih banyak, ya!” ucapku mulai menggiringnya ke dalam jebakanku. “Iya, Ning! Makanya, tolong mulai sekarang hentikan pekerjaan kamu, ya! Kamu di rumah saja, aku janji akan memenuhi semua kebutuhan kamu dan anak-anak!” “Mas serius?” “Iya, Ning!” “Eeem, gimana dengan utang aku sama Neneknya Mas Elang. Aku mana bisa berhenti bekerja kalau belum lunasi utang-utang aku.” “Ya, sudah. Aku yang akan bayari, Sayang! Tapi, aku kangen banget, Sayang! Aku pengeeeen banget! Ayolah, jangan nolak, dong! Kamu cantik banget sekarang. Bahkan jauh lebih cantik dari pada saat kita di awal nikah dulu! Tubuhmu makin seksi dengan dada yang makin montok ini, Ning! Ini semua masih sah milikku, kan, Ning?” “Iya, Mas
Bab 102. Mas Elang Marah “Toloooong! Lepasin aku, Mas! Tolooooong!” jeritku berusaha meronta. Tetapi sia-sia, meski sudah berdarah, tenaganya masih jauh lebih kuat dari pada tenagaku. Perlawananku tak ada artinya. “Sini kamu!” teriak Mas Sigit meraih tubuhku lalu mencampakkan aku ke atas kasur. Dia langsung menindih tubuhku sambil memegangi kedua lengan di sisi kanan dan kiri kepalaku. Darah yang masih menetes di keningnya mengalir membasahi pelipis. Beberapa tetes jatuh mengenai wajahku saat dia menyerang wajah dan leherku dengan mulut dan bibirnya. Kucoba meronta sekuat daya. Kugerakkan kepalaku untuk menghindari sentuhan mulut dan bibir menjijikkan itu. Kugerakkan kaki untuk menerjang, tapi himpitan tubuhnya di atas perut dan kedua paha tak mampu kulawan. “Ternyata kau sering melayani pelangganmu dengan cara kekerasan seperti ini? Jadi kau praktekkan juga kepadaku, ya? Lumayan, cukup memacu adrenalin. Bercinta sambil berdarah-darah itu sensasinya luar biasa. Kita coba, ya
Bab 103. Kesombongan Mantan Ibu Mertua dan Ipar-iparku ***** Kubuka pintu mobil dengan sigap, lalu kuturunkan kaki kiri, disusul kaki kanan. Tanpa menoleh, kututup kembali pintu mobil Mas Elang. Dan tanpa sapa lagi, pria itu langsung memutar dan melajukan kuda besi itu dengan kecepatan tinggi. Aku terhenyak, kuhirup nafas panjang-panjang. Masih belum bisa kupahami, kenapa dia begitu emosi. Kemarahannya tak juga reda, meski aku sudah berusaha menjelaskan. Dia bukan anak kecil lagi. Meski dia adalah putra bungsu, selalu dimanja dan di nomorsatukan, namun tak selayaknya dia marah-marah secara membabi buta seperti itu, apalagi aku tak bersalah sama sekali. Cemburu? Hah, sudahlah! Biar saja. “Saya antar pulang, Mbak?” Pak Parno yang sejak tadi hanya menyaksikan datang menghampiriku. “Iya, Pak! Kita pulang saja!” sahutku menoleh ke arahnya. Pria itu lalu bergerak ke arah sebuah motor yang terparkir di dekat teras. Belum sempat dia menyalakan benda itu, sebuah taksi memasuki ha