Ada kelegaan yang memenuhi dada Amara setelah berbagi satu lagi rahasia yang disimpannya pada Merry. Ibunya tampak sangat terkejut dan sempat kehilangan kata-kata selama beberapa saat.
“Kenapa kamu baru bilang sekarang?” ulang Merry, tak habis pikir.
“Alasannya ya kayak kubilang tadi, Ma,” sahut Amara. “Aku sendiri harus bergulat dengan masalahku. Untuk sementara nggak mau peduli sama omongan yang nggak penting walau cukup bikin terpukul juga. Aku harus punya skala prioritas.”
“Kalau Amara Mama tau sejak awal soal Ayu, pasti sejak lama kita akan punya asisten rumah tangga yang lain,” kata Merry. Perempuan itu beranjak dari tepi ranjang. Dia emngelus pundak Amara. “Lain kali, apa pun yang terjadi, kamu harus cerita sama Mama.”
Amara mengangguk tanpa bicara apa pun.
“Sekarang, Mama mau membereskan beberapa hal serius. Pertama, Mama harus menghubungi keluarga Cello. Kedua, Mama juga aka
Tatkala Brisha dan Sophie mendengarkan cerita Amara dengan ekspresi serupa : kaget. Sophie bahkan melongo entah berapa lama hingga Amara menggerakkan tangan di depan wajah gadis itu. Barulah kemudian Sophie berkedip dan mulai mengoceh.“Cowok bajingan itu berani menampakkan dirinya di kampus? Sengaja mendatangi kamu di tempat parkir? Betul-betul cari mati, ya? Pengin banget kutonjok mukanya sampai babak belur dan nggak bisa dikenali sama keluarganya lagi. Dasar setan!”Tidak ada yang menegur Sophie karena kata-katanya yang tidak sopan.“Ya,” balas Amara dengan wajah lelah. “Untungnya Ji Hwan tin ak bertanya apa-apa. Kurasa, dia mulai menduga kalau aku sudah gila.” Mereka bertiga duduk di bangku beton yang berada di dekat musala. Brisha masih punya satu mata kuliah lagi, sementara Amara dan Sophie sudah selesai. Namun Amara memanfaatkan waktu untuk berbagi tentang apa yang dialaminya pada Brisha dan Sophie. Dia sengaja tak memb
“Ini mata kuliah yang untuk sekadar lulus pun sangat sulit. Tahun depan kalian akan merasakannya sendiri,” sergah Brisha, setengah menyumpah. “Hati-hati menyetirnya, Mara! Kalau melihat ada si Monster, tabrak aja.” Gadis itu melambai setelah menggumamkan peringatannya. Amara dan Sophie berjalan ke arah yang berbeda.“Sebenarnya, aku pengin banget ngalamin satu masa, saat kita bisa bergosip tentang cowok-cowok keren,” Sophie bicara lagi. Makin lama Amara kian kebal dengan celotehan gadis itu yang kadang terkesan seenaknya. Sophie punya cara aneh untuk menghiburnya. Dan Amara sudah lama berhenti mengajukan protes atau keberatan.“Nanti, kalau aku udah siap mental,” cetus Amara dengan suara datar. “Yang jelas, bukan dalam waktu dekat. Satu-satunya....”Sophie memandang ke arah Amara dengan kening berlipat saat gadis itu tidak melanjutkan kalimatnya. Tatapan mata Amara tertuju ke satu titik, dan wajahnya be
Wajah Amara terasa memanas karena ucapan Sophie itu. “Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa. Kamu kira aku tidak malu kalau ingat bagaimana responsku tiap kali berada di dekat Pak Reuben? Seharusnya aku bisa lebih sopan, kan?” komentarnya tanpa daya.Sophie memeluk lengan Amara dengan gaya akrab. Gadis itu tertawa kecil. “Tapi susah juga sih, Mara. Kesopanan itu kadang membelenggu dan membuat seseorang tidak nyaman. Ah, peduli amat! Yang penting kamu bahagia, tidak merugikan orang lain, dan nggak melanggar hukum. Jadi, santai aja.”“Andai aku bisa bahagia dengan bersikap ketus, alangkah indahnya hidup ini,” keluh Amara. “Tapi, yang terjadi pasti malah dibenci dan jadi sampah masyarakat.”Mereka sudah tiba di pelataran parkir. Amara bisa merasakan ketegangan mengambil alih tubuhnya tanpa bisa dikendalikan. Matanya bergerak cepat, memindai setiap figur yang ada di sana. Jantung Amara berdegum-degum, karena cemas
Amara mulai optimis bahwa dia akan bisa bersikap normal seperti dirinya yang dulu. Mungkin tak benar-benar normal tapi minimal mendekati. Dia sangat ingin bisa mengobrol dengan lawan jenis dengan santai tanpa dibanjiri keringat dingin atau jari-jari yang gemetar. Juga tanpa harus berlama-lama mengisap lolipop demi mengalihkan sebagian konsentrasi.Amara tahu bahwa dirinya juga harus pelan-pelan belajar untuk memandang bahwa tak semua laki-laki akan menjahatinya. Itu hal yang sulit meski gadis itu paham dengan teorinya. Bahwa tak boleh main pukul rata, satu kejahatan dianggap mewakili suatu komunitas.“Ji Hwan itu baik, ya?” komentar Sophie lagi. “Eh, aku nggak punya maksud apa-apa dengan komenku tadi. Aku cuma mau bilang, dia nggak keberatan bantuin kamu. Itu poin plus, kan? Apalagi kamu sendiri bilang, Ji Hwan nggak banyak tanya.”“He-eh. Walau kemarin itu tingkahku mirip orang gila, Ji Hwan tetap tenang dan nggak ketakutan,”
“Mara....”Lamunan Amara kocar-kacir karena suara yang menyebut nama kesayangannya itu. Amara menghentikan langkah dan baru menyadari kalau dia sedang berdiri berhadap-hadapan dengan si jangkung Ji Hwan. Cowok itu menghadiahinya seulas senyum yang masuk kategori menawan.“Halo, Ji Hwan,” balas Amara, berusaha santai. Tangan kanannya nyaris merogoh tas untuk mencari lolipop. Namun entah kenapa Amara tidak ingin Ji Hwan makin memandangnya sebagai gadis aneh. Sudah terlalu banyak keganjilan yang dilakukannya di depan cowok itu.“Kamu kuliah jam berapa?” tanya Ji Hwan lembut. Pertanyaan itu membuat Amara melirik ke arah jam tangannya.“Kurang lebih dua puluh menit lagi. Ini aku mau ke kantin dulu, sudah ditunggu Sophie. Dia baru datang karena memang tak ada kuliah pagi,” urai Amara.“Oh. Nanti malam kamu ada acara, Mara?” tanya Ji Hwan blak-blakan.“Nanti malam?” ulang
Amara tidak sanggup bicara hingga akhirnya dia memilih menganggukkan kepala saja. Gadis itu tidak mau mengambil risiko Ji Hwan mendengar suaranya yang tercekik. Pita suara Amara tampaknya selalu mengalami masalah serius tiap kali berdekatan dengan kaum berhormon testosteron. Terutama Ji Hwan.Sepanjang siang, Amara tidak benar-benar menyadari apa yang terjadi. Entah berapa kali Sophie menyikutnya karena tenggelam dalam lamunan. Kali ini Amara bahkan tidak mengajukan protes meski sikutan Sophie yang membuatnya meringis. Otaknya terlalu penuh oleh gema ajakan Ji Hwan tadi.“Kamu kenapa? Dari tadi melamun melulu,” bisik Sophie saat kuliah akhirnya berakhir. Amara membereskan buku-bukunya tanpa menoleh.“Nggak ada apa-apa,” jawabnya.“Apa kamu ketemu sama si Monster itu lagi?” tanya Sophie, terdengar cemas.“Nggak, kok! Seharian ini aku malah nggak mikirin dia. Tadi pun pas datang ke kampus, agak lupa celinguka
Ji Hwan menatap pintu restoran yang terbuat dari kaca dan memungkinkannya leluasa memandang ke luar. Amara sudah telat nyaris dua puluh menit. Dia sama sekali tidak tahu apakah terlambat merupakan kebiasaan Amara. Menyabarkan diri, Ji Hwan tetap bertahan di tempat duduknya.Ada keinginan untuk menghubungi Amara via telepon. Atau berkirim pesan lewat aplikasi WhatsApp. Ji Hwan menyimpan nomor ponsel gadis itu. Akan tetapi, dia tahu bahwa Amara tak sama dengan gadis-gadis lain. Jika dia salah langkah, bisa-bisa Amara malah makin menjauh dan membencinya.Ji Hwan tidak tahu apa yang sudah dialami Amara seputar lawan jenis. Namun dia bisa menebak bahwa gadis itu pernah melewati pengalaman traumatis yang membuatnya begitu kaku dan waspada saat berada di depan kaum adam. Seharusnya, dia menjauh dari gadis itu. Akan tetapi, perasaannya tak bisa dibohongi atau dikendalikan. Dia sangat menyukai Amara dan bertekad tak akan mundur sebelum berusaha mati-matian.“Kamu a
“Ah, Mara, kenapa nggak bilang terus terang kalau kamu tak tertarik untuk datang?” keluh Ji Hwan dalam hati.Dada Ji Hwan terasa ngilu karena fakta itu. Kenapa dia tidak bisa menjadi cowok istimewa di mata Amara? Sejak awal Ji Hwan sudah tahu kalau Amara memiliki persoalan serius sehubungan dengan lawan jenis. Dia masih belum bisa lupa reaksi gadis itu tatkala mereka bertemu di kampus pertama kali. Reaksi yang menguakkan banyak fakta.Namun pada akhirnya yang salah adalah Ji Hwan. Sudah tahu dia berhadapan dengan gadis yang tidak mudah bahkan sekadar untuk diajak bicara, tapi masih saja nekat menyukai Amara. Dan entah keberanian dari mana yang membuatnya mengajak Amara untuk merayakan hari bersejarahnya kali ini.Ji Hwan meraih ponsel di sakunya dan nyaris memencet panggilan cepat nomor dua. Namun dia buru-buru membatalkan niat itu sekuat tenaga. Amara bukan orang yang mudah diprediksi, jauh lebih rumit dibanding rumus kimia paling kompleks. Ji Hwan