Demi terbebas dari pertanyaan yang William berikan Belle memantapkan kembali pada paman Marlon, semata anaknya dapat mengenali sang daddy. Mendapatkan kebahagiaan juga kasih sayang dari kedua orang tua lengkap. Bagaimanapun keadaannya lelaki itu tetap ayah kandung dari William. Dia tidak boleh egois apalagi sampai hati mengorbankan perasaan sang anak.
Kini, mereka sudah tiba di kediaman Exietera yang menampung beberapa kenangan, pahit, manis, dan asin. Di mana Belle dapat berpikir lebih luas, menjadi dewasa hingga melahirkan William. Sebagai kekuatannya untuk selalu tersenyum meski hati terluka.
"Kita mulai dari awal, lupakan semua, aku tidak akan menyiakan kalian." Di sebelahnya Marlon berkata, menaruh tas bawaan Belle, lalu membuka lebar daun pintu. Mempersilakan masuk.
"Di mana Candice?" tanya Belle sesaat tidak menemukan siapa-siapa, seperti rumah kosong yang baru saja dihuni.
"Aku membelikannya rumah baru, di sini hanya ada kita bertiga
Seperti sebelum kepergiannya dari rumah Belle bangun 30 menit lebih awal. Memasak makanan kesukaan paman Marlon, serta membuatkan menu sehat untuk anaknya William. Keuletan ibu muda satu anak itu tak dapat diragukan lagi semenjak dua tahun hidup mandiri. Belle bekerja dengan sukses, aroma masakannya sampai membangunkan Marlon yang tertidur lelap karena kelelahan.Belle berjingkat saat merasa embusan napas Marlon di tengkuknya, lantas berbalik dengan cepat. Yang ditatap hanya tersenyum miring. Mentowel hidung bangir Belle, lalu mencomot kentang krispi di atas penggorengan. Lelaki itu makan dengan santai, tak memedulikan tatapan sangar Belle. Kendati Marlon tahu jika istrinya si cerewet, paling benci melihat dirinya mengunyah sebelum basuh muka."Kau jorok sekali, Paman, iewh." Belle menonjok lengan kekar Marlon, lalu memindahkan kentang ke nampan."Bell, ayolah, biarkan aku habiskan sarapanku." Tidak menyerah, Marlon mengejar Belle. Berusaha mengambil
Sejujurnya Belle tak pernah bermimpi setinggi langit, akan tetapi mimpi itu sendiri yang mengejar. Membawanya seperti berada di dalam kisah seorang putri raja berparas cantik jelita. Kini, gaun bersurai sutra membalut tubuh Belle hingga menjulur ke lantai. Elok sekali. Jika ada kata yang lebih bagus dari sempurna, dia dapat menerima. Tepat di hari pernikahan mereka ke tiga tahun, Marlon dan Belle duduk berdampingan. Merayakan pernikahan yang ketiga tahun sebagai bentuk doa restu dari nyonya Gloe.Di depan seluruh tamu paman Marlon mencium bibir Belle, untuk ke sekian kali terhitung sejak pertemuan awal mereka yang secara tidak disengaja. Marlon menginginkan gadis kecil itu. Sedikit berfantasi nakal dengan Belle sehingga tercetus ide melepas status lajangnya dan melangsungkan pernikahan. Dari pernikahan, keduanya menerima hadiah begitu beharga yaitu William yang menjadi bukti cinta mereka di atas suci."Aku masih mencintaimu, selalu ingin mencintai dirimu. Rasa cint
Terhitung sejak perayaan tiga tahun pernikahan mereka, paman Marlon semakin mengerahkan seluruh cintanya pada Belle dan William. Sama sekali tidak perhitungan beliau selalu memberi apapun yang William minta. Kadang Belle merasa lelaki itu berlebihan. Memanjakan anak boleh saja, tetapi jangan keterluan. Belle takut prilaku paman Marlon dapat merusak otak anaknya sehingga menjadi bodoh.Dug!"Aaw!" Refleks Belle memegang jidat lebarnya, bersamaan dengan Marlon datang untuk memastikan."Apa kau baik-baik saja?" tanyanya sambil mengusap beberapa kali, air muka beliau tampak pucat. Padahal hanya kepentok bola William.Entah kenapa, melihat paman Marlon seperti ini mengingatkan Belle pada dokter Liam yang sangat perhatian. Aneh ya? Batin Belle meringis, lantas menggeleng pelan dan tersenyum.Marlon menghela Belle menuju bangku taman, memberikan minum sambil memerhatikan William yang bermain bola sendirian. Firasatnya mengatakan jika Belle tak baik-baik saja t
"Ya, aku ..." Suara Belle tercekat, sulit menerangkan yang sebenarnya pada paman Marlon, dia sungguh takut."Aku berjanji tidak akan marah. Aku sangat mengerti Bell, jujurlah." Mata paman Marlon menatapnya lembut, sabar menantikan sebuah jawaban."Ya, kupikir aku juga memiliki rasa pada dokter Liam. Maafkan aku."Sejumput air mata jatuh membasahi kedua pipi Belle, tak seharusnya dia mempunyai perasaan aneh tersebut. Apalagi mencintai dua lelaki dalam satu hati, rasanya sangatlah kurang waras mengingat statusnya sendiri. Masih menjadi istri sah Marlon, terlebih Belle sangat mencintai lelaki tua itu. Entah perasaan macam apa ini? Di mana dirinya merasa seperti wanita murahan yang mencintai dua lelaki.Untuk beberapa saat Marlon terdiam, diikuti dengan tarikan di kedua sudut bibirnya. Senyuman terpaksa. Kemudian lelaki itu membelai halus kepala Belle, menyelipkan anak rambutnya, lantas berbalik menyembunyikan air mata."Paman, aku minta maaf." Lagi, Belle
Hampir empat jam Marlon menunggu Belle siuman, rupanya pukulan keras tadi membuat pipi gadis itu membiru. Segala cara sudah dia lakukan selama Belle pingsan. Dengan mengkompres air dingin berikut embusan yang dia berikan agar rasa sakitnya berkurang. Liam dan Rose? Kedua pasangan itu sudah Marlon usir, tidak membiarkan dokter Liam menyentuh wajah Belle."Kau tak seharusnya melindungi Liam sehingga dirimu yang terkena, Bell." Dengan pelan Marlon mengusap dahi Belle, menyeka butiran peluh.Hening.Masih tidak ada jawaban.Faktanya Belle masih belum sadarkan diri entah sampai kapan, Marlon lelah menanti yang tidak pasti. Mengambil napas Marlon pun bangkit saat ingat William, putranya juga sedang sakit. Meski sama-sama tidur, sebagai ayah dia harus bolak balik mengecek untuk memastikan bahwa semuanya aman.Ternyata bocah dua tahun itu sudah bangun, dia duduk di ujung ranjang sambil memandang robot pemberian dokter Liam. Saat Marlon berdiri di had
Tepat satu bulan kepergian lelaki itu, perlahan Belle mulai bangkit dengan kedua kaki yang berjalan kokoh dari satu gedung ke lain tempat. Berusaha mencari keberadaan paman Marlon. Saat kerongkongannya terasa kering, Belle memutuskan berhenti sejenak untuk membeli minum di salah satu warung, dan duduk di dekat trotoar. Tiba-tiba sebuah mobil mendekat, di situ Belle langsung bangkit menepuk rok belakangnya berulang kali. Dari dalam suara dokter Liam menyapa."Selamat siang Nona, apa kau butuh tumpangan ... aaa Belle?" Tidak lama dokter Liam keluar dari mobil, sedang Belle hanya bisa tersenyum kikuk."Eum, siang," jawabnya ramah, sedikit membungkuk seperti orang asing."Kenapa kau bisa di sini, Bell? Kupikir kalian pindah. Aku sudah mencarimu, Marlon, dan Rose di mana-mana.""Ceritanya panjang.""Kita harus bicara, ikut denganku."Tidak menolak, Belle mengikuti Liam masuk ke dalam mobil, hanya butuh beberapa menit untuk mencari kafe yang menye
Sesuai keinginan Belle, gadis itu tidak mengeluh sedikit pun meski tinggal di gubuk derita yang Marlon persiapkan. Jauh dari kota. Kenyataannya Marlon menolak bantuan dokter Liam. Cukup sudah keresahan yang sempat datang nyaris membuat hidupnya mati rasa. Kendati dia tak ingin lagi melibatkan siapa saja terutama orang lain dalam hal ini, rasanya jera bergantung pada Exietera sebagian besar milik Gloe. Di mana Marlon harus manut di pimpin perintah sang ibu, walau rasanya agak melenceng.Seperti permintaannya agar menikahi Candice si kepala badak, walau beliau telah menyesali semua, itu tidak akan pernah mengembalikan kebahagiaan. Momen indah yang seharusnya tidak berantakan seperti sekarang. Tapi, ah sudahlah! Mungkin, rencana Marlon masih terlalu rendah jika dibanding dengan takdir Tuhan di atas gunung. Kesalahan lalu bukan masalah besar, selagi bisa diperbaiki kenapa tidak?Lagi pula Belle tak banyak menuntut, William juga sudah menerima, di sini dia hanya tinggal men
Sementara Marlon sibuk membongkar isi lemari Belle hanya diam mengawas, tidak tertarik sedikit pun mencari gaun terbaik untuk hasil maksimal di dalam pemotretan keluarga besar Exietera. Di saat Marlon sudah menemukan kemeja pilihannya, gadis itu tetap masa bodoh. Ah, entahlah! Rasanya Belle tidak minat melakukan apa-apa. Panggilan William saja sejak tadi dia abaikan, anaknya itu menjadi lebih cerewet setelah pindah.Apalagi mereka tidak mempekerjakan pembantu, kesibukan Belle bertambah dua kali lipat semenjak tinggal di kota. Faktanya berada di gubuk lebih santai daripada hidup di singgasana megah. Melebarkan selimut, Belle bergelung manja saat kepalanya sedikit pusing. Membenahi mansion versi kerajaan ternyata sangat melelahkan. Untung saja paman Marlon tidak begitu rewel, kalau tidak dia pasti akan kewalahan."Apa kau sakit?" tanya Marlon sambil memeriksa dahi Belle, dia khawatir."Nggh, tidak, aku hanya kelelahan.""Kau tampak tak bersemangat, Bell, ak