Mama langsung berdiri mendengar tawaran Pak Tomo untukku.
"Tidak mungkin Mbak Wawa jadi model, Om! Lihat saja penampilannya! Dari sudut manapun dia gak cocok!" protesnya, terlihat amat kesal.
"Benar, Pak Tomo. Lagi pula dia cuma ART, sama sekali tidak cocok untuk model," ucap Ibu mertuaku, masih mencoba menghilangkan keterkejutannya. "Gadis secantik Risma saja Bapak tolak, kenapa memilih perempuan seperti ini untuk jadi model?"
Pak Tomo tersenyum.
"Saya memilih dia bukannya tanpa alasan. Saya ingin meluncurkan produk yang sesuai untuk semua kalangan, termasuk menengah ke bawah, dan Mbak Wawa sangat cocok sebagai model saya."
"Benar itu, Pa," sahut Davian. "Sejak pertama melihat mbak Wawa, aku sudah tahu dia sesuai untuk model Papa. Wajahnya yang natural masih terlihat bersinar meskipun hanya memakai daster dan tanpa polesan make up."
Muka Risma semakin memerah karena menahan marah.
"Kok kamu jadi ikut muji dia setinggi langit sih, Yan
"Non Wawa beneran mau pergi?" tanya Bik Lastri saat aku memasukkan beberapa barang ke dalam tas slempangku. Wajahnya kelihatan sangat sedih. "Bibik mau ikut, Non."Aku tersenyum, lalu memegang pundak Bik Lastri."Setelah mendapatkan tempat tinggal, aku akan kesini lagi untuk mengambil barang-barangku, Bik. Juga untuk menjemput Bibik," ucapku.Mata Bik Lastri seketika berbinar."Benarkah itu, Non?" tanyanya.Aku tersenyum, seraya mengangguk."Bibik sabar dulu, ya?" ucapku lagi."Iya, Non. Bibik akan nunggu Non Wawa jemput Bibik," jawabnya penuh harap.Setelah memasukkan beberapa barang, khususnya gawai dan kartu ATMku ke dalam tas, aku bergegas pergi keluar kamar. Mas Indra langsung mendekatiku begitu melihatku."Kamu yakin mau pergi, Najwa? Kamu mau ke mana? Pulang ke rumah orang tuamu?" tanyanya sok perhatian.Aku hanya diam tak menjawab, bahkan menatapnya pun tidak."Sudah, biarkan saja dia pergi, Indra!"
Mata Mas Indra membulat. Tangannya terlihat gemetar memegang surat gugatan yang kuberikan padanya. Dia mungkin tak menyangka aku berani menggugat cerai dia, karena sebelumnya aku tidak pernah berani membantah."Sombong, kamu, Najwa! Belum jadi apa-apa sudah belagu!" ucap Ibu mertuaku. "Sudahlah Indra, ceraikan saja dia!"Mas Indra menatap nanar padaku."Kamu benar-benar ingin pisah dari, Mas, Dek?" tanyanya.Aku tersenyum miris."Aku sudah tidak punya alasan untuk bertahan, Mas. Bukankah ini yang kamu inginkan? Sekarang kau bisa bebas mengaku single pada semua orang," ucapku dingin."Dek, kan Mas sudah memberitahumu alasannya," ucapnya sambil mencoba memegang tanganku.Aku menepis tangannya, lalu mundur selangkah menjauh darinya. Aku tak sudi lagi disentuh oleh seorang penipu sekaligus pengkhianat."Apapun alasannya, jika seorang suami secara sadar mengaku single di depan orang lain, artinya kau sudah menjatuhkan talak pa
Aku cepat-cepat melepaskan diri dari Davian ketika mendengar teriakan Risma. Akulangsung salah tingkah, sepertinya Davian juga."Maaf, ya?" ucap Davian lirih sambil merapikan jasnya."Aku yang harusnya minta maaf," jawabku, menyembunyikan mukaku yang memerah.Kenapa aku jadi deg degan begini? Seharusnya aku tidak boleh seperti ini, karena aku masih berstatus istri orang.Risma cepat-cepat menarik tangan Davian menjauh dariku, seraya menatapku tajam."Jangan ganjen sama pacar aku ya, Mbak? Mbak kan belum pisah dari Kak Indra!" ucapnya."Hah? Belum pisah?" sahut Davian. "Apa maksudnya?"Risma tersentak, seketika mukanya memucat karena tanpa sadar sudah keceplosan bicara. Aku hanya bisa tersenyum. Tentu saja kalau sampai
Davian lagi-lagi menepuk pundakku, membuyarkan lamunanku."Aku harus pergi, kamu bisa kan, menanganinya sendiri?" tanyanya lirih.Aku mengangguk. Davian tersenyum seraya mengangguk pada Susan, dan kemudian meninggalkan kami berdua saja di dalam galeri. Susan terlihat membelai lagi gaun yang dipilihnya."Aku boleh mencoba gaunnya?" tanyanya sambil tersenyum menatapku."Tentu saja," jawabku, sambil pelan-pelan melepas gaun itu dari patung, lalu memberikannya padanya.Aku mengantarnya ke depan ruang ganti, dan menunggunya untuk mencoba gaun itu. Setelah beberapa lama, Susan keluar dengan begitu anggunnya. Dalam hati aku mengakui kecantikannya. Wajahnya yang hampir seperti orang Korea sangat cocok dengan gaun merah yang saat ini dia kenakan.Susan berdiri di depan
"Apa-apaan ini, Buk?"Aku tak bisa menahan amarahku saat kulihat vas bunga yang tadinya ada di atas meja hancur berkeping-keping di lantai , tepat di depan orang tuaku. Dua orang berwajah sangar tampak sedang menyudutkan mereka. Muka Bu Ratno merah padam, terlihat sekali dia sedang marah."Ibu mertuamu sudah gila, Wawa! Datang maksa-maksa kami menandatangani surat. Kami menolak, dia malah kesetanan! Pakai acara mengancam, lagi!" ucap Ibuk begitu melihatku."Ibumu yang kurang ajar!" sahut Ibu mertuaku. "Berani sekali dia menuduhku menipu!"Aku membuang napas, lalu menatap Ibu mertuaku."Silahkan pulang, Buk. Kami tidak akan menandatangani apapun! Kami tidak takut pada ancaman kalian!" ucapku sambil menunjuk ke arah pintu.Ibu mertuaku menatap gusar padaku, lalu
Aku menatap Mas Indra dan Ibunya seraya menyunggingkan senyum miris."Kenapa, Mas? Mas tidak mengenaliku?" tanyaku dingin. "Mas kaget karena yang Pak Tomo kenalkan pada kalian waktu itu sebenarnya adalah aku?"Mas Indra tidak bisa berkata apa-apa. Bibirnya terlihat bergetar, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tak bisa dia ucapkan. Begitupun Bu Ratno, hinaan yang biasanya begitu ringan keluar dari mulutnya kini bersembunyi entah kemana. Dia masih melongo sambil menatapku.Aku mengalihkan pandangan pada Bapak dan Ibuk."Ayo Pak, Buk, kita masuk," ucapku pada mereka. "Pak Tomo sudah menunggu kita sebagai tamu VIP."Aku mengajak Bik Lastri dan kedua orang tuaku masuk, meninggalkan Mas Indra dan Ibunya yang masih berdiri mematung di tempatnya."Makanya, Nyah, j
"Apa? Menikah?" Mata Susan terbelalak, lalu menatap Mas Indra. "Kau bohong padaku, Mas?" tanyanya kemudian.Mas Indra masih membisu, bahkan tak bergeming sedikitpun. Dasar pengecut kamu, Mas. Batinku."Jawab, Mas!" Susan menggoncang lengan Mas Indra.Mas Indra menatap Susan, lalu membuka mulutnya, mungkin ingin memberinya penjelasan. Tapi belum sempat mengatakan apapun, tiba-tiba Risma datang tergopoh sambil memanggil kakaknya."Kak, Kakak!" Risma tampak bergegas mendekati kami, lalu menarik tangan Kakaknya."Mama harus dibawa ke rumah sakit, Kak. Mama terkena strok ringan," ucap Risma pada Kakaknya.Mas Indra bergegas berlari menuju ruang kesehatan. Risma menatap tajam padaku sebelum pergi."Ini semua gara-gara kamu,
Davian menarik tanganku, memaksaku duduk di kursi tunggu yang ada di setiap sudut koridor rumah sakit. Dia menenteng surat yang dipegangnya."Surat perceraian antara kamu dan kakaknya Risma?" tanyanya. "Jadi kamu bukan ART di rumah itu? Tapi istrinya Kak Indra?"Aku belum mampu menjawab pertanyaan Davian, hanya bisa tertunduk diam."Kenapa kamu menyembunyikan semua ini Najwa? Kenapa kamu mengaku sebagai ART di rumah itu?"Aku membuang napas berat, lalu menatap Davian."Aku tidak punya pilihan, Davi. Aku hanya ingin menjaga nama baik keluarga suamiku," jawabku."Menjaga nama baik? Dengan mengaku sebagai ART? Kamu pasti sakit, Wa," ucap Davian penuh emosi.Aku tersenyum miris."Mau bagaima