BAB 54Malam ini, di ruang keluarga kediaman orang tua Althea tampak tiga orang sedang berkumpul. Ajeng duduk di sofa bersama Mahendra, sedangkan Lingga bersila di karpet dengan remot televisi di tangan. Suara ribut bel rumah terus berulang memecah ketenangan. Ajeng yang sedang memijat kaki Mahendra sambil mengoleskan minyak urut meminta si bungsu untuk melihat ke depan. “Lingga, coba lihat siapa yang datang,” pinta Ajeng pada si bungsu yang tengah menonton siaran pertandingan sepak bola.“Duh, tanggung, Ma. Gimana kalau pas aku ke depan, bolanya malah gol? Kan gak asik, kehilangan momen paling seru,” sahut Lingga malas, tidak mau menuruti perintah sang Mama. Matanya tak beralih dari benda kotak yang menyajikan acara favoritnya. “Kan bisa nonton siaran ulang! Sekarang cepat lihat dulu ke depan, Atau uang jajanmu Mama potong!” cerocos Ajeng, nada suaranya mulai naik, terbungkus ancaman omelan khas ibu-ibu. “Ih, Mama," protes Lingga. "Lagian siapa sih yang bertamu malam-malam!” ket
BAB 55Fajar belum menyingsing. Hawa dingin berpadu langit gelap masih melingkupi angkasa di pagi buta. Zayn sudah datang kembali ke kediaman orang tua Althea. Memarkirkan mobilnya di halaman dan memaku pandangan ke arah jendela bergorden warna toska favorit si imut pemilik bibir merah delima yang amat dirindukannya.“Aku datang, Al. Aku rindu,” gumamnya pilu.Zayn kembali datang, berharap Ajeng juga Mahendra memberi kesempatan padanya untuk meminta maaf penuh sesal yang memang tulus ingin diungkap dari dalam lubuk hati. Telah lalai dalam perannya sebagai suami, terlalu menghamba pada kenangan kelam yang meruncing menyerupai pisau tajam dan pada akhirnya malah melukai wanita yang begitu berarti baginya. Selain itu, Zayn juga ingin segera memohon ampunan sedalam-dalamnya pada Althea. Ingin lekas berjumpa. Dia sudah rindu sekali, bahkan semalam baru bisa memejam setelah menghirup dan memeluk aroma Althea yang tertinggal di jubah mandi. Di jok penumpang terdapat bungkusan. Kantung beri
BAB 56Di ruangan sekretariat gedung tua, Zayn terlibat adu mulut dengan salah satu staf. Zayn ingin berbicara langsung dengan kepala pengurus, berupaya menggali informasi sebanyak dan sedetail mungkin bersama seorang intel yang memang tidak berpakaian dinas. “Kepala staf tidak ada di tempat karena sakit. Sudah beberapa hari ini tidak masuk.” Sudah yang ketiga kalinya si pria kurus berkulit sawo matang yang merupakan wakil kepala mengucap kalimat serupa. Didesak sedemikain rupa pun jawabannya tetap sama. “Kalau begitu, kami meminta izin untuk memeriksa CCTV sekarang juga. Dengan atau tanpa persetujuan kepala staff.” Si intel mengeluarkan lencana polisi dari jaketnya membuat si pria kurus gemetaran sekarang. Zayn ikut masuk ke ruang kontrol. Setelah diperiksa, hasilnya membuat geram. Di hari itu, kamera pengawas di beberapa titik termasuk di lorong menuju toilet mati total. Rusak dengan alasan sudah usang. Zayn menelusupkan jemari menjambak rambut tebalnya frustrasi, nyaris menggebr
BAB 57“Ja-jadi, saya boleh langsung bertemu Althea, Mbah?” Zayn bertanya tergagap untuk memastikan. Takut telinganya salah mendengar. Jantungnya berloncatan liar menunggu mulut Mbah Retno menyahuti.“Betul boleh, Nak ganteng. Lagi pula tidak elok membiarkan masalah berlarut. Bersegera itu lebih baik. Jadi masuk saja dan temui Althea, jangan sungkan.” Pintu jati berwarna alami dengan pelitur mengkilap itu didorong perlahan agar deritnya tidak mengganggu. Mbah Retno menyerahkan handuk bersih serta sikat gigi baru sebelum Zayn melangkah masuk, juga secangkir penuh teh panas diberikan padanya.“Kamu pasti butuh ini buat bersih-bersih setelah perjalanan jauh. Minum juga tehnya untuk menghangatkan badan. Kalau ada perlu, ketuk saja kamar Mbah. Yang paling ujung.” Zayn mengangguk. Sorot matanya memancarkan rasa terima kasih, telah diberi kesempatan untuk menemui yang dirindu sanubari. Zayn masuk dengan langkah pelan diiringi jantung bertalu kencang. Menghirup udara dalam-dalam dan mengemb
BAB 58Kicau burung milik tetangga Mbah Retno yang setiap pagi bernyanyi merdu mulai bersahutan. Althea terusik dari tidurnya. Masih terbungkus kantuk, ia tersenyum lebar ketika mengingat kembali mimpinya semalam. Lebih indah dari mimpinya akhir-akhir ini, bahkan kedutan nikmat saat surga dunia membanjiri terasa begitu nyata menjalari seluruh nadi. Matanya enggan membuka. Masih betah berpesta pora meresapi sisa-sisa mimpi semalam. Ajaib, mual di setiap bangun tidur pun tak terasa. Lambungnya kali ini tenang tanpa badai. Adem ayem jauh dari demonstrasi mual muntah, efek dari aroma menenangkan yang memenuhi indra penciumannya yakni aroma maskulin yang biasa menguar dari raga Zayn. Hanya wangi itulah yang mampu mengurangi dan meredakan morning sicnknessnya. Althea berdecak dalam hati. Sebegitu rindukah dirinya pada pria yang dicinta sekaligus dibencinya itu? Bahkan kini wangi tubuhnya pun menghantui udara yang dihelanya. Namun, entah kenapa terasa ada kehangatan yang menggesek sebelah
BAB 59Gulungan seprai bernoda jejak pergulatan semalam digulung Althea dan dipeluknya erat. Dibawanya keluar menuju kamar mandi lain yang terletak di dekat dapur. Merasa jengah berlama-lama di ruang tidur disebabkan kemunculan mendadak Zayn yang kini tengah membasuh diri di dalam kamar mandi pribadinya. Muncul begitu saja tanpa diundang bak hantu jelangkung. “Nduk. Suamimu mau makan apa katanya?” Mbah Retno yang sedang menata beberapa hidangan baru matang di meja ruang makan, langsung bertanya ketika melihat kemunculan cucunya.“I-itu. Apa saja katanya, Mbah. Dia makan semua, kok,” jawabnya malas. Cih, Althea tak peduli Zyan mau sarapan apa, kelaparan lebih bagus. Kekesalannya belum mereda terhadap si pria yang semalam telah seenaknya saja memasuki dirinya tanpa izin yang sialnya ia pun menikmatinya.“Baguslah. Mbah sudah buatkan nasi pindang khas Semarang. Spesial buat cucu mantu yang lagi berkunjung ke sini. Semoga cocok sama lidah orang bule.” Mbah Retno terlihat begitu senang.
BAB 60“Kara?” Zayn mengurai pelukan. Membalik tubuh Althea perlahan. “Apa maksudmu dengan aku kembali bersamanya? Itu sungguh tidak mungkin!”Althea yang menunduk mengangkat wajah, mempertemukan manik mereka dalam satu garis lurus. Tatapannya sangsi, kecurigaan melingkupinya erat. Foto-foto Zayn bersama seorang wanita di depan pintu kamar hotel terus mengganggu, merenggut ketenangan hidup.“Benarkah? Kamu yakin dengan kata-katamu?” Althea mendelik tak percaya. “Kara adalah mantan tunanganmu, iya ‘kan?” desisnya dingin terbalut marah disertai cemburu. “Tentu saja aku yakin. Memang benar dia adalah mantan tunanganku dan hubungan kami sudah usai bertahun-tahun silam. Tapi, dari mana kamu tahu tentang dia dan untuk apa tiba-tiba membahas topik masa laluku?” Zayn menjawab setenang mungkin. Dia dibuat penasaran sekarang, mengapa Althea tiba-tiba menyebut nama si pengkhianat. “Aku tahu dari Alvin. Aku bertanya pada Alvin setelah Tante Martha menyinggung nama Kara sewaktu menyapa di pesta
BAB 61“Pulanglah bersamaku,” pinta Zayn. Dia baru saja selesai dengan urusannya, sementara Althea sedang menata bantal juga guling di peraduan. “Pulang saja sendiri, aku masih ingin di sini!” sahut Althea ketus. “Sayang, suamimu ini datang ke sini untuk menjemput istrinya pulang.” “Aku sudah tidak merasa menjadi istrimu lagi setelah menandatangani surat cerai yang kamu sodorkan paksa!” sergah Althea tanpa menoleh. Naik ke atas ranjang, berbaring membelakangi sambil menyelimuti diri.Zayn mengembuskan napas berat. Mengambil amplop coklat yang tadi siang diletakkannya di meja. Belum tersentuh lagi lantaran sibuk mengurusi masalah foto. Dia ikut naik dan mengeluarkan isinya, selembar surat cerai yang beberapa detik lalu disinggung Althea. “Al, mungkin kamu enggak menyimak dengan baik saat tadi pagi aku mengatakan tidak pernah menandatangani surat cerai kita. Coba lihat, kolom bagian tanda tanganku masih kosong, itu artinya kamu masih lah istriku.” Zayn menggulingkan tubuh Althea lem