Semenjak Nardo menjadi kekasihnya, dunia Chiara semakin terasa berwarna. Pria itu datang memberinya warna pelangi, menghapus kelabu yang menyelubungi hidupnya semenjak kepergian Naomi, kakaknya. Kini, senyum Chiara bukan lagi sebuah topeng untuk menyembunyikan kesedihan, senyuman itu benar-benar tulus dari dalam lubuk hati. Gadis itu benar-benar merasa bahagia.Memang benar, tampan itu relatif. Tapi bagi Chiara, Nardo adalah pria tertampan di seluruh dunia. Tampan paras dan juga hatinya. Sebuah paket komplit yang membuat gadis itu selalu bersyukur karena pria itu adalah miliknya. Dia tidak akan pernah merasa bosan untuk terus menatapinya seperti ini, Nardo semakin terlihat menarik saat sedang serius mengemudi."Nah, sudah sampai ...."Chiara menengok ke kaca pintu di sampingnya, sedikit cemberut saat sadar mobil yang mereka naiki sudah sampai di sisi pagar gedung sekolahnya. "Kenapa cepat sekali?""Nanti kita bisa bertemu lagi, Schnucki." Ah, panggilan baru. Senyuman gadis itu melebar
Suasana di kantin cukup ramai siang itu. Selena memesankan segelas coklat panas untuk Evan. Kebetulan tengah hari ini sedang turun hujan, gadis itu pikir jika minuman hangat adalah yang paling tepat untuk menemani mereka menghabiskan waktu bersama. "Minumlah. Katanya di dalam coklat ada zat phenylethylamine yang bisa membuat seseorang yang mengonsumsinya merasa bahagia. Kamu akan merasa lebih baik, Van." Selena meletakkan gelas panjang berisi minuman yang tadi dia pesanan dari ibu kantin di hadapan Evan dengan sebuah senyum manis, lalu duduk pada kursi lain di depan pemuda itu. Meja panjang berisi menu makan siang pesanan mereka menjadi penghalang keduanya."Kelihatan sekali ya, kalau aku sedang patah hati?" Evan menatap Selena, terkekeh miris, kemudian menyentuh sisi gelas dengan telapak tangannya. Hangat minuman di dalamnya tak sehangat perasaan yang dia miliki. "Terima kasih minumannya, Sel. Kamu baik sekali.""Sama-sama.""Maaf karena tiba-tiba aku membawa kamu ke kantin begini,
"Yap, sudah oke. Syuting untuk hari ini cukup sampai di sini." Nardo tersenyum puas menatap layar periksa kamera di depannya. Para pemain sudah mulai membubarkan diri, namun dia memilih untuk tetap bertahan di kursi sutradara miliknya."K-kak ...."Secara otomatis Nardo menoleh saat seseorang memanggilnya. Dan pria itu mengernyit saat tahu jika orang itu adalah salah satu aktrisnya; Almera. Gadis itu kembali memerankan peran utama wanita di film garapannya."Ya, Am. Kenapa?"Gadis berparas ayu itu tampak gelisah, bola matanya bergerak-gerak. Almera sedang menyusun kalimat di dalam angan. "Anu ... bisa tidak scene yang tadi diulang? Saya merasa kalau acting saya kurang maksimal tadi."Tidak sepenuhnya berbohong, Almera memang pandai melakonkan peran. Sebagian besar dari film yang dia bintangi, rata-rata menjadi film laris yang meledak di pasaran. Namun, alasan paling utama dirinya berbicara dengan Nardo adalah ... yah, karena dia menaruh rasa spesial pada si pria, sehingga sebisa mungk
Waktu bergulir dengan cepat. Tanpa terasa mentari sudah beranjak menuju ufuk barat. Senja telah menyapa, jarum pendek pada jam tangan Chiara sudah melewati angka empat, yang artinya jam sekolah telah usai dari beberapa menit lalu.Dengan memainkan ponselnya, Chiara mencoba membunuh waktu dengan men-scroll beranda sosial media miliknya. Dia sedang menunggu Nardo di sisi gerbang kampusnya sekarang. Dan nyatanya dia tak perlu menunggu waktu lama, sebuah mobil hitam perlahan melambat, lalu berhenti tidak jauh dari posisi gadis itu."Hai ..." ketika kaca pintu samping terbuka, sang pengemudi mobil menyapanya. Senyuman pria itu tetap saja memesona meskipun lelah tampak jelas terbaca pada gurat wajah tampannya. Chiara tersenyum senang. Dia bergegas menaiki jok penumpang bagian depan tanpa perlu dipersilakan. Memberikan ciuman sekilas pada permukaan bibir kekasihnya, dia balas menyapa. "Hai juga, Sayang."Ah, Chiara mulai agresif sekarang. Gadis polos itu sudah hilang. Sedangkan Nardo tentu
Meskipun selama ini hanya diam, bukan berarti Chiara tidak menyadari perubahan sikap Evan padanya. Terhitung sejak dia memberitahukan tentang hubungannya dengan mantan calon suami kakaknya, sejak saat itu pula pemuda itu seakan membangun tembok tebal di antara mereka. Jujur saja, Chiara merasa kehilangan. Mereka bersahabat sejak masih sama-sama memakai popok, dia ... sudah terlalu terbiasa dengan kehadiran Evan.Sedikit menghela napas panjang, gadis itu mencoba melengkungkan sebuah senyuman saat sudah semakin dekat dengan sosok sang sahabat. Chiara masih berharap jika apa yang dia rasakan hanya perasaannya saja, dia berusaha berpikir positif."Loh, Van, Sel ... kalian ke sini juga?" tanya Chiara. Dia sudah berdiri di sisi meja Evan beserta Selena sekarang."Iya. Memangnya kenapa?" Yang terjadi nyatanya tidak sesuai ekspektasi Chiara. Evan menjawab dengan enggan, tidak terlihat terkejut sama sekali. Pemuda itu hanya meliriknya sekilas, lalu kembali menyedot segelas jus di atas meja me
Nardo menghentikan laju mobilnya tepat di depan gerbang rumah Chiara. Dia tidak begitu fokus mengemudi tadi. Berkali-kali dia menoleh ke sisinya, memperhatikan wajah sang kekasih yang semakin pasi. Dia cemas, sangat cemas. Gadisnya tidak berhenti menangis sejak tadi. Dari raut yang terbaca, Chiara terlihat kesulitan bernapas.Kekasihnya sedang berduka, Nardo tahu itu. Sangat menyakitkan saat sahabat terbaikmu tiba-tiba memutuskan hubungan pertemanan, bukan? Apalagi jika kamu tidak tahu di mana letak kesalahanmu. Yah, Nardo tidak bisa melakukan apa-apa selain mencoba menenangkan.Pria itu bergegas turun dari mobil, melesat ke sisi pintu tempat di mana Chiara berada kemudian membukanya. Tatapan mata biru itu semakin tampak khawatir."Apa tidak sebaiknya kita ke dokter saja, Chia?"Gadis manis itu menggeleng, menolak tawaran Nardo. Dia mencoba mengukir senyum lemah dengan susah payah. "Tidak perlu. Chia cuma perlu istirahat, Kak."Dan Nardo hanya bisa mengembusan napas berat, menuruti ke
Seakan baru saja menaiki roller coaster, kepala Chiara terasa berputar-putar. Pusing sekali. Susah payah dia membuka matanya yang terasa begitu berat, dan ruangan yang sudah tidak asing lah yang menyambut pandangannya. Rumah sakit, gadis itu sudah sangat hafal suasana dan aromanya karena dulu dia pernah dirawat di sana dalam waktu yang cukup lama.Si gadis menyipitkan mata saat cahaya lampu membuatnya sedikit silau. Salah satu tangan rapuh itu naik perlahan, mengurut keningnya yang pening. Dan dia menangkap presensi kekasihnya, pria yang dia cintai itu tersentak saat tahu dirinya sudah tersadar dan membuka mata."Mmhhh ... Kak?" Chiara melenguh, sangat lirih hingga nyaris tak terdengar."Kamu sudah bangun? Apa yang kamu rasakan, Sayang? Apakah ada yang sakit?" Nardo menegakkan posisi duduknya, memberikan atensi penuh pada Chiara. Pria itu segera meneliti raut muka, kedua mata, bahkan mengecek kedua tangan kekasihnya. Dia terlalu cemas, membuat si gadis sedikit terkikik tanda bahagia.
Menunggu sudah bukan lagi menjadi sesuatu yang menyebalkan bagi Chiara, sebab kali ini dia ditemani oleh sang sahabat terbaik dan juga kekasih si pemuda. Gadis itu tersenyum menatap pasangan baru di depannya. Bersatunya Evan dengan Selena membuat dia turut merasakan kegembiraan tersendiri. Sebagai informasi, Evan sudah menerima cinta gadis paling teladan di kampusnya itu tepat setelah Chiara keluar dari rumah sakit tempo hari.Mereka bertiga sudah bersiaga berdiri di sisi gerbang, berpayungkan rimbunnya dedaunan pohon beringin yang masih tumbuh di dalam pagar, masih di area universitas Nusa Bangsa. Evan dan Selena memang sengaja menemani Chiara menunggu kedatangan Nardo untuk menjemput gadis manis itu seperti biasanya. Semenjak Selena resmi menjadi kekasih Evan, gadis itu memang menjadi semakin akrab dengan Chiara. Mereka bertiga menjadi teman karib pada akhirnya. Cuaca sore ini sangat bersahabat, mentari tidak terlalu terik sehingga membuat ketiga manusia yang beranjak dewasa terseb