Jovanka masuk ke kamarnya yang sudah lama ia tinggalkan. Suasana kamar itu masih sama. Dia mengedarkan pandangan meneliti setiap ruangan. Aroma bunga tercium begitu menenangkan rongga dada. Keadaan kamar sangat bersih dan rapi, belum rasa nyaman yang terasa ketika pertama kali Jovanka menginjakkan kaki ke sana. Rasanya dia ingin segera kembali berbaring di ranjang miliknya itu.Sadar dirinya tidak sendiri, Jovanka berbalik dan menatap Ibunya.Wanita itu tersenyum lembut. Dia mengangkat tangannya, mengusap wajah Jovanka dengan hati-hati. Ada air mata di sudut matanya. Dia menatap putrinya dengan pandangan penuh arti."Maafkan Ibu, Nak." Mona benar-benar menyesal. Dia tidak tahu jika Revan tidak sebaik yang ia kira. Mona hanya tahu, putrinya sangat mencintai pria itu. Mona pikir, dengan menikahkan mereka, lambat laun Revan akan tahu ketulusan Jovanka dan berbalik mencintainya. Tapi, siapa yang menduga jika setelah mereka menikah tidak ada perubahan yang terjadi. Justru Revan dengan sang
Revan mengajak Savira di tempat tinggalnya dan Jovanka. Bukannya dia senang dengan perginya Jovanka, Revan justru tidak bisa berpikir tenang saat ia kehilangan istrinya. Jadi untuk membuatnya sedikit lebih baik, dia membawa Savira untuk tinggal. Lagipula mereka sudah menikah, Revan rasa tidak ada salahnya ia membawa Savira. Jika nanti Jovanka kembali, Revan akan menyiapkan tempat tinggal yang baru untuk Savira. Dia tidak mungkin membuat kedua perempuan itu tinggal di rumah yang sama.Tapi, baru sehari Revan membiarkan Savira tinggal di apartemennya, dia sudah dibuat pusing oleh perempuan itu. Bagaimana tidak? Setelah dengan tanpa malu dia mengobrak-abrik barang-barang pribadi Jovanka di kamarnya, Savira marah dan merajuk pada Revan setelah ditegur.Revan tidak ingin mengambil resiko, setelah dia tertangkap basah telah mengkhianati Jovanka oleh mertuanya sendiri, Revan tidak ingin membuat dirinya semakin terlibat dalam masalah karena ulah Savira.Jika satu saja barang Jovanka hilang da
"Revan, tunggu!"Savira sudah bergegas. Tapi tetap saja Revan bergerak lebih cepat darinya. Pria itu terlihat tidak peduli walau berapa kali pun Savira memintanya untuk menunggu."Revan!" teriak Savira memanggil. Dia menghentakkan kakinya dan menarik Revan dengan kasar."Ada apa?" tanya Revan jengah. Dia tidak bisa mengendalikan emosinya sejak masalahnya dengan Jovanka dimulai. Dan Savira bukannya menenangkannya, malah membuat rumit keadaan. "Aku sudah bilang, jika aku tidak bisa berangkat bersama denganmu.""Kenapa tidak bisa? Bukankah tuan Danial saja sudah mengetahui jika kita telah menikah? Lalu kenapa kamu masih berusaha menutupinya?" cecar Savira. Dia merasa tidak suka dengan sikap Revan. Meski sudah menikah, dia masih saja enggan menunjukkan hubungan mereka secara terang-terangan. Padahal ia menanti reaksi orang-orang saat mengetahui ia berhasil menggaet Revan."Kita baru saja membuat masalah. Apa kamu tidak bisa berpikir?" tanya Revan geram. Dia tidak mengerti bagaimana isi pi
Revan tidak bisa berhenti gelisah. Bayangan Jovanka terus berputar di kepalanya. Selama ia belum berhasil membawa istrinya kembali, rasanya Revan akan terus seperti ini.Saat ini, dia sedang bekerja. Tapi dia tidak bisa bekerja dengan tenang. Revan tidak bisa berkonsentrasi. Seluruh pekerjaannya pun terasa kacau.Revan menyandarkan punggungnya di kursi dan menghela napas. “Aku bisa gila jika terus seperti ini,” gumamnya.Dia harus segera memikirkan cara untuk kembali mengambil istrinya. Sebelum Danial merencanakan sesuatu untuk membuat Revan dan Jovanka bercerai. Revan tidak mungkin membiarkan hal itu terjadi.“Revan, bekerjalah! Jangan terus melamun!” Atasan Revan datang dan menegur.Revan tersentak mendengar suaranya.Atasannya itu tampak menatap Revan dengan tatapan tak suka. Walau tahu Revan merupakan menantu tuan Danial, kebanyakan orang di kantor memang tidak menyukai pria itu.“Maafkan aku, Pak,” ucap Revan sesal.“Jangan ulangi lagi! Sikapmu ini sangat tidak pantas. Jika bukan
Revan mengacak rambutnya dengan kasar. Dia kesal karena tidak berhasil membujuk Jovanka supaya pergi bersamanya. Lebih dari itu, Revan pun merasa direndahkan oleh teman-teman Jovanka. Kini, rasanya sangat sulit bagi Revan untuk mendekati perempuan yang masih menjadi istrinya itu. Jovanka dikelilingi orang-orang yang kebanyakan menaruh benci pada Revan. Mereka pasti berbahagia melihat hubungan retak antara Revan dengan Jovanka. Sekarang, harus dengan cara apa Revan membawa Jovanka kembali? Jika tanpa pengawasan orang tuanya saja, Jovanka masih dalam perlindungan orang-orang yang peduli padanya, lantas, kapan waktu yang tepat bagi Revan untuk mengajak Jovanka bicara? Revan sudah meninggalkan kantor hanya untuk mencari keberadaan istrinya. Dia bahkan sudah siap menerima cacian setelah keluar dari kantor tanpa ijin. Karena seseorang yang mengabarkan padanya tentang keberadaan Jovanka, Revan tidak banyak bepikir, dia bergegas pergi ke tempat yang dibicarakan orang itu. "Bagaimana?" Tio m
Revan memutuskan untuk duduk di taman kota. Tidak banyak yang berada di sana, karena malam sudah semakin larut. Orang-orang pasti akan lebih memilih untuk pulang dan bergelung dengan selimut.Revan juga sebenarnya menginginkan seperti itu. Sayangnya kini rumahnya bukan lagi menjadi tempat yang nyaman baginya. Setelah dia kehilangan Jovanka, dan membawa Savira, dia tidak lagi menemukan kenyamanan di rumahnya sendiri.Revan sendiri mulai berpikir, apa memang ini yang dia inginkan. Setelah menikah, banyak hal dari Savira yang baru Revan ketahui. Perempuan itu, meski Revan akui dia sangat manis terhadap Revan, berbeda dengan Jovanka yang terlihat acuh, tapi Savira tidak menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik.Dia tidak peduli saat Revan bersiap bekerja, tidak membantu Revan menyiapan pakaian, bahkan untuk menyiapkan makanan saja Savira seperti tidak mau repot-repot memikirkannya. Revan sampai memesan makan dari luar tiap kali waktunya mereka makan. Dan Savira tidak pernah terlihat
“Aku ingin ikut bersama kakak.”“Hm?” Razka yang tengah berdiri sambil mengunyah rotinya, seketika menoleh ke arah Jovanka yang baru berbicara. Adiknya itu tampak menuruni tangga, dan berjalan ke arahnya.Razka menelan habis makanan di mulutnya sebelum menjawab Jovanka. “Untuk apa ikut denganku? Di kantor itu membosankan, Jo.”Razka tidak ingin membuat Jovanka bosan jika harus menunggunya bekerja. Ia sendiri sering merasa jenuh dan ingin segera pulang tiap kali berada di kantor. Pekerjaan yang menumpuk itu mengesalkan. Jika tidak ingat jika itu adalah sumber penghasilannya, Razka mungkin sudah membuang dan bakar semua itu hingga habis tak bersisa.“Tapi aku ingin ikut,” rengek Jovanka. “Di rumah juga membosankan. Setidaknya jika aku bersama kakak, aku bisa belajar bagaimana mengurus perusahaan.”Jovanka tidak terpikirkan lagi untuk menjadi seorang istri. Lebih baik dia membantu Ayah dan kakaknya untuk mengembangkan perusahaan. Apapun yang dia lakukan sekarang hanya untuk kebaikan kelu
Jovanka pun ikut bersama Razka setelah membujuk Ayahnya. Alasan mengapa Jovanka lebih memilih bersama Razka, adalah karena kakaknya itu lebih pengertian dibanding Ayahnya. Jovanka tidak ingin membuat Ayahnya kecewa dengan kemampuan Jovanka yang tidak sesuai harapannya. Berbeda dengan Razka, kakaknya itu akan selalu mengerti dan menerima Jovanka sekali pun ia gagal.Jovanka tidak pernah terjun ke dunia kerja sebelumnya. Mimpinya dulu adalah menjadi seorang model. Tapi kini ia tidak sedikit pun memiliki ketertarikan dalam bidang itu. Jovanka lebih tertarik untuk mengikuti jejak ayahnya. Karena sepertinya, menjadi wanita kantor cukup keren saat dibayangkan.Jovanka hanya perlu sedikit belajar dari Razka tentang apa saja yang harus ia pelajari.Saat mereka tiba di kantor, Razka benar-benar mengajarinya dengan baik. Dia tidak terburu-buru dan menjelaskan semua yang ia tahu dengan sangat jelas. Jovanka dapat memahami semua yang Razka sampaikan. Dia rasa, sepertinya tidak akan terlalu sulit.