Pukul delapan kurang sepuluh menit, pintu lift terbuka. Val melangkah masuk ke ruangan di lantai 15 itu dan mendapati Saga sudah berada di sana. Pria itu sedang menatap serius pada monitornya.
Val melihat sekeliling. Rara dan lainnya, bahkan kepala bagian sebelah sana belum tampak tanda-tanda kehadirannya.
Pagi banget datangnya, gumam Val dalam hati. Ia mendekati meja dan menyapanya, “Selamat pagi, Pak.”
Tidak mendapatan jawaban dari Saga, Val pun meletakkan tas dan hendak duduk di kursi. Belum juga pantatnya menyentuh kursi, seniornya itu berkata, lebih tepatnya memerintah, “Val, coba kau cek di halaman itu. Catat dan beri koreksi untuk ke depannya. Kau lihat post-it itu?”
Val menatap kertas kuning yang tertempel di monitornya yang sudah menyala. Ada tulisan yang mirip coretan di kertas kecil itu.
“Kau buka tautan itu. Pelajari isinya, dan berikan pendapat atau ide tambahan untuk menaikkan jumlah kunjungan.” Saga menambahkan, masih tidak memalingkan wajah pada Val yang terbengong-bengong di tempatnya.
Ya ampun orang ini! Belum duduk, sudah disuruh. Kalau bukan seniorku, rasanya ingin kumaki-maki deh! Hati Val menggerutu kesal.
“Kenapa masih berdiri? Cepat kerjakan!” semprot Saga melihat Val masih berdiri mematung.
“I-iya, Pak! Akan segera saya kerjakan.” Val buru-buru menarik kursi dan mulai melakukan perintah Saga.
Padahal jam kerja belum mulai. Lainnya pun belum datang. Orang ini ada masalah apa sih? Bibir Val maju beberapa milimeter.
Saga melihatnya. “Kenapa? Keberatan bekerja sebelum jam delapan?” Teguran itu sukses membuat Val menggelengkan kepala cepat.
“Ti-tidak, Pak! Sama sekali tidak keberatan,” jawab Val.
“Semua yang kau butuhkan ada di sana. Ingat semuanya. Besok kau yang harus mengerjakan sendiri termasuk menyalakan komputer.” Saga menjelaskan lagi tanpa menoleh.
“Baik,” jawab Val singkat. Ia melihat halaman yang terpampang di depannya dan tersenyum. Ternyata ada gunanya juga catatan-catatan yang diberikan Saga kemarin. Semua jelas tertulis di sana, ia hanya bertugas mengecek dan memperbaikinya.
Oh, ya, aku harus mengembalikan bundelan itu ke tempatnya. Val buru-buru mengeluarkan benda yang dibawanya kemarin dari tas dan meletakkannya di laci meja teratas.
Saat Val kembali ke posisinya, terdengar sapaan dari Rara dan lainnya. Mereka melirik Val sambil tersenyum simpul. Mereka sangat paham Saga tidak pernah membuang-buang waktu. Jam berapa pun ia datang, ia akan langsung bekerja.
“Semangat, Val!” Rara memberi semangat dengan gerakan bibir dan matanya.
Val tersenyum dan mengangguk. Ia merasa beruntung mempunyai rekan-rekan kerja yang baik dan peduli padanya. Rasanya sudah cukup menyiksa bekerja penuh ketegangan seperti ini.
Saga seperti orang yang selalu siap berperang dengan siapa pun yang membantahnya. Val heran, pria itu masih punya cukup tenaga untuk bekerja.
Sambil bekerja, Val menatap sekilas ruang kaca di depannya yang masih tertutup. Ia lalu menghela napas. Rupanya Arion belum datang.
“Fokuslah pada perkerjaanmu.” Saga yang melihat arah pandang Val, menegur.
Val menunduk. Tak disangka, Saga mengamatinya. Apa terlalu kentara, ya?
Setelah itu, ia segera menyibukkan diri dalam pekerjaannya. Jika dia bisa menunjukkan kinerja yang baik, tak ada alasan bagi Saga untuk memarahi atau menekannya.
Bukankah pekerjaan seperti ini yang aku inginkan? Aku nggak mau orang lain merusaknya! Val sudah membulatkan semangatnya.
Val memusatkan seluruh konsentrasinya pada pekerjaannya hari ini. Beberapa catatan yang perlu dikoreksi ia tulis di tempat tersendiri untuk diberikan pada Saga. Ia perlu menanyakan apa yang harus dilakukan selanjutnya setelah ini.
Begitu fokusnya Val bekerja, ia sampai tidak menyadari kedatangan Arion yang langsung masuk ke ruangannya sambil tersenyum. Saga memelototinya, memberi peringatan supaya Arion tidak menggangu Val selama jam kerja.
“Sudah selesai, Pak. Silakan dicek,” kata Val beberapa waktu kemudian.
Saga menoleh, sedikit terkejut. Ia manatap jam yang menunjukkan jam sebelas kurang. Segera ia membuka halaman yang dikerjakan Val dan menelitinya.
“Setelah mengoreksi itu, apa kita langsung menghubungi mereka?” Val memberanikan diri bertanya.
Alis Saga terangkat sedikit. Anggukan samar ia berikan sebagai jawaban. “Aku yang mengurusnya. Kau kerjakan saja yang kuperintahkan,” katanya.
Val mengangguk.
“Kau sudah memikirkan akan menulis apa di sana?” Saga mengalihkan matanya pada Val.
“Belum, Pak. Tapi, saya punya ide,” jawab Val. Rasanya ada kelegaan dan kebanggaan sendiri karena berhasil memenuhi permintaan Saga. Menurut perkiraannya, pekerjaan tadi cukup cepat ia selesaikan.
“Kau ngapain?” Saga memelototi Val yang masih duduk menghadapnya. “Kau mau menungguku memeriksa ini?”
Val tersadar dan menjawab cepat, “Ti-tidak, Pak.”
“Daripada kau melamun nggak jelas begitu, lebih baik kau pikirkan ide yang kau bilang tadi dan kerjakan sekarang.”
“Ah, iya, baik!”
Val sedikit terkejut, tapi tak berkata apa-apa. Saga benar. Ia hanya akan membuang-buang waktu jika menunggu Saga selesai. Toh, ia sendiri yang akan melanjutkan sisanya.
Val sendiri tidak akan suka jika ada orang yang menunggunya mengerjakan sesuatu tanpa melakukan hal lain. Rasanya seperti diawasi. Karena itu, ia segera mengambil kertas dan mulai menuangkan beberapa ide di sana.
Pekerjaannya mirip dengan editor yang memeriksa naskah yang masuk. Namun, perusahaan ini tidak hanya memuat karya fiksi dari penulis yang mendaftar. Beberapa artikel dan tulisan non fiksi juga ada di beberapa menu yang dibuat oleh intern perusahaan. Masing-masing tulisan itu mempunyai target pembaca sendiri. Sayangnya, tidak semua tulisan memiliki rating yang bagus. Merupakan tugas setiap orang untuk menyumbang ide yang nantinya akan didiskusikan bersama-sama.
“Rara! Dewi! Sandy!” Saga memanggil juniornya di seberang satu per satu. “Yang kuminta kemarin, apa sudah selesai?”
“Sudah, Pak!” Mereka menjawab bersamaan.
“Berikan padaku saat makan siang,” lanjut Saga. “Kau juga!” Ia menatap tajam Val.
“Hah? Apa? Oh, baik,” jawab Val tergagap.
Dia sudah menyuruh yang lain sejak kemarin, dan baru memintaku tadi pagi. Dan, harus selesai saat makan siang? Mendadak Val merasa kesal, lalu tersadar kembali tentang statusnya kemarin yang masih mempelajari pekerjaannya.
Kembali Val mencoret-coret saran yang ia pikirkan sampai pada pukul 11.50 sebuah pesan muncul di layarnya.
“Mau makan siang bersamaku?”
Val mendelik tak percaya membaca pesan yang dikirim Arion. Sesungguhnya ia melonjak girang dan bisa saja menjawab ‘iya’, tapi posisinya tidak memungkinkan untuk itu. Dia adalah orang baru di kantor ini dan ingin terus bekerja di sini. Apa yang akan terjadi jika ia begitu saja menerima tawaran Arion? Sesuka apa pun Val padanya, ia tak mungkin mengorbankan pekerjaan ini. Lagi pula di mana ada Arion, pasti akan ada Saga, bukan? Dua orang itu seperti lem dan perangko. Orang pacaran pun mungkin akan kalah dengan kedekatan mereka. Val tidak ingin Saga akan semakin menganggapnya rendah. Begitu pula Saga. Pria itu pasti tidak akan suka dirinya dekat-dekat dengan atasannya. Untuk sementara fokus pekerjaan dulu. Urusan hati dan cinta bisa menunggu, putus Val. Ia lalu mengetikkan balasannya, “Maaf, Pak, saya nggak bisa.” “Karena Saga?” Pesan Arion masuk beberapa detik kemudian. Val terkejut. Sudut matanya melirik Saga yang sedang menyeruput kop
Arion sedang duduk di kursi kerjanya saat gadis pujaannya masuk dengan gugup. Senyum tipis mengembang di wajah tampannya. Saga yang berdiri di depannya melotot tak senang, tapi ia tidak peduli. Manik hitamnya masih melekat pada Val yang bergerak kaku di sana. Sejujurnya Val kebingungan hendak duduk di mana. Sofa yang menempel di dinding sudah penuh oleh Rara dan lainnya. Akhirnya ia memutuskan untuk berdiri saja di sebelah sandaran sofa tempat Rara berada. “Sori, Val, sudah penuh,” bisiknya. Val mengangguk dan tersenyum. Matanya menangkap buku kecil dan pulpen di pangkuan Rara dan lainnya. Mendadak Val sadar, ini adalah meeting pertamanya dan ia tidak membawa apa pun. Uh, oh! Bodoh sekali kamu, Val! rutuknya dalam hati. Ia meremas tangannya yang mulai basah dan kebas. Sementara Val berdiri kikuk, dua pria tampan itu sama-sama menatap ke arahnya. Yang satu memandang dengan senyum di bibirnya, satunya lagi dengan mata menyipit
Saga membereskan meja dan mematikan komputernya setelah keluar dari ruangan Arion. Ia sudah memperingatkan sahabatnya sekali lagi untuk tidak mengganggu Val di kantor. Namun, sepertinya Arion sudah tergila-gila pada gadis itu, dan tidak menghiraukan ucapannya. Itu yang membuat Saga semakin kesal. Val yang masih menyelesaikan pekerjaan terakhirnya, mengamati Saga diam-diam dari ekor matanya. Ternyata Arion bisa juga membuat orang ini kesal! pikirnya. “Kau bereskan semua. Dan jangan lupa mematikan komputermu!” Saga memerintah sebelum ia pergi tanpa mendengar jawaban Val. Tak lama, Arion pun keluar dari ruangan dan berpamitan pada Val yang dibalas dengan anggukan pelan. Pria itu juga melakukan hal yang sama pada Rara dan lainnya. Setelah Arion turun, Rara langsung menyerbu Val dengan rentetan pertanyaan. Demikian juga Dewi dan Sandy yang terlihat bersemangat. “Val! Apa-apaan tadi itu?” sembur Rara. Ia menarik Val berdiri setelah mengambi
“Selamat malam, Val. Semoga kamu tidak keberatan aku mengirim pesan ini.” Begitu kalimat yang muncul di layar. Val segera mengelap mulutnya dan membalas pesan itu. “Malam, Pak. Nggak, sama sekali nggak keberatan,” tulisnya. “Ada apa, Pak? Apa ada masalah dengan pekerjaan saya?” Ia menambahkan setelah berpikir sejenak. Mungkin Saga melaporkan sesuatu tentang hasil kerjanya pada Arion. Arion membalasnya dengan emotikon tertawa. Di bawahnya ia menulis, “Nggak. Bukan masalah pekerjaan. Aku hanya merasa kamu jadi canggung setelah tahu siapa aku. Berbeda dengan pertemuan pertama kita.” Val mendelik membacanya. Ia bingung harus menjawab apa. Akhirnya ia hanya membalas, “Iya.” Dan pesan-pesan berikutnya terus muncul. “Sudah kubilang ‘kan waktu itu, di luar jam kerja atau berdua saja, bicara santai denganku. Aku hanya manusia biasa bukan raja atau presiden. Jangan membebani dirimu dengan pikiran seperti itu.” Val ter
“Bagaimana dia?” Arion bertanya setelah menyuap nasi ke dalam mulutnya. Saga yang sedang menggigit sepotong ayam goreng menaikkan sebelah alisnya. “Val,” jelas Arion memahami ekspresi Saga. “Kenapa?” tanya Saga. Ia kini menyendok nasi dengan sambal. “Kerjanya. Apa dia bisa mengikuti cara kerjamu?” Saga menggeleng. “Belum. Dia belum konsisten. Kadang cepat dan paham. Tapi, lebih sering lambat dan membuat kepalaku sakit, karena harus mengecek ulang. Sama saja dua kali kerja.” “Sabarlah … baru juga beberapa hari.” Arion menepuk bahu Saga. “Pokoknya─” “Iya, iya, aku tahu,” potong Arion sebelum Saga menuntaskan kalimatnya. Memang, sebisa mungkin Arion menuruti permintaan Saga. Ia sudah tidak mengganggu Val selama jam kerja selain hanya untuk mengajaknya makan siang. Nyatanya, gadis itu masih bergeming. Ajakan makan malam ataupun sekadar mengantar pulang juga ditolaknya. Arion masih bisa menelepon Val di malam
Pukul satu lewat sedikit Arion dan Saga kembali dari makan siang. Mereka langsung masuk ke ruangan kaca dan menutup pintunya.“Kenapa sih gadis itu nggak mau kuajak keluar?” Arion gusar sambil mondar-mandir di ruangannya.Saga yang duduk di sofa sambil mengecek tablet-nya tidak menjawab. Pria itu sibuk mengamati grafik kunjungan laman perusahaan.“Okelah dia menolak kalau makan siang karena masih di area kantor. Tapi, makan malam antar pulang, bahkan akhir pekan pun dia menolak?” Arion melanjutkan kegelisahannya.Saga mendongak dan mendapati Arion sedang menatapnya tajam. “Apa?” tanyanya dingin.“Jangan-jangan gara-gara kamu nih!” tuduh Arion seenaknya lalu duduk di kursinya.Saga mendengus kesal. “Val lagi? Jangan salahin aku. Dia sendiri kerja nggak benar! Nggak teliti, ceroboh, nggak disiplin. Ini sama saja sebelum dia masuk,” protesnya menghitung satu-satu kekurangan Va
Hari-hari Val berikutnya terasa menyenangkan. Setelah malam itu ada malam-malam lain yang ia lalui bersama Arion. Seperti layaknya proses hubungan antara pria dan wanita, Arion membawa Val ke tempat-tempat yang belum pernah ia datangi.Seperti malam ini, Arion membawa Val ke sebuah tempat yang asing di pinggiran kota. Bukan ke restoran mahal atau pusat kuliner di mal, pria itu membawanya ke sebuah taman kecil yang ramai dengan anak-anak muda.Ada area untuk bermain papan luncur, dan permainan untuk anak-anak di sana. Berbagai penjual makanan dan minuman dalam gerobak berjejer mengitari taman itu.“Kamu nggak keberatan makan di tempat seperti ini, ‘kan?” tanya Arion melihat wajah kaget Val.Val sama sekali tidak menyangka Arion akan membawanya ke tempat sederhana ini. Bukannya keberatan, ia justru semakin kagum dengan sosok Arion yang hangat.“Oh, enggak kok. Sama sekali nggak keberatan,” jawab Val. “Kamu sering m
Bicara memang mudah, tapi melakukannya itu sulit. Val sudah berusaha sebaik dan seteliti mungkin. Secepat yang ia bisa, dan memahami apa mau Saga. Ia terus memutar otak mencari ide-ide segar yang akan ditulis di halaman perusahaan yang menjadi tanggung jawabnya selain memeriksa naskah.Menurut Val, Saga terlalu perfeksionis yang tidak menerima kesalahan sekecil apa pun. Ia juga sangat teliti dan pintar. Val jadi malu karena hampir setiap hari Saga menegurnya. Meskipun beberapa kali ia pernah melakukannya dengan benar, tapi lebih banyak kekurangan yang dilihat Saga pada dirinya. Itu membuatnya sangat frustrasi.Lama-lama Val tidak tahan juga. Ingin sekali ia melaporkannya pada Arion, tapi hal itu akan membuatnya terlihat tidak profesional dan cengeng. Ia bukan wanita yang suka memanfaatkan keadaan. Apalagi untuk sekadar pansos.“Mana tulisan yang akan terbit besok? Kau bilang akan selesai beberapa hari sebelumnya!” Saga kembali menegur Val dengan kera