Tepat setelah sampai di dalam rumah, Jane tidak menunda untuk segera meminum air hangat, ia terus menggenggam gelas di tanggannya untuk menaikan suhu tubuh.
Dan ketika di rasa dingin di tubuhnya tak lagi terasa menusuk Jane tidak menunda untuk bernapas lega, gadis itu merasakan kenyamanan mutlak merasuki tiap-tiap sendi tubuhnya.
Jane menarik napas lalu meminum kembali air hangat dari gelasnya satu teguk, kemudian setelah itu tangan pucatnya terangkat untuk membuka box berukuran sedang di atas lemari es. Jane mengambil beberapa buah vitamin dari botol yang berbeda lalu menelannya saat itu juga.
Setelah selesai dengan air dan juga vitamin, Jane melajukan langkah menuju kamar, ia harus tidur terlebih dahulu agar bisa melanjutkan hidup.
Tak apa, terpejam lima menit pun cukup.
Tanpa melepas kaos kaki Jane langsung naik ke atas ranjang, Jane membuka jaketnya lalu ia lemparkan ke sembarang arah, tak lupa Jane juga sudah sempat menyetel alarm untuk j
“Mau tau ada apa kejutan hari ini?” suara Karin lagi-lagi menyapa gendang telinga Theo yang sudah penuh terisi dengan kalimat-kalimat sautan orang berbicara. Satu kali lagi Theo membenarkan tatanan dasinya yang sudah rapih dan tak perlu lagi pembenahan. Sudah hampir tiga puluh menit ia berdiri di sini namun acara ini belum juga di mulai. Pesta sederhana yang katanya hanya di hadiri oleh para keluarga ini nyatanya dibuat dengan skala besar, mengundang lebih banyak orang dari sekedar anggota keluarga dan tentunya tanpa Theo bertanya pun ia tau ini akan memakan waktu yang lama. “Apa?” Theo menoleh kepada gadis yang menggunakan gaun senada dengannya lalu bertanya kembali tentang apa yang baru saja dimaksud Karin dalam kalimatnya. Senyum manis dari bibir putri bungsu keluarga asal negeri ginseng itu terbit. Dengan satu jingkatan Karin melepas tangannya yang sedang menggandeng Theo. Lalu mendekatkan diri ke telinga laki-laki itu. “Om Kevin akan data
Cahaya temaram dan juga suara ketik yang lembut memenuhi ruang tidur bernuansa putih itu. Merasakan sebuah kantuk yang telah hilang karena sudah tidur hampir seharian, Jane perlahan-lahan menggerakan kelopak matanya agar tersikap. Lampu kamarnya mati. Yang menyala hanya satu lampu tidur yang terletak di sebelah kanan ranjang. Jane ingat sekali ia tidur waktu sore. Dan ia belum menyalakan satu lampu pun di rumahnya. Jane mulai mengerang amat pelan ketika pening di kepalanya terasa kembali, ia memejam sekilas lalu menggeleng dan membuka mata. Tepat ketika wajahnya menghadap kearah kanan sana, ada seorang laki-laki yang lengan kemejanya di gulung hingga siku duduk manis dengan kaca mata di wajahnya dan juga laptop terbuka di pangkuan. Theo terlihat sangat fokus. Mungkin karena terlalu fokus hingga laki-laki itu tidak menyadari kalau Jane sudah terjaga. Jane menghela napas sembari melirik jam digital di nakas. Sudah tengah malam.
Biasanya jika Jane terserang sakit demam atau hanya sekedar flu biasa, ia akan bisa normal dan kembali sembuh dalam satu hari dan tidak lebih. Tetapi untuk sakit kali ini, Jane jelas butuh dua sampai tiga kali lipat durasi dari biasanya untuk sembuh karena kejadian tak mengenakan yang telah menimpanya. Ralat. Empat kali. Jane sembuh setelah empat hari. Dan setelah menyebabkan penyakitnya bertahan menjadi semakin lama, tentunya Jane tidak akan memaafkan Theo begitu saja. Never! Jane bergidik sekali lagi saat sadar bahwa ia sedang mengingat-ingat malam waktu itu. Jane hanya heran, ia tidak menyangka Theo yang terlihat kalem dan terkontrol ternyata mempunyai sisi lain tak terduga. Namun jangan pikir Jane ketakutan setengah mati seperti tikus got, gadis itu langsung berdiri dari kasurnya lalu mengusir Theo dari rumahnya dengan segenap sisa tenaga yang ada. Jane menggelengkan kepala mengusir segala bentuk pemikiran yang di h
Hari sudah sore. Setelah kue yang dibuatnya selesai dipanggang hingga matang dan tentunya dengan rasa yang memuaskan, chef memperbolehkan Jane untuk pulang lebih dahulu dari tiga orang lainnya.Seperti yang diinginkan gadis itu dari awal. Tapi bukannya sudah berbaring di sofa empuk atau juga ranjangnya yang luas dan nyaman Jane justru masih berdiri di depan bangunan bertingkat tempatnya menjalani kursus beberapa saat lalu, meski banyak taksi driver melintas di jalanan yang sudi mengantar Jane pulang dengan nyaman. Jane menoleh ke samping melihat seberapa sibuknya jalanan ini ketika menjelang sore, sesekali Jane menilik kembali arloji di tengannya. Gadis yang menggunakan kaos santai dan juga celana jeans panjang itu menyentuh telinga polos-nya karena bosan menunggu. Iya. Jane sedang ada janji. Dengan Juni. Jane mengirim pesan megajak sebuah pertemuan dengan Juni beberapa saat lalu ketika kue miliknya masih dalam mesin pemanggang, dan
Setelah mau-maunya ikut saja kemanapun tujuan pergi yang di inginkan Karina sesore tadi, akhirnya malam pun tiba. Jane hanya duduk tanpa banyak bicara sedari tadi diantara tiga orang lainnya. Jane tidak bohong ketika bilang bahwa ia lelah sekali. Bukan hanya sekedar alasan atau upayanya untuk menghindar dari perkumpulan dimana ada Theo di dalamnya. Meski itu juga salah satu alasan Jane ingin pulang. Lihat saja. Laki-laki itu begitu tidak tau malu, beberapa kali sudah tertangkap basah curi-curi pandang pada Jane. Jane mengangguk sesekali saat Karina mengajaknya bicara, mereka sedang berkumpul di sebuah pub kelas atas yang elit. Dan meski ada di tempat penuh minuman beralkohol yng pastinya mahal dan juga lezat Jane tidak menyentuh minuman memabukan itu sama sekali. Ia punya kenangan buruk saat mabuk. Jane tidak berniat sedikitpun untuk mengulangnya. Jane menilik lagi pada jam di tangannya. Sudah hampir jam delapan. Jane m
Entah apa yang sedang Jane pikirkan sebenarnya sampai mau saja melakukan ini. Memutar setir ke kanan dan juga fokus pada jalan agar Mendes tidak terluka lagi. Jane sesekali melirik orang yang tengah teler di kursi belakang. Dengan bantuan Juni, Jane benar-benar bisa mengikat Theo di kursi belakang. Mungkin kedengarannya sangat tidak berperi kemanusiaan, namun mau bagaimana lagi, ini semua demi keselamatan Jane. “Makan malam hari ini apa?” ditengah suasana hening mobil yang sedag melaju itu sebuah suara terdengar. Jane melirik ke kaca belakang. Melihat Theo masih setengah terpejam dengan dua tangan terikat diatas paha. Makan malam? Jane memutar mata malas. Bersyukur saja Jane mau membawa Theo pulang dengannya dan juga masih menjaga penuh kesadaran tanpa satu tetes alcohol pun. Tidak seperti Theo dulu, di Korea, dia juga ikut minum tapi berani-berani menyetir mobil dengan Jane di dalamnya. Untung saja Jane tidak mati. “Kenapa kam
Sama seperti pagi biasanya. Pagi hari ini pun Jane berhasil membuka kelopak matanya dengan bantuan suara merdu setelan alarm. Tidak begitu saja bisa mengusir rasa kantuk yang sudah semalaman merajainya. Jane mengangkat tangan, menutupi mulut yang menguap, lalu ia mengucek mata guna mengusir residu pagi yang dihasilkan, lalu sibuk mengumpulkan nyawa. Setelah beberapa saat bertahan di ranjang, Jane berhasil bangun, melemaskan badannya yang kaku sembari menyingkirkan selimut putih yang ia gunakan semalaman. Jane merapihkan rambutnya dengan jemari kemudian mengumpulkannya menjadi satu menjadi gulungan bundar di belakang kepala. Gadis ayu itu kemudian melangkahkan kakinya menuju dapur. Seperti biasa, seperti orang kebanyakan. Setiap baru bangun tidur Jane selalu mengambil satu gelas air putih untuk di minum. Setelah selesai dengan mengisi mineral Jane hendak menuju kamar mandi, baru hendak, karena sepagi ini siapa yang sangka ada orang yang
“Kamu tidur sama dia?” Suasana hening dalam mobil yang di tunggangi Theo itu seketika berubah atmosfir menjadi lebih pekat. Setelah menemui ayahnya di rumah Jane tadi, Theo tidak menunda untuk segera membawa pergi ayahnya dari sana, namun ketika ingat kunci rumahnya di buang kemarin malam lelaki itu tanpa kata hanya menuju mobil dan duduk di kursi penumpang Ferrari milik Kevin itu. Membuat sang ayah yang tadinya ingin mengunjungi tempat tinggal sang anak harus mengurungkan niatnya dan kembali ke rumah-nya sendiri. Kevin mengambil kemudi. Menyetir dengan sang anak di sebelahnya. Menanyakan hal yang harusnya tidak ditanyakan. Kevin tinggal di Jerman, dan tidak ada orang tua menanyakan hal semacam itu pada anak mereka, Kevin pun tau itu, hanya saja, ia ingin bertanya. Helaan napas santai menjadi balasan dari pria yang masih membuang pandangannya ke jalanan itu. “Usia saya tiga puluh satu tahun beberapa bulan lagi.” Yang ar