Val mendelik tak percaya membaca pesan yang dikirim Arion. Sesungguhnya ia melonjak girang dan bisa saja menjawab ‘iya’, tapi posisinya tidak memungkinkan untuk itu. Dia adalah orang baru di kantor ini dan ingin terus bekerja di sini. Apa yang akan terjadi jika ia begitu saja menerima tawaran Arion? Sesuka apa pun Val padanya, ia tak mungkin mengorbankan pekerjaan ini.
Lagi pula di mana ada Arion, pasti akan ada Saga, bukan? Dua orang itu seperti lem dan perangko. Orang pacaran pun mungkin akan kalah dengan kedekatan mereka. Val tidak ingin Saga akan semakin menganggapnya rendah. Begitu pula Saga. Pria itu pasti tidak akan suka dirinya dekat-dekat dengan atasannya.
Untuk sementara fokus pekerjaan dulu. Urusan hati dan cinta bisa menunggu, putus Val. Ia lalu mengetikkan balasannya, “Maaf, Pak, saya nggak bisa.”
“Karena Saga?” Pesan Arion masuk beberapa detik kemudian.
Val terkejut. Sudut matanya melirik Saga yang sedang menyeruput kopinya.
“Bukan begitu. Saya baru dua hari bekerja. Masih banyak yang harus saya pelajari.” Jari lentik itu mengetik lagi.
Arion belum membalas lagi, tapi ada keterangan ‘sedang mengetik’ di papan pesan itu. Val menunggunya dengan harap-harap cemas.
“Ehem!” Saga sengaja berdeham keras dan membuat Val melonjak kaget.
Cepat-cepat gadis itu menunduk dan pura-pura sedang menulis. Meski begitu, ia masih merasakan tatapan Saga yang menusuk.
“Kalau nanti malam bagaimana?” Pesan dari Arion muncul lagi.
Val hendak membalas ketika Saga menggeser kursi hingga membentur mejanya dan berdiri.
“Dasar! Padahal masih jam kerja!” gumamnya kesal. Ia melangkah cepat ke ruangan Arion dan menutup pintu.
Val baru saja mengirim pesan balasan yang sama dengan sebelumnya ketika terdengar perdebatan dan tawa kecil dari ruangan kaca itu. Tidak terdengar jelas apa yang mereka bicarakan, tapi Val yakin Saga mengetahui dengan siapa dia berbalas pesan.
Ketika pintu ruangan kaca itu terbuka beberapa menit kemudian, Saga melempar pandangan tak suka pada Val. Sementara Arion tertawa santai sambil merangkul pria galak itu seolah menenangkan anak kecil yang merajuk.
Val mengangguk canggung di tengah tatapan Saga, saat Arion tersenyum padanya. Ia mengamati dua orang itu meninggalkan ruangan dan memasuki lift untuk turun. Saat ini sudah jam makan siang, dan sudah menjadi kebiasaan mereka untuk makan bersama.
Dewi yang akan ke toilet melewati meja Val dan melihat gadis itu kembali menekuri pekerjaannya. Ia pun bertanya, “Nggak makan dulu, Val?”
Val menoleh dan tersenyum sambil menunjuk kotak makan yang terbuka.
“Oh, kamu sedang makan rupanya,” ujar Dewi. Ia pun pergi ke toilet dan kembali mendekati Val setelahnya. “Kamu sudah selesai? Cepet banget, Val!” Ia melongo melihat kotak makan Val yang sudah tandas.
Val tertawa. “Iya, aku kerja sambil makan. Kamu sudah makan?”
“Rajin sekali kamu, Val.” Rara tiba-tiba muncul.
“Kalau nggak ingin didepak Pak Saga, aku harus bekerja keras, ‘kan?” Lagi, Val tertawa. Tawa yang terkesan dipaksakan mengingat ia sendiri tidak tahu apakah sanggup menghadapi Saga ke depannya.
“Benar juga sih! Kalau sampai kamu keluar juga karena nggak betah atau nggak bisa mengikuti kerja Pak Saga, kami juga yang repot,” kata Sandy yang entah kapan sudah terlibat dalam pembicaraan mereka.
“Kami kebagian juga tugas-tugas itu.” Rara menunjuk dengan matanya pada halaman di monitor Val.
Sandy duduk bersandar pada tepi meja. “Mau nggak mau sih, kami harus bantu demi kelangsungan hidup bersama.” Kalimat itu diakhiri tawa semuanya.
“Karena itu, demi kepentingan bersama, aku akan bekerja keras dan rajin,” kata Val dengan semangat. “Kalian makan dululah. Aku mau kerja lagi.”
“Oke. Jangan terlalu dipikirin, Val, ntar kamu stress,” kata Rara sebelum pergi.
“Santai saja. Intinya kamu harus cepat tanggap dan tangkas kalau bekerja dengan Pak Saga,” tambah Dewi.
Sandy hanya tersenyum sambil mengacungkan ibu jarinya.
Val tersenyum lega melihat bantuan semangat dari teman-temannya. Ya, benar. Untuk mengambil hati Pak Saga, oh, tentu saja dalam hal pekerjaan, aku harus menunjukkan kinerja yang baik. Dengan begitu, ia tidak akan seenaknya lagi!
Setelah mendengar cerita dari mereka, Val tidak ingin membebani teman-temannya itu dengan pekerjaan tambahan karena tidak mampu menyelesaikan pekerjaan dengan baik.
Rara, seorang ibu dengan satu anak yang ia tinggal di tempat penitipan dan harus segera dijemput sepulang bekerja. Suami Rara bekerja di luar kota dan pulang seminggu sekali. Dewi yang belum memiliki momongan, terkadang harus bergantian menjaga ibunya yang sudah sepuh, sementara suaminya bekerja shift malam. Sementara Sandy, memiliki pekerjaan sampingan, yaitu mengajar anak-anak tentang desain di hari tertentu.
Masa Val tega membiarkan teman-temannya menanggung pekerjaan itu? Mereka sudah memiliki kewajiban lain, sementara dirinya masih menikmati hidup sendiri. Sudah seharusnya ia bekerja lebih giat dan keras supaya tidak menjadi beban.
Syukurlah permintaan Saga hari ini bisa Val selesaikan dengan baik. Ia merasa beruntung karena Arion mengirim pesan di saat yang tepat. Saga melupakan sejenak tentang tugas yang diminta, lantaran keburu kesal dengan Arion.
Ketika Val menyerahkan tugas itu setelah Saga kembali tanpa Arion, pria itu menerimanya dengan terpaksa. Sepertinya ia kesal karena sempat melupakan hal itu.
“Bagus,” katanya datar.
Entah ini pujian atau hanya sindiran sinis, Val sedikit merasa bangga. Dalam hati ia tertawa mengejek kelalaian Saga. Ternyata anda bisa lupa juga, Pak saga!
“Pekerjaanmu hari ini cukup bagus. Sekarang selesaikan yang itu!” Saga menunjuk papan pesan di monitor Val dengan matanya.
Val membaca beberapa tautan yang dikirim Saga. Ia lalu mengangguk. “Baik, Pak.”
Setelah itu, tidak ada hal berarti yang terjadi. Semua sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Bahkan Val tidak sadar bahwa Arion sudah kembali. Beberapa kali Saga keluar masuk ruangan Arion, entah apa yang dibicarakan mereka. Terakhir kalinya, Saga berada di dalam cukup lama.
“Kalian!” Tiba-tiba Saga berseru dari ambang pintu dan memandang anak buahnya satu per satu. “Kemari semuanya!” perintahnya.
Val melihat Rara dan lainnya tampak keheranan. Namun, mereka bergegas menuruti perintah Saga.
“Ayo, Val!” kata Rara setengah berseru.
Buru-buru Val bangkit dan mengekor di belakang Rara. Pintu pun tertutup kembali.
Arion sedang duduk di kursi kerjanya saat gadis pujaannya masuk dengan gugup. Senyum tipis mengembang di wajah tampannya. Saga yang berdiri di depannya melotot tak senang, tapi ia tidak peduli. Manik hitamnya masih melekat pada Val yang bergerak kaku di sana. Sejujurnya Val kebingungan hendak duduk di mana. Sofa yang menempel di dinding sudah penuh oleh Rara dan lainnya. Akhirnya ia memutuskan untuk berdiri saja di sebelah sandaran sofa tempat Rara berada. “Sori, Val, sudah penuh,” bisiknya. Val mengangguk dan tersenyum. Matanya menangkap buku kecil dan pulpen di pangkuan Rara dan lainnya. Mendadak Val sadar, ini adalah meeting pertamanya dan ia tidak membawa apa pun. Uh, oh! Bodoh sekali kamu, Val! rutuknya dalam hati. Ia meremas tangannya yang mulai basah dan kebas. Sementara Val berdiri kikuk, dua pria tampan itu sama-sama menatap ke arahnya. Yang satu memandang dengan senyum di bibirnya, satunya lagi dengan mata menyipit
Saga membereskan meja dan mematikan komputernya setelah keluar dari ruangan Arion. Ia sudah memperingatkan sahabatnya sekali lagi untuk tidak mengganggu Val di kantor. Namun, sepertinya Arion sudah tergila-gila pada gadis itu, dan tidak menghiraukan ucapannya. Itu yang membuat Saga semakin kesal. Val yang masih menyelesaikan pekerjaan terakhirnya, mengamati Saga diam-diam dari ekor matanya. Ternyata Arion bisa juga membuat orang ini kesal! pikirnya. “Kau bereskan semua. Dan jangan lupa mematikan komputermu!” Saga memerintah sebelum ia pergi tanpa mendengar jawaban Val. Tak lama, Arion pun keluar dari ruangan dan berpamitan pada Val yang dibalas dengan anggukan pelan. Pria itu juga melakukan hal yang sama pada Rara dan lainnya. Setelah Arion turun, Rara langsung menyerbu Val dengan rentetan pertanyaan. Demikian juga Dewi dan Sandy yang terlihat bersemangat. “Val! Apa-apaan tadi itu?” sembur Rara. Ia menarik Val berdiri setelah mengambi
“Selamat malam, Val. Semoga kamu tidak keberatan aku mengirim pesan ini.” Begitu kalimat yang muncul di layar. Val segera mengelap mulutnya dan membalas pesan itu. “Malam, Pak. Nggak, sama sekali nggak keberatan,” tulisnya. “Ada apa, Pak? Apa ada masalah dengan pekerjaan saya?” Ia menambahkan setelah berpikir sejenak. Mungkin Saga melaporkan sesuatu tentang hasil kerjanya pada Arion. Arion membalasnya dengan emotikon tertawa. Di bawahnya ia menulis, “Nggak. Bukan masalah pekerjaan. Aku hanya merasa kamu jadi canggung setelah tahu siapa aku. Berbeda dengan pertemuan pertama kita.” Val mendelik membacanya. Ia bingung harus menjawab apa. Akhirnya ia hanya membalas, “Iya.” Dan pesan-pesan berikutnya terus muncul. “Sudah kubilang ‘kan waktu itu, di luar jam kerja atau berdua saja, bicara santai denganku. Aku hanya manusia biasa bukan raja atau presiden. Jangan membebani dirimu dengan pikiran seperti itu.” Val ter
“Bagaimana dia?” Arion bertanya setelah menyuap nasi ke dalam mulutnya. Saga yang sedang menggigit sepotong ayam goreng menaikkan sebelah alisnya. “Val,” jelas Arion memahami ekspresi Saga. “Kenapa?” tanya Saga. Ia kini menyendok nasi dengan sambal. “Kerjanya. Apa dia bisa mengikuti cara kerjamu?” Saga menggeleng. “Belum. Dia belum konsisten. Kadang cepat dan paham. Tapi, lebih sering lambat dan membuat kepalaku sakit, karena harus mengecek ulang. Sama saja dua kali kerja.” “Sabarlah … baru juga beberapa hari.” Arion menepuk bahu Saga. “Pokoknya─” “Iya, iya, aku tahu,” potong Arion sebelum Saga menuntaskan kalimatnya. Memang, sebisa mungkin Arion menuruti permintaan Saga. Ia sudah tidak mengganggu Val selama jam kerja selain hanya untuk mengajaknya makan siang. Nyatanya, gadis itu masih bergeming. Ajakan makan malam ataupun sekadar mengantar pulang juga ditolaknya. Arion masih bisa menelepon Val di malam
Pukul satu lewat sedikit Arion dan Saga kembali dari makan siang. Mereka langsung masuk ke ruangan kaca dan menutup pintunya.“Kenapa sih gadis itu nggak mau kuajak keluar?” Arion gusar sambil mondar-mandir di ruangannya.Saga yang duduk di sofa sambil mengecek tablet-nya tidak menjawab. Pria itu sibuk mengamati grafik kunjungan laman perusahaan.“Okelah dia menolak kalau makan siang karena masih di area kantor. Tapi, makan malam antar pulang, bahkan akhir pekan pun dia menolak?” Arion melanjutkan kegelisahannya.Saga mendongak dan mendapati Arion sedang menatapnya tajam. “Apa?” tanyanya dingin.“Jangan-jangan gara-gara kamu nih!” tuduh Arion seenaknya lalu duduk di kursinya.Saga mendengus kesal. “Val lagi? Jangan salahin aku. Dia sendiri kerja nggak benar! Nggak teliti, ceroboh, nggak disiplin. Ini sama saja sebelum dia masuk,” protesnya menghitung satu-satu kekurangan Va
Hari-hari Val berikutnya terasa menyenangkan. Setelah malam itu ada malam-malam lain yang ia lalui bersama Arion. Seperti layaknya proses hubungan antara pria dan wanita, Arion membawa Val ke tempat-tempat yang belum pernah ia datangi.Seperti malam ini, Arion membawa Val ke sebuah tempat yang asing di pinggiran kota. Bukan ke restoran mahal atau pusat kuliner di mal, pria itu membawanya ke sebuah taman kecil yang ramai dengan anak-anak muda.Ada area untuk bermain papan luncur, dan permainan untuk anak-anak di sana. Berbagai penjual makanan dan minuman dalam gerobak berjejer mengitari taman itu.“Kamu nggak keberatan makan di tempat seperti ini, ‘kan?” tanya Arion melihat wajah kaget Val.Val sama sekali tidak menyangka Arion akan membawanya ke tempat sederhana ini. Bukannya keberatan, ia justru semakin kagum dengan sosok Arion yang hangat.“Oh, enggak kok. Sama sekali nggak keberatan,” jawab Val. “Kamu sering m
Bicara memang mudah, tapi melakukannya itu sulit. Val sudah berusaha sebaik dan seteliti mungkin. Secepat yang ia bisa, dan memahami apa mau Saga. Ia terus memutar otak mencari ide-ide segar yang akan ditulis di halaman perusahaan yang menjadi tanggung jawabnya selain memeriksa naskah.Menurut Val, Saga terlalu perfeksionis yang tidak menerima kesalahan sekecil apa pun. Ia juga sangat teliti dan pintar. Val jadi malu karena hampir setiap hari Saga menegurnya. Meskipun beberapa kali ia pernah melakukannya dengan benar, tapi lebih banyak kekurangan yang dilihat Saga pada dirinya. Itu membuatnya sangat frustrasi.Lama-lama Val tidak tahan juga. Ingin sekali ia melaporkannya pada Arion, tapi hal itu akan membuatnya terlihat tidak profesional dan cengeng. Ia bukan wanita yang suka memanfaatkan keadaan. Apalagi untuk sekadar pansos.“Mana tulisan yang akan terbit besok? Kau bilang akan selesai beberapa hari sebelumnya!” Saga kembali menegur Val dengan kera
“Aku sudah di lobi. Kamu selesaikan dulu pekerjaanmu. Aku akan menunggumu.” Pesan Arion masuk ke ponsel Val.Saat itu tinggal Val sendiri yang berada di kantor. Dirinya sedang berusaha menyelesaikan permintaan Saga. Sorot matanya berkilat tidak ingin menyerah dan menerima penghinaan yang diberikan Saga. Ia bahkan menolak tawaran Rara yang ingin membantunya.Nggak! Aku nggak boleh merepotkan orang lain. Kalau sampai dia tahu ada yang membantuku, akan seperti apa aku di matanya? Val membayangkan Saga akan tertawa mengejek.Teman-teman dan karyawan bagian lainnya sudah pulang sejak tadi. Val tidak dapat menyembunyikan rasa malunya saat pandangan mereka tertuju padanya. Tentu saja mereka mendengar teriakan Saga yang memakinya.Val yakin rumor yang akan beredar berikutnya adalah tentang Arion yang salah mendekati wanita yang tidak becus bekerja. Atau, gara-gara terlibat asmara dengan CEO, seorang karyawati baru tidak menunjukkan p