BAB 58Kicau burung milik tetangga Mbah Retno yang setiap pagi bernyanyi merdu mulai bersahutan. Althea terusik dari tidurnya. Masih terbungkus kantuk, ia tersenyum lebar ketika mengingat kembali mimpinya semalam. Lebih indah dari mimpinya akhir-akhir ini, bahkan kedutan nikmat saat surga dunia membanjiri terasa begitu nyata menjalari seluruh nadi. Matanya enggan membuka. Masih betah berpesta pora meresapi sisa-sisa mimpi semalam. Ajaib, mual di setiap bangun tidur pun tak terasa. Lambungnya kali ini tenang tanpa badai. Adem ayem jauh dari demonstrasi mual muntah, efek dari aroma menenangkan yang memenuhi indra penciumannya yakni aroma maskulin yang biasa menguar dari raga Zayn. Hanya wangi itulah yang mampu mengurangi dan meredakan morning sicnknessnya. Althea berdecak dalam hati. Sebegitu rindukah dirinya pada pria yang dicinta sekaligus dibencinya itu? Bahkan kini wangi tubuhnya pun menghantui udara yang dihelanya. Namun, entah kenapa terasa ada kehangatan yang menggesek sebelah
BAB 59Gulungan seprai bernoda jejak pergulatan semalam digulung Althea dan dipeluknya erat. Dibawanya keluar menuju kamar mandi lain yang terletak di dekat dapur. Merasa jengah berlama-lama di ruang tidur disebabkan kemunculan mendadak Zayn yang kini tengah membasuh diri di dalam kamar mandi pribadinya. Muncul begitu saja tanpa diundang bak hantu jelangkung. “Nduk. Suamimu mau makan apa katanya?” Mbah Retno yang sedang menata beberapa hidangan baru matang di meja ruang makan, langsung bertanya ketika melihat kemunculan cucunya.“I-itu. Apa saja katanya, Mbah. Dia makan semua, kok,” jawabnya malas. Cih, Althea tak peduli Zyan mau sarapan apa, kelaparan lebih bagus. Kekesalannya belum mereda terhadap si pria yang semalam telah seenaknya saja memasuki dirinya tanpa izin yang sialnya ia pun menikmatinya.“Baguslah. Mbah sudah buatkan nasi pindang khas Semarang. Spesial buat cucu mantu yang lagi berkunjung ke sini. Semoga cocok sama lidah orang bule.” Mbah Retno terlihat begitu senang.
BAB 60“Kara?” Zayn mengurai pelukan. Membalik tubuh Althea perlahan. “Apa maksudmu dengan aku kembali bersamanya? Itu sungguh tidak mungkin!”Althea yang menunduk mengangkat wajah, mempertemukan manik mereka dalam satu garis lurus. Tatapannya sangsi, kecurigaan melingkupinya erat. Foto-foto Zayn bersama seorang wanita di depan pintu kamar hotel terus mengganggu, merenggut ketenangan hidup.“Benarkah? Kamu yakin dengan kata-katamu?” Althea mendelik tak percaya. “Kara adalah mantan tunanganmu, iya ‘kan?” desisnya dingin terbalut marah disertai cemburu. “Tentu saja aku yakin. Memang benar dia adalah mantan tunanganku dan hubungan kami sudah usai bertahun-tahun silam. Tapi, dari mana kamu tahu tentang dia dan untuk apa tiba-tiba membahas topik masa laluku?” Zayn menjawab setenang mungkin. Dia dibuat penasaran sekarang, mengapa Althea tiba-tiba menyebut nama si pengkhianat. “Aku tahu dari Alvin. Aku bertanya pada Alvin setelah Tante Martha menyinggung nama Kara sewaktu menyapa di pesta
BAB 61“Pulanglah bersamaku,” pinta Zayn. Dia baru saja selesai dengan urusannya, sementara Althea sedang menata bantal juga guling di peraduan. “Pulang saja sendiri, aku masih ingin di sini!” sahut Althea ketus. “Sayang, suamimu ini datang ke sini untuk menjemput istrinya pulang.” “Aku sudah tidak merasa menjadi istrimu lagi setelah menandatangani surat cerai yang kamu sodorkan paksa!” sergah Althea tanpa menoleh. Naik ke atas ranjang, berbaring membelakangi sambil menyelimuti diri.Zayn mengembuskan napas berat. Mengambil amplop coklat yang tadi siang diletakkannya di meja. Belum tersentuh lagi lantaran sibuk mengurusi masalah foto. Dia ikut naik dan mengeluarkan isinya, selembar surat cerai yang beberapa detik lalu disinggung Althea. “Al, mungkin kamu enggak menyimak dengan baik saat tadi pagi aku mengatakan tidak pernah menandatangani surat cerai kita. Coba lihat, kolom bagian tanda tanganku masih kosong, itu artinya kamu masih lah istriku.” Zayn menggulingkan tubuh Althea lem
BAB 62“Jadi, kalian akan pulang hari ini?” Mbah Retno bertanya pada dua sejoli yang duduk berhadapan dengannya di meja makan. Mereka sedang sarapan bertiga. “Iya, Mbah. Jujur saja, saya masih betah di sini. Tapi ada beberapa hal yang harus segera saya selesaikan,” jawab Zayn sembari menyesap teh tubruknya. “Sebetulnya aku masih ingin di sini, Mbah. Tapi dia memaksaku pulang!” Althea mengarahkan dagu ke arah Zayn yang duduk di sebelahnya sembari menahan tawa, ingin menjahili Zayn sepuas-puasnya. “Sayang, please. Semalam kita sudah sepakat untuk kembali hari ini bukan? Jangan membuatku terkesan seperti penculik,” gerutu Zayn dengan suara rendah. Meskipun protes, dia menyampaikannya melalui cara lemah lembut. “Iyakah? Tapi kok aku lupa? Kayaknya kamu salah dengar deh,” balas Althea beralasan. Berpura-pura berpikir hanya untuk membuat Zayn jengkel. Biar tahu rasa si Daddy bule. Kudu dilatih emosinya, biar enggak gampang darting. Gumam Althea dalam hati sembari mengusap-usap perutny
BAB 63“Kak,” panggil Althea dari ambang pintu.Althea menyusul ke ruang baca di mana Zayn dan Lidya sedang berbincang serius. Satu jam lalu ia sudah tertidur. Hanya saja terbangun lantaran bermimpi buruk. Kejadian di trotoar masih berlalu lalang berkelebatan, menciptakan rasa takut membelenggu. Saat meraba tempat tidur di sampingnya, Althea tidak mendapati Zayn. Membuatnya terkesiap makin diserbu ketakutan, terlebih lagi lampu utama kamar dimatikan. Hanya mengandalkan pencahayaan dari lampu tidur yang berpendar remang-remang.Zayn menoleh kala mendengar namanya dipanggil dan segera menghampiri. “Kenapa bangun? Sebaiknya kamu tidur dan istirahat. Perjalanan pulang tadi cukup panjang. Ini sudah hampir tengah malam.” Zayn mengelus sayang kepala Althea.Lidya ikut bangun dari kursi dan menghampiri. “Apakah Ibu hamil cantik ini lapar? Ibu buatkan makanan mau?” tawar Lidya penuh perhatian. “Tidak usah, Bu. Makasih banyak. Aku… aku cuma takut tidur sendiri. Entah kenapa,” jawab Althea se
BAB 64Di ruang makan kediaman Lidya, para ART juga sang nyonya tengah sibuk menata kudapan. Lidya bahkan menyempatkan diri membuat pie buah andalannya untuk melengkapi makanan supaya lebih meriah.Hari ini, Lidya memiliki janji bertemu dengan Kesuma. Beberapa hari lalu adiknya itu meminta bertemu, mengatakan ada hal penting yang hendak disampaikan. Lidya menyetujui bertemu dengan Kesuma setelah semua bukti kejahatan sang adik dikantongi. Diserahkan kepada pihak berwajib beserta data para kaki tangannya yang juga sudah ikut dilaporkan. Semula mereka janji bertemu di sebuah kafe dekat kantor Rayan Enterprise. Akan tetapi, tadi pagi Zayn menyarankan mengubah rencana sebelum mengantar Althea ke tempat tinggal orang tuanya. Memprediksi jika bertemu di rumah, pihak berwajib lebih mudah menyergap tanpa gangguan juga meminimalisir celah melarikan diri. Mengabaikan dilema yang melukai dada, Lidya terpaksa melaporkan kelakuan Kesuma kali ini. Sejak dulu adiknya itu memang sering berulah mere
BAB 65“Bu, aku harus pergi. Masih ada beberapa hal yang harus kuurus,” ucap Zayn setelah ibunya lebih tenangLidya mengangguk tipis. “Pergilah, segera selesaikan semua urusan. Althea pasti menantimu pulang.”Zayn mengemudikan mobilnya sambil kembali berkoordinasi dengan polisi. Mereka sedang mengincar Kara yang ditaksir masih berada di Jakarta. Sebagai kaki tangan Kesuma, Kara ikut terjerat. Terlebih lagi pesan bodong yang dikirimkan padanya maupun Althea, setelah ditelusuri ternyata bersumber dari alamat IP yang sama yakni dari surel Kara Calista.Pihak berwajib berhasil meringkus Kara dan Martha di sebuah apartemen mewah di daerah Mampang. Apartemen yang dulu menjadi tempat tinggal Kara. Zayn mengambil jalur meluncur ke kantor polisi, ingin menyaksikan wajah-wajah busuk berkedok keluarga yang telah berusaha memporak-porandakan kehidupannya juga ibunya, bahkan nyaris mencelakai Althea. Setiap kali teringat akan hal itu, Zayn selalu bergidik ngeri, Althea yang sedang mengandung ana