Share

Bingung

"Sel-sel itu sudah menyebar ke kelenjar getah bening. Bahkan, ke lapisan otot pada dinding lambung. Kita harus melakukan pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui bisa atau tidaknya dilakukan operasi. Kita hanya akan menyisakan lambung yang sehat. Kamu harus cepat, Erland, jika tidak ingin terjadi sesuatu yang lebih buruk."

Erland terus memikirkan ucapan Dokter Fabian di rumah sakit tempo hari. Sudah masuk pada tahap serius. Tak bergejala atau ... Erland saja yang selama ini tak terlalu ambil pusing dengan kondisinya?

Mata sendu lelaki itu menatap nanar sosok mungil Reka yang kini ada dalam gendongannya. Jangankan menjadi ayah yang baik, melihat Reka tumbuh dewasa saja rasanya sangat tidak mungkin mengingat kondisinya sekarang. Dikecupnya lembut dahi bayi mungilnya kemudian bertutur lirih, "Reka, kalau Papa gak ada, kamu jaga Mama sama adik, ya? Maaf karena Papa belum bisa jadi Papa yang baik, tapi Papa sayang kok sama Reka. Sayang banget."

Sesak. Erland benci ketika orang yang dia sayang meninggalkannya, bahkan ia sempat membuat permohonan agar Tuhan memanggilnya lebih dulu sebelum Tuhan mengambil orang-orang yang disayanginya. Kini, ketika Tuhan mendengar dan nyaris mengabulkan permintaannya, justru muncul perasan takut juga tak rela. Erland belum siap pergi sekarang.

Renata terdiam di tempatnya. Sejak pulang hari itu, ia melihat dengan jelas keanehan-keanehan yang ditunjukkan Erland. Erland jadi lebih murung, tak tampak lagi sinar semangatnya.

Beberapa kali Renata juga memergoki Erland shalat malam, berdoa, kemudian menciumi dan memeluk putranya seolah tersirat rasa takut kehilangan yang teramat sangat. Perasaannya campur aduk, bingung, sedih, entah apa yang membuat suaminya seperti itu. Renata belum berani bertanya, ia ingin Erland yang lebih dulu terbuka padanya.

"Lan," panggilnya, "kenapa belum tidur? Reka kebangun?"

Erland menatap istrinya lekat-lekat, tersenyum kemudian mengangguk. Senyum itu malah terlihat aneh di mata Renata. Ada lengkungan yang meski kecil tergurat jelas satu kesedihan.

"Reka biar aku yang tidurin. Kamu istirahat lagi aja, pasti capek kerja seharian."

"Kamu aja yang tidur, gak baik ibu hamil begadang."

Renata berjalan lebih dekat, mengikis jarak antara dia dan suaminya. "Kalau gitu kita tidur sama-sama. Calon bayi kita juga mau tidur sama Papanya."

Erland mengangguk lagi. Setelah membaringkan Reka di box bayi, ia langsung berbaring di samping istrinya yang sudah lebih dulu naik ke atas tempat tidur. Tangannya bergerak mengusap perut Renata, sesekali menciumnya. Papa gak tahu, apa Papa sempat melihat kamu lahir? Yang jelas kamu harus tahu kalau Papa sayang sama kamu, kata Erland dalam hati. Lelaki itu membenamkan wajahnya dengan memeluk erat tubuh sang istri.

Renata menikmati dekapan hangat suaminya, meskipun jujur ia masih bingung dengan sikap Erland.

***

Hampir jam tiga dini hari, Erland menatap kosong televisi yang menyala di hadapannya. Adu strategi antara kedua coach tidak lagi menarik perhatiannya, sekalipun klub bola kesayangannya tengah bertanding. Rasa sakit di perutnya memaksa ia terjaga sampai akhirnya tidak bisa tidur kembali. Bahkan ketika Cristiano Ronaldo mencetak hattrick, Erland masih tak bergerak.

Sesekali matanya terpejam, tangannya mulai menyentuh area yang dirasa sakit. Dokter Fabian memang memberikan obat. Obat yang diindikasikan untuk meredakan rasa sakit bukan untuk menyembuhkan, tapi setidaknya itu sedikit membantu.

"Loh, Aa ngapain?"

Erland terperanjat dan segera membuka mata. Ia pura-pura antusias pada pertandingan antara Real madrid vs Atletico madrid di layar kaca. "Bunda ngapain bangun malam-malam. Aku lagi nonton bola."

"Tumben gak sambil ngemil? Bunda ambilin, ya."

Erland hanya mengangguk, walaupun sebenarnya ia tidak berniat memasukkan apa pun ke dalam perutnya.

Elena kembali setelah mengambil camilan. Perempuan itu duduk di samping Erland mengamati putranya seksama. "Bunda perhatiin kok Aa kurusan, ya, sekarang? Sakit apa gimana?"

"Loh emang iya, ya, Bun? Perasaan Bunda aja kali. Aku gak pa-pa kok."

Elena menggeleng. "Enggak. Nih lihat, pipinya tirus banget," tuturnya sembari membingkai wajah si sulung.

"Capek kali, ya, Bun. Lagi banyak kerjaan belakangan ini."

Perempuan itu langsung setuju. Akhir-akhir ini Erland memang begitu sibuk dengan pekerjaannya. Tak jarang, ia melihat Erland terkantuk-kantuk tatkala sedang merampungkan pekerjaannya. "A, kok badannya agak panas sih?" tanyanya ketika tanpa sengaja Elena menyentuh lengan putranya.

"Tangan Bunda yang dingin, jadi aku berasa panas, padahal mah enggak," sahut Erland sembari menjatuhkan kepalanya ke pangkuan sang bunda.

"Udah mau punya anak dua, masih aja manja kamu, A."

Erland menyunggingkan seulas senyum, lantas berkata, "Mau rambut aku udah putih sekalipun, aku tetap anak Bunda 'kan? Jadi, biarin aku tetap kayak gini."

"Iya, Sayang. Aa sekarang tidur. Udah hampir pagi loh. Nanti sakit."

Erland mengangguk patuh. Ia kembali memaksa matanya terpejam berharap semoga sakitnya tak datang lagi dan lagi.

***

Pagi harinya rumah dibuat ribut dengan tangisan Reka yang tengah dimandikan. Erland tertawa menyaksikan putra kecilnya meronta-ronta dipangkuan Renata. 

Sementara di rumah yang sama Reina memukul-mukul piring sembari berteriak memanggil ayah, bunda, kakak, serta kakak iparnya. Ia sudah sangat lapar. "Ayah, Bunda, Aa, Teteh buruan lapar."

Elena datang dengan bibir mengerucut sambil sesekali mengomel. "Makanya jangan ada acara ngambek. Gak mau makan segala tadi malam. Jadi, kelabakan sendiri 'kan?"

Terang saja Elena kesal. Hanya karena sang Arlan tidak mau membelikan album keluaran terbaru dari idola kesayangannya, Reina sampai mogok makan. Benar-benar kekanakan. Tidak bisa dipungkiri kalau ia pun dulu sama seperti Reina sekarang, tetapi tetap saja tidak separah Reina.

Tak berselang lama, Erland, Arlan dan Renata muncul dari arah yang berlawanan.

"Pagi semua. Ayo makan!" Reina berseru semangat.

Arlan mengusap puncak kepala putrinya. Reina benar-benar sangat menggemaskan ketika sedang bersemangat seperti itu. "Jangan lupa berdoa, Rei."

"Udah dong, Yah," sahut Reina. Gadis itu melirik kakak serta kakak iparnya. "Aa makan yang banyak, ya, biar kuat. Kuat nenghadapi cobaan hidup," celetuknya sembari terkekeh.

Erland geleng-geleng. Adiknya memang super jahil. Ia jadi menyesal memberitahu Reina perihal masalahnya, takut-takut jalau gadis itu akan bermulut ember.

***

Alvin menggandeng putri kecilnya yang sudah berseragam rapi, lengkap dengan tas doraemon  di punggungnya. Bocah kecil bermata sipit itu hendak diantar ke sekolah. Meski baru berusia tiga tahun hampir menginjak empat tahun, tapi Hana sudah memperkenalkan putri satu-satunya pada dunia pendidikan.

"Alana udah siap?"

Alana mengangguk.

Alvin menghampiri istri tercintanya. "Alana udah siap. Kamu siap-siap gih."

Hana mengangguk. "Pas aku antar Alana, ingat janji kamu?"

"Iya, aku bakal cari waktu buat ketemu sama Haikal. Erland dan Haikal sama-sama temen aku, aku bakal ngelakuin sesuatu yang sebisa mungkin gak nyakitin dua-duanya."

Hana tersenyum. "Aku kangen kamu yang seperti ini. Kamu yang sangat peduli sama sahabat kamu."

Alvin memiringkan kepalanya, menghadiahkan kecupan singkat di bibir istrinya. "Kangen to the point aja, gak pake muter dulu sana-sini. Marahan dulu, baru bilang kangen."

Semburat merah di pipi Hana semakin kentara. Alvin memang selalu bisa membuat hatinya melunak. Entah itu karena bahagia berlebihan atau justru karena kesal berlebihan pula.

"Mom, Dad, kiss?" tanpa sadar Alana sudah berdiri tak jauh dari keduanya yang secara otomatis melihat adegan dewasa yang baru saja terjadi. Mata sipitnya mengerjap beberapa kali sembari menatap bingung kedua orang tuanya.

Hana langsung menginjak kuat kaki suaminya karena kesal. Bagaimana bisa Alvin berbuat seceroboh itu? Meski jujur perlakuannya membuat Hana tersipu tapi tetap saja itu tidak layak disaksikan oleh anak berusia tiga tahun.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status