Davian lagi-lagi menepuk pundakku, membuyarkan lamunanku."Aku harus pergi, kamu bisa kan, menanganinya sendiri?" tanyanya lirih.Aku mengangguk. Davian tersenyum seraya mengangguk pada Susan, dan kemudian meninggalkan kami berdua saja di dalam galeri. Susan terlihat membelai lagi gaun yang dipilihnya."Aku boleh mencoba gaunnya?" tanyanya sambil tersenyum menatapku."Tentu saja," jawabku, sambil pelan-pelan melepas gaun itu dari patung, lalu memberikannya padanya.Aku mengantarnya ke depan ruang ganti, dan menunggunya untuk mencoba gaun itu. Setelah beberapa lama, Susan keluar dengan begitu anggunnya. Dalam hati aku mengakui kecantikannya. Wajahnya yang hampir seperti orang Korea sangat cocok dengan gaun merah yang saat ini dia kenakan.Susan berdiri di depan
"Apa-apaan ini, Buk?"Aku tak bisa menahan amarahku saat kulihat vas bunga yang tadinya ada di atas meja hancur berkeping-keping di lantai , tepat di depan orang tuaku. Dua orang berwajah sangar tampak sedang menyudutkan mereka. Muka Bu Ratno merah padam, terlihat sekali dia sedang marah."Ibu mertuamu sudah gila, Wawa! Datang maksa-maksa kami menandatangani surat. Kami menolak, dia malah kesetanan! Pakai acara mengancam, lagi!" ucap Ibuk begitu melihatku."Ibumu yang kurang ajar!" sahut Ibu mertuaku. "Berani sekali dia menuduhku menipu!"Aku membuang napas, lalu menatap Ibu mertuaku."Silahkan pulang, Buk. Kami tidak akan menandatangani apapun! Kami tidak takut pada ancaman kalian!" ucapku sambil menunjuk ke arah pintu.Ibu mertuaku menatap gusar padaku, lalu
Aku menatap Mas Indra dan Ibunya seraya menyunggingkan senyum miris."Kenapa, Mas? Mas tidak mengenaliku?" tanyaku dingin. "Mas kaget karena yang Pak Tomo kenalkan pada kalian waktu itu sebenarnya adalah aku?"Mas Indra tidak bisa berkata apa-apa. Bibirnya terlihat bergetar, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tak bisa dia ucapkan. Begitupun Bu Ratno, hinaan yang biasanya begitu ringan keluar dari mulutnya kini bersembunyi entah kemana. Dia masih melongo sambil menatapku.Aku mengalihkan pandangan pada Bapak dan Ibuk."Ayo Pak, Buk, kita masuk," ucapku pada mereka. "Pak Tomo sudah menunggu kita sebagai tamu VIP."Aku mengajak Bik Lastri dan kedua orang tuaku masuk, meninggalkan Mas Indra dan Ibunya yang masih berdiri mematung di tempatnya."Makanya, Nyah, j
"Apa? Menikah?" Mata Susan terbelalak, lalu menatap Mas Indra. "Kau bohong padaku, Mas?" tanyanya kemudian.Mas Indra masih membisu, bahkan tak bergeming sedikitpun. Dasar pengecut kamu, Mas. Batinku."Jawab, Mas!" Susan menggoncang lengan Mas Indra.Mas Indra menatap Susan, lalu membuka mulutnya, mungkin ingin memberinya penjelasan. Tapi belum sempat mengatakan apapun, tiba-tiba Risma datang tergopoh sambil memanggil kakaknya."Kak, Kakak!" Risma tampak bergegas mendekati kami, lalu menarik tangan Kakaknya."Mama harus dibawa ke rumah sakit, Kak. Mama terkena strok ringan," ucap Risma pada Kakaknya.Mas Indra bergegas berlari menuju ruang kesehatan. Risma menatap tajam padaku sebelum pergi."Ini semua gara-gara kamu,
Davian menarik tanganku, memaksaku duduk di kursi tunggu yang ada di setiap sudut koridor rumah sakit. Dia menenteng surat yang dipegangnya."Surat perceraian antara kamu dan kakaknya Risma?" tanyanya. "Jadi kamu bukan ART di rumah itu? Tapi istrinya Kak Indra?"Aku belum mampu menjawab pertanyaan Davian, hanya bisa tertunduk diam."Kenapa kamu menyembunyikan semua ini Najwa? Kenapa kamu mengaku sebagai ART di rumah itu?"Aku membuang napas berat, lalu menatap Davian."Aku tidak punya pilihan, Davi. Aku hanya ingin menjaga nama baik keluarga suamiku," jawabku."Menjaga nama baik? Dengan mengaku sebagai ART? Kamu pasti sakit, Wa," ucap Davian penuh emosi.Aku tersenyum miris."Mau bagaima
"Kamu sadar apa yang baru saja kamu katakan, Davi?" tanyaku dengan suara bergetar. "Ini tidak benar."Davian berjalan mendekatiku. Aku mundur selangkah saat dia benar-benar sudah dekat. Davian menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan."Aku tahu bukan saat yang tepat untuk mengungkapkan cinta, tapi aku tidak bisa menahannya lagi," ucapnya. "Kupikir perasaanku dulu hanya sekedar cinta monyet, tapi ternyata perasaan itu terus menguat setiap kita bertemu."Aku terdiam. Aku tak tahu harus berkata apa. Dulu aku memang mengagumi Davian, karena dia sangat populer di sekolah. Bukan karena wajah dan kekayaannya, tapi karena dia sangat loyal pada siapapun, meskipun dia anak dari kalangan elit.Sedangkan aku, hanya gadis cupu kutu buku yang jauh dari kata modis. Sangat tidak pantas jika dibandingkan dengan gadis lainnya. Siapa yang menya
"Aku tidak melakukannya, Susan," ucapku, masih berusaha meyakinkan Susan.Susan mendorong tubuhku, dan lari dari acaranya sendiri. Mas Indra mengejarnya. Aku ingin ikut mengejarnya, tapi Bu Ratno menarik tanganku."Sudah, cukup, Najwa! Jangan pernah ganggu rumah tangga Indra lagi! Sekali wanita kampung, tetap saja wanita kampung! Cara yang kau gunakan ini juga kampungan!" makinya."Sudah, Ma. Ayo kita kejar Kak Susan," ucap Risma sambil melirikku tajam.Risma menarik tangan ibunya dan pergi meninggalkanku. Aku menatap Pak Tomo dan Davian yang ada di sana. Pak Tomo menggelengkan kepalanya, wajahnya tampak sangat kecewa. Dia akhirnya ikut pergi.Hanya tinggal Davian yang masih berdiri di depanku, masih menatapku."Apa benar kau tidak melakukan ini?" tanyanya.
Tante Farah dan Ibuk masih terpaku dan saling bertatapan, membuatku semakin bingung."Kalian saling kenal?" aku mengulangi ucapanku.Tante Farah beralih menatapku. Kedua netranya tampak berkaca-kaca."Jadi, Najwa ini puterimu?" tanyanya pada Ibuk, jelas sekali suaranya terdengar bergetar.Ibuk tak langsung menjawab, dia hanya terlihat menelan ludah."Masuklah, kita bicara di dalam," ucapnya kemudian, sambil mempersilahkan kami masuk.Davian menuntun Tante Farah masuk dan membantunya duduk. Aku duduk di samping Ibuk, masih bertanya-tanya ada hubungan apakah di antara mereka?"Kamu bagaimana kabarnya, Mirna? Sudah sekian tahun kita tidak pernah bertemu," ucap Tante Farah pada Ibuk.Ibuk ta