Pagi harinya, Lian berangkat sedikit terlambat dari biasanya. Selain karena pekerjaan kantor yang sudah dihandle oleh sekretarisnya, ia juga ingin sedikit bersantai. Tetapi malahan, Anton, atasannya menelepon dan memerintahkan agar Lian datang dengan segera.Sesampainya di kantor, ia langsung di hadang oleh sekretarisnya yang membawakan sejumlah laporan.“Laporan apalagi ini?” tanya Lian yang langsung menyambar sebuah map yang disodorkan Wina, sekretarisnya.“Laporan bulanan-““Bawa ke ruangan. Saya mau ke sebelah dulu,” potongnya sambil menyerahkan kembali map yang belum sempat ia baca.“Baik, Pak.”Lian memutar arah ke sebelah ruangannya, di mana Armala biasa menghabiskan waktu di ruang kerjanya. Ia mengetuk pintu dua kali, tetapi tidak mendapat jawaban. Lalu memutuskan membuka pintu perlahan. Kosong.“Pak Liando cari bu Mala?” Salah seorang karyawan yang sedang melintas bertanya.“Iya. Kamu tau ke mana?”“Sedang di bawah, Pak. Sepertinya ada perlu di bagian admistrasi.”“Oh, ya sud
“Kamu punya kasus apa?” Lian kembali mencerca dengan pertanyaan.“Bukan kasus.”“Lalu?” tanya Lian.“Kamu bikin saya jantungan. Ngomongnya yang jelas,” ucap Anton kesal.Dengan takut-takut, Mala mengangkat wajahnya, lalu menatap Lian. Pria yang duduk di sampingnya malah menatapnya dengan seribu tanya.“Ada apa?” bisik Lian.Mala memperbaiki letak duduknya. Jika bukan karena Lian, ia tidak akan mempermalukan dirinya di hadapan atasannya.“Jadi begini, Pak.” Mala mulai berucap tegas. Ia melanjutkan ucapannya, “Pak Anton saya kami minta untuk menjadi saksi dipernikahan kami.”“Hah! Kalian mau menikah? Kok gak bilang-bilang!”“Iya, ini baru bilang, Pak.”“Terus kapan?”“Lusa, Pak. Hari Rabu.”Anton tertawa. Menanggapi Armala malah seperti lelucon setelahnya. Tetapi berbeda dengan Lian. Ia terdiam, menatap Mala dengan pandangan tak menentu. Ingin memeluk, tetapi belum hahal. Ingin bersorak, takut dibilang berlebihan. Akhirnya, ia hanya mengangguk pasrah.Entah, hatinya terasa sejuk saat it
“Pesanan?” Mala menuntut jawab. Lian menyembunyikan senyumannya, lalu mengarahkan pandangan pada pemilik galeri yang membawakansepasang cincin berlian.“Silahkan, Pak,” ucapnya. Lian mengangguk, meraih kontakcincin itu dan menyodorkan ke hadapanku Mala.“Coba dulu,” pintanya dengan mengambil satu cincin.Tangannya meraih jemari Mala. Tak lama kemudian, sebuah cincin berlianbertengger di jemari manis wanita pujaannya.“Suka?” Pernyataan Lian dijawab dengan anggukan dan disertai senyuman.Tak perlu banyak penawaran untuk menjadikan Mala merasatersanjung. Ternyata, Lian sudah lebih dulu memesan cincin itu sebelum jawabanatas lamarannya diterima. Ia yakin jika Mala memilih harapan yang samadengannya. Hanya saja, wanita itu memilih lebih berhati-hati dalam memutuskansesuatu. Sehingga, Lian memilih bertindak cepat dengan segera memesan cincin,lalu menolak proyek besar yang ditujukan padanya.Mala membawa ke luar cincin itu. Menyimpannya dalam tassebelum meninggalkan galeri itu.“Aku sengaja
“Lian, jangan kasar,” seru Mala. Ia meminta agar Lianmelepas pegangan tangannya.“Aku lepas tangannya kalau mau menyerahkan ponselnya.”“Li, Melati gak salah.”“Mel, tolong duduk!” Perintah Lian membuat Melati menurut.Ia berbalik dan duduk di tempat semula.“Berikan ponselmu!” perintah Lian dengan menatapnya tajam.Melati tidak juga bergerak, ia malah menatap Mala seperti meminta persetujuan.“Kalau merasa tak bersalah, tentu kamu tak masalah jika akumeminjamnya sebentar, begitu kan, Mala?” Lian berpindah pandang. Lian menatapkesal, karena hingga di hari terakhir menjelang pernikahannya, Mala masih saja tak mempercayainya.“Serahkan ponselnya, Mel. Mungkin Lian akan menjelaskanlebih detail nantinya,” ucap Mala bernada kecewa. Rupanya, Melati sudahmenunjukkan rekaman video itu padanya, sehingga membuat Mala kecewa.Melati mengeluarkan ponselnya dengan takut-takut. Lalumenyerahkan pada Lian. Dengan gerak jemarinya yang lincah, Lian berhasilmenemukan letak video itu.“Jadi, dengan video i
Rasa nyaman memang tidak selalu datang dari orang terdekat. Nyatanya, Melati malah memilih Armala dan membiarkan wanita itumengetahui problema keluarga yang coba ia tutup-tutupi. Mirza sudah hancur oleh keadaan yang tidak berpihak baik.Semuanya hilang, musnah bersama kepergian satu persatu orang yang disayanginya. Armala membawa Zaki pergi, Hesti merampas Amanda darinya. Dan Melati, adiksatu-satunya malah memihak mantan istrinya. Tinggal Anggi, ibunya yang saat ini terusuring-uringan karena berbagai kebutuhan harus dicukupi sendiri. Sepeninggalan Mirza, Melati menundukkan kepala pada mejakayu. Tangisnya tak juga reda. Armala bergeming, tidak berusaha menenangkan Melati pascapertengkaran dengan Mirza. Pembelaannya hanya sebatas melindungi gadis itudari kekerasan, bukan dari kesalahan yang sengaja membuatnya marah. “Diamlah. Kamu belum selesai menjelaskan padaku, Mel. Sejak kapankamu menyukai Lian?” “Sudahlah, masalah itu gak perlu dibahas lagi. Terpenting sudahjelas masalah video
Mala melanjutkan lagi langkahnya. Tak lama kemudian, ponselnya berdering tanda pesan masuk. Ia mengambil duduk agar lebih nyaman, lalu membuka pesan yang ternyata dari Melati.[Mbak tolongin aku. Ibu kecelakaan, aku gak tau mau minta tolong sama siapa.]“Ya ampun, Mel. Kapan kamu mandirinya? Kan ada kakakmu.”Mala meletakkan ponselnya di meja tanpa berniat membalas pesan Melati. Kesal dan merasa dimanfaatkan oleh orang yang semestinya bisa mengurus kepentingan sendiri.Lama kelamaan, Mala merasa jika Melati tidak bisa diajak berpikir dewasa. Terkesan main atur dan perintah seenaknya.“Mala, HP-nya bunyi itu,” ucapan salah seorang kerabat membuyarkan lamunannya. Ia terkesiap dan dengan segera meraih ponselnya.Sebuah pesan dari Lian terlihat pada layar pipih itu. Tak sabar dengan isi pesan calon suami, ia langsung membukanya.[Sayang ....][Mau sampai nih.]Mala tersenyum membaca dua pesan yang masuk beruntun.“Rombongan pengantinnya sudah datang!” teriak saudaranya. Kemudian mereka be
“Suap,” pintanya“Ish, malu lah!” rutuk Mala.“Ya sudah deh, gak usah makan,” rajuknya.Armala mendesah kesal tapi sayang, dengan senyum mengembang mengangkat sebuah roti dan mengarahkan ke mulut Lian.Lian melahapnya dengan segera, lalu mengambil sebuah puding dan menyuapkan pada Armala. Pun sama seperti Lian, Armala menerimanya meski diliputi rasa malu. Ia menyembunyikan rona merah wajahnya dengan tertunduk.“Lagi,” pinta Lian setelah dirasa mulutnya kosong.“Lapar apa doyan?” canda Armala sembari menatap wajah tampan lelaki yang telah menghalalkannya.“Dua-duanya.” Lian mengakhiri ucapannya dengan bergantian menyuapi istrinya.Keduanya tidak menyadari jika adegan suap-menyuap itu diabadikan oleh Ayu dan sepupu Armala lainnya. Mereka terkikik menahan tawa yang akhirnya menganggu keakraban pengantin baru.“Ingat tempat, Woi!” seru sepupu Armala. Keduanya mengakhiri adegan romantis itu dengan menahan tawa.Di sudut lain, kedua kakak beradik tak kuasa menahan gelimangan bahagia melihat
Wanita itu bisa ditebak berdasar sifatnya secara umum. Jika menghendaki sesuatu, maka akan menunjukkan rasa sukanya lewat isyarat wajah. Rona merah yang terpancar jelas atau terlihat dari bahasa tubuhnya yang mulai merasa serba salah.Begitu juga dengan Armala. Bahasa tubuh yang diperlihatkan sudah cukup ditangkap oleh Lian sebagai sebuah jawaban. Wanita manapun, tak akan berterus terang tentang keinginannya, terlebih menyinggung urusan ranjang.“Oke, deh. Tidur-tidurannya gak jadi, rebahan aja.”Lian mengembalikan cangkir ke tempat semula, lalu berpindah duduk merapat pada Armala. Tangannya bergerak merengkuh bahu. Berpindah ke kepala dan berakhir dengan mengelus rambut yang bergelombang itu.“Kapan terakhir kita tidur satu ranjang?” tanya Lian tiba-tiba. Armala menoleh, dengan sorot mata mengingat-ingat kejadian puluhan tahun silam.“Pas mau masuk sekolah kayaknya. Kita mulai dilarang tidur bareng. Tante Liza mengajakku tidur berdua, sedangkan kamu ngambek karena gak diizinkan ikut