Seperti sebelum kepergiannya dari rumah Belle bangun 30 menit lebih awal. Memasak makanan kesukaan paman Marlon, serta membuatkan menu sehat untuk anaknya William. Keuletan ibu muda satu anak itu tak dapat diragukan lagi semenjak dua tahun hidup mandiri. Belle bekerja dengan sukses, aroma masakannya sampai membangunkan Marlon yang tertidur lelap karena kelelahan.
Belle berjingkat saat merasa embusan napas Marlon di tengkuknya, lantas berbalik dengan cepat. Yang ditatap hanya tersenyum miring. Mentowel hidung bangir Belle, lalu mencomot kentang krispi di atas penggorengan. Lelaki itu makan dengan santai, tak memedulikan tatapan sangar Belle. Kendati Marlon tahu jika istrinya si cerewet, paling benci melihat dirinya mengunyah sebelum basuh muka.
"Kau jorok sekali, Paman, iewh." Belle menonjok lengan kekar Marlon, lalu memindahkan kentang ke nampan.
"Bell, ayolah, biarkan aku habiskan sarapanku." Tidak menyerah, Marlon mengejar Belle. Berusaha mengambil bagiannya, tetapi terasa sulit sekali.
"Tidak, kau harus mandi dulu!" tekan Belle sambil melotot, tak ada pilihan akhirnya Marlon nurut dengan lesu.
Ketika Belle semakin lama bertambah dewasa, paman Marlon kebalikannya. Mengingat usia beliau di mana waktu memasuki pubertas kedua. Tak jarang lelaki itu bertingkah kekanakan atau melakukan hal-hal di luar kesadaran. Belle menggeleng pelan, sikap paman Marlon tak jauh beda dengan William anak mereka, sehingga dirinya tidak kesulitan menghadapi model begitu.
Hap! Belle melompat mengambil dot yang terletak di paling atas bupet. Saat pertama kali membuka mata si kecil William pasti merengek minta susu, maka sebelum itu terjadi harus sudah ada dan selalu siaga waspada. Sambil mengocoknya Belle berjalan menuju kamar William, berencana membangunkan agar mereka dapat sarapan bersama 'tuk pertama kali.
"Mom ..." panggil William yang sudah duduk di kasur, Belle pun buru-buru menghampiri, lalu memeluknya erat.
"Kau sudah bangun Sayang," sambut Belle sambil lalu membelai rambut ikal William, dan mengecup singkat.
Tidak merengek bahkan tak meminta susu, dahi Belle mengernyit menatap sang anak yang menunjuk sesuatu di belakangnya. "Candice?"
"Eh, hai." Wanita itu tersenyum lebar, bahkan saking lebarnya tindik emas yang tertancap di bibir sampai lepas.
Otomatis Belle bangkit tanpa melepas William sedetik pun, mengantisipasi setiap gerakan yang Candice ambil. Di saat itu pula paman Marlon muncul. Menyeret tangan Candice seolah tak ingin pikiran polos si kecil terganggu dengan kehadirannya, apalagi sampai mendengarkan perdebatan mereka. Yang tetap saja kedengaran sekalipun keduanya sudah berada di luar sana.
Dengan begitu Belle semakin kencang mendekap William, tak membiarkan anaknya mendengar kata-kata kasar, bentakan, bahkan sampai bantingan. Praang! Tidak dapat dibiarkan, Belle pun menggendong William ke gazebo kamar. Mengalihkan perhatian sang anak dari keributan di dalam dengan pemandangan kota pada pagi hari.
"Kau menyingkirkanku dari rumah utama demi menantu tidak berguna sepertinya, hah? Di mana pikiranmu Marlon, gadis miskin itu penyebab ibumu meninggal dunia, dia yang ..."
"Jangan bawa-bawa ibuku, kubilang jangan, atau tangan ini melukaimu."
"Kau anak paling bodoh yang pernah kulihat, tidakkah kau mengerti bahwa ibumu membenci gadis miskin itu?!"
Sialan! Di luar kendali tangan Marlon terangkat, hendak memukul Candice. Namun pekikan Belle menghentikan semuanya, menarik paksa tangannya sehingga turun dan refleks melemah.
"Tidak, jangan pukul Candice." Belle mengubah tindakan Marlon begitu cepat, dengan wajah bak malaikat.
"Wow! Lihatlah Marlon, jago sekali istri kesayanganmu cari perhatian."
Umpatan Candice akan dirinya terus terdengar, sementara Belle berusaha keras melunakkan hati panas paman Marlon sambil mengawasi William. "Tahan seluruh emosimu, anak kita akan takut padamu kalau melihat kau mengangkat tanganmu seperti tadi."
"Aku akan urus perceraian kita," kata Marlon di sela deru napasnya, penuh penekanan bahkan menusuk tajam.
"Sayangnya tidak bisa, Marlonku. Kau tak bisa menceraikanku begitu saja." Candice tertawa girang, menyibakkan rambutnya ke kanan lalu ke kiri. "Seluruh kekayaan Exietera berada di dalam genggamanku, kau tidak bisa. Jika kau ceraikan aku berarti kau gila. Menyerahkan semua harta padaku."
Oh, apalagi ini? Belle tidak mengerti kenapa Candice begitu licik, sosoknya bagaikan seekor ular mematikan. Di mana hidupnya sudah dipermudah, tetapi malah menghancurkan. Tidak tahu terima kasih bahkan menusuk.
"Paman, sudah, aku tak apa-apa. Biar saja Candice tinggal bersama kita."
"Tidak, Bell."
"Sungguh, aku tak keberatan."
Sekali lagi Candice bertingkah konyol, menyibakkan rambutnya di hadapan Belle, sebelum benar-benar berjalan. Sementara Marlon menutup matanya penuh penyesalan, Belle memberikan semangat pada lelaki itu berupa kata-kata romantis beserta kecupan kecil. Belle sangat tahu jika paman Marlon tidak menginginkan ini semua, dulu, bahkan hingga sekarang tatapannya kepada Candice tak berubah. Mereka dipersatukan tanpa ikatan perasaan. Dan Belle cukup memahami keadaan, paman Marlon enggan menceraikan Candice karena ingin menetapi janji, Gloe mengatakannya kemarin siang.
Dia anak yang berbakti pada ibu.
"Mom," racau William menarik daster Belle kenakan, pun dia berjongkok.
"Iya Sayang, ayo kita sarapan." Belle tersenyum selebar mungkin, lantas mengangkat tubuh mungil William menuju dapur diikuti oleh Marlon.
Ternyata di sana sudah ada Candice mendahului mereka. Wanita licik itu dengan santai menyantap makanan yang Belle sediakan untuk Marlon. Tapi, ya sudahlah! Belle tidak ingin ribut, jadi ikut bergabung, lagipula William juga tampak bersemangat. Mereka duduk bersebrangan. Belle menyiapkan makanan William, dan paman Marlon berdiri kaku. Tidak berminat mengambil tempat duduk.
Belle menyuapi William begitu sabar, tanpa sedikit pun terusik oleh tatapan Candice yang terus mengikuti gerak geriknya seperti hendak menerkam. Paman Marlon masih mengawasinya, jadi Candice tak mungkin berani berbuat apa-apa di hadapan beliau. Mencuci sekitar mulut William menggunakan tisu basah, Belle bangkit untuk mengambil minum paman Marlon.
"Minumlah," tawar Belle perhatian, di meja makan Candice menatap mereka dan sepertinya terbakar api cemburu.
"Menyebalkan sekali!" umpat Candice, beranjak cepat, tampak buru-buru.
Tidak Marlon maupun Belle tak ambil pusing. Keduanya hanya saling tatap untuk seperkian detik, lalu balik pada kegiatan mereka tanpa memedulikan Candice yang kelihatan murka. Aaaa! Mendengar teriakkan itu sontak Belle berlari menghampiri William, lantas menggendongnya sebelum menangis. Kemudian mengekori paman Marlon yang mencari dari mana suara itu. Di mana tampak Candice berdiri tegang dengan kulit wajah sepucat mayat, dia menunjuk ke arah lemari ketakutan.
Dari balik lemari Gloe muncul sekilas, seperti bayangan di film horror, lalu menghilang begitu cepat. Tidak jauh beda dari Candice, Marlon memucat. Mereka amat syok melihat bayangan Gloe yang muncul bagaikan hantu.
"Belle, a-pa kau melihat itu?" Suara Candice bergetar, Belle menggeleng cepat, lalu menyikut paman Marlon.
"Tidak, aku juga tak melihat apapun." Marlon menangkap kode dari Belle, mengakali pengelihatannya barusan.
Sejurus kemudian Candice pucat pasi, napasnya terengah hebat, tidak lama jatuh ke lantai karena mengira telah melihat hantu nyonya Gloe. Pingsan. Dalam hitungan detik wanita tua itu kembali muncul dengan penampilan jauh lebih baik, menerima dekapan Marlon, dan mereka menangis haru. Sesaat pelukan terlepas Gloe melirik Belle, juga William yang sangat lucu.
Daritadi William hanya melongo lucu menyaksikan semuanya. Tidak rewel sama sekali seakan dia mendukung. Gloe mendekati Belle, mengulas senyum seraya mengusap rambutnya, lalu membelai lembut pipi William."Kau mirip sekali dengan ayahmu ini, semoga prilakunya tidak ya. Maafkan nenek yang sempat tak suka padamu." Gloe mengambil alih gendongan Belle, menimang William selayaknya nenek yang telah mendambakan lama cucu.
Cucu laki-laki.
"Belle, sekali lagi maafin ibu," katanya penuh penyesalan, Belle mengangguk sambil tersenyum haru. Berbahagia.
"Dan Marlon, mulai detik ini ibu merestui hubungan kalian."
Sejujurnya Belle tak pernah bermimpi setinggi langit, akan tetapi mimpi itu sendiri yang mengejar. Membawanya seperti berada di dalam kisah seorang putri raja berparas cantik jelita. Kini, gaun bersurai sutra membalut tubuh Belle hingga menjulur ke lantai. Elok sekali. Jika ada kata yang lebih bagus dari sempurna, dia dapat menerima. Tepat di hari pernikahan mereka ke tiga tahun, Marlon dan Belle duduk berdampingan. Merayakan pernikahan yang ketiga tahun sebagai bentuk doa restu dari nyonya Gloe.Di depan seluruh tamu paman Marlon mencium bibir Belle, untuk ke sekian kali terhitung sejak pertemuan awal mereka yang secara tidak disengaja. Marlon menginginkan gadis kecil itu. Sedikit berfantasi nakal dengan Belle sehingga tercetus ide melepas status lajangnya dan melangsungkan pernikahan. Dari pernikahan, keduanya menerima hadiah begitu beharga yaitu William yang menjadi bukti cinta mereka di atas suci."Aku masih mencintaimu, selalu ingin mencintai dirimu. Rasa cint
Terhitung sejak perayaan tiga tahun pernikahan mereka, paman Marlon semakin mengerahkan seluruh cintanya pada Belle dan William. Sama sekali tidak perhitungan beliau selalu memberi apapun yang William minta. Kadang Belle merasa lelaki itu berlebihan. Memanjakan anak boleh saja, tetapi jangan keterluan. Belle takut prilaku paman Marlon dapat merusak otak anaknya sehingga menjadi bodoh.Dug!"Aaw!" Refleks Belle memegang jidat lebarnya, bersamaan dengan Marlon datang untuk memastikan."Apa kau baik-baik saja?" tanyanya sambil mengusap beberapa kali, air muka beliau tampak pucat. Padahal hanya kepentok bola William.Entah kenapa, melihat paman Marlon seperti ini mengingatkan Belle pada dokter Liam yang sangat perhatian. Aneh ya? Batin Belle meringis, lantas menggeleng pelan dan tersenyum.Marlon menghela Belle menuju bangku taman, memberikan minum sambil memerhatikan William yang bermain bola sendirian. Firasatnya mengatakan jika Belle tak baik-baik saja t
"Ya, aku ..." Suara Belle tercekat, sulit menerangkan yang sebenarnya pada paman Marlon, dia sungguh takut."Aku berjanji tidak akan marah. Aku sangat mengerti Bell, jujurlah." Mata paman Marlon menatapnya lembut, sabar menantikan sebuah jawaban."Ya, kupikir aku juga memiliki rasa pada dokter Liam. Maafkan aku."Sejumput air mata jatuh membasahi kedua pipi Belle, tak seharusnya dia mempunyai perasaan aneh tersebut. Apalagi mencintai dua lelaki dalam satu hati, rasanya sangatlah kurang waras mengingat statusnya sendiri. Masih menjadi istri sah Marlon, terlebih Belle sangat mencintai lelaki tua itu. Entah perasaan macam apa ini? Di mana dirinya merasa seperti wanita murahan yang mencintai dua lelaki.Untuk beberapa saat Marlon terdiam, diikuti dengan tarikan di kedua sudut bibirnya. Senyuman terpaksa. Kemudian lelaki itu membelai halus kepala Belle, menyelipkan anak rambutnya, lantas berbalik menyembunyikan air mata."Paman, aku minta maaf." Lagi, Belle
Hampir empat jam Marlon menunggu Belle siuman, rupanya pukulan keras tadi membuat pipi gadis itu membiru. Segala cara sudah dia lakukan selama Belle pingsan. Dengan mengkompres air dingin berikut embusan yang dia berikan agar rasa sakitnya berkurang. Liam dan Rose? Kedua pasangan itu sudah Marlon usir, tidak membiarkan dokter Liam menyentuh wajah Belle."Kau tak seharusnya melindungi Liam sehingga dirimu yang terkena, Bell." Dengan pelan Marlon mengusap dahi Belle, menyeka butiran peluh.Hening.Masih tidak ada jawaban.Faktanya Belle masih belum sadarkan diri entah sampai kapan, Marlon lelah menanti yang tidak pasti. Mengambil napas Marlon pun bangkit saat ingat William, putranya juga sedang sakit. Meski sama-sama tidur, sebagai ayah dia harus bolak balik mengecek untuk memastikan bahwa semuanya aman.Ternyata bocah dua tahun itu sudah bangun, dia duduk di ujung ranjang sambil memandang robot pemberian dokter Liam. Saat Marlon berdiri di had
Tepat satu bulan kepergian lelaki itu, perlahan Belle mulai bangkit dengan kedua kaki yang berjalan kokoh dari satu gedung ke lain tempat. Berusaha mencari keberadaan paman Marlon. Saat kerongkongannya terasa kering, Belle memutuskan berhenti sejenak untuk membeli minum di salah satu warung, dan duduk di dekat trotoar. Tiba-tiba sebuah mobil mendekat, di situ Belle langsung bangkit menepuk rok belakangnya berulang kali. Dari dalam suara dokter Liam menyapa."Selamat siang Nona, apa kau butuh tumpangan ... aaa Belle?" Tidak lama dokter Liam keluar dari mobil, sedang Belle hanya bisa tersenyum kikuk."Eum, siang," jawabnya ramah, sedikit membungkuk seperti orang asing."Kenapa kau bisa di sini, Bell? Kupikir kalian pindah. Aku sudah mencarimu, Marlon, dan Rose di mana-mana.""Ceritanya panjang.""Kita harus bicara, ikut denganku."Tidak menolak, Belle mengikuti Liam masuk ke dalam mobil, hanya butuh beberapa menit untuk mencari kafe yang menye
Sesuai keinginan Belle, gadis itu tidak mengeluh sedikit pun meski tinggal di gubuk derita yang Marlon persiapkan. Jauh dari kota. Kenyataannya Marlon menolak bantuan dokter Liam. Cukup sudah keresahan yang sempat datang nyaris membuat hidupnya mati rasa. Kendati dia tak ingin lagi melibatkan siapa saja terutama orang lain dalam hal ini, rasanya jera bergantung pada Exietera sebagian besar milik Gloe. Di mana Marlon harus manut di pimpin perintah sang ibu, walau rasanya agak melenceng.Seperti permintaannya agar menikahi Candice si kepala badak, walau beliau telah menyesali semua, itu tidak akan pernah mengembalikan kebahagiaan. Momen indah yang seharusnya tidak berantakan seperti sekarang. Tapi, ah sudahlah! Mungkin, rencana Marlon masih terlalu rendah jika dibanding dengan takdir Tuhan di atas gunung. Kesalahan lalu bukan masalah besar, selagi bisa diperbaiki kenapa tidak?Lagi pula Belle tak banyak menuntut, William juga sudah menerima, di sini dia hanya tinggal men
Sementara Marlon sibuk membongkar isi lemari Belle hanya diam mengawas, tidak tertarik sedikit pun mencari gaun terbaik untuk hasil maksimal di dalam pemotretan keluarga besar Exietera. Di saat Marlon sudah menemukan kemeja pilihannya, gadis itu tetap masa bodoh. Ah, entahlah! Rasanya Belle tidak minat melakukan apa-apa. Panggilan William saja sejak tadi dia abaikan, anaknya itu menjadi lebih cerewet setelah pindah.Apalagi mereka tidak mempekerjakan pembantu, kesibukan Belle bertambah dua kali lipat semenjak tinggal di kota. Faktanya berada di gubuk lebih santai daripada hidup di singgasana megah. Melebarkan selimut, Belle bergelung manja saat kepalanya sedikit pusing. Membenahi mansion versi kerajaan ternyata sangat melelahkan. Untung saja paman Marlon tidak begitu rewel, kalau tidak dia pasti akan kewalahan."Apa kau sakit?" tanya Marlon sambil memeriksa dahi Belle, dia khawatir."Nggh, tidak, aku hanya kelelahan.""Kau tampak tak bersemangat, Bell, ak
"Baiklah, kita persembahkan bintang tamu panduan suara dari anak didik Treas yang berbakat pada tahun ini," kata si pembawa acara dengan ceria, ke sepuluh anak di depan pun mulai bernyanyi serempak.Saat sebagian besar orang mengambil momen dengan merekam, Belle hanya melongo, terlalu bangga pada William yang begitu cepat tumbuh. Semuanya bernyanyi dengan tepat, bertemakan persatuan dalam sebuah perbedaan. Yakni mengingatkan pada kita semua betapa pentingnya perdamaian agar saling menghargai, memahami, serta menerima segala yang bertentangan."Seperti kisah cinta seorang paman tua dengan gadis seumur jagung, mereka memang berbeda, namun umur tidak membuat keduanya untuk berpisah."Paman ...Spontan Belle menekap mulut saat menangkap paman Marlon datang membawa sebuket bunga, dia tidak pernah menduga rupanya lelaki itu telah merencanakan sesuatu. Air mata Belle meruah tumpah. Terharu. Seaaat anak-anak berhenti bernyanyi, semua orang sontak bertepuk tangan