Saat Axton dan Antony menghabiskan waktunya di ruang perapian dengan membahas hal-hal tentang dunia remaja, keduanya spontan menoleh ke arah jendela saat sebuah mobil datang ke kediaman itu.
Mereka berjalan mendekati jendela dan terlihat dua orang pemuda yang memakai pakaian sama, tapi parasnya berbeda. Axton dan Antony saling melirik.
Dua pemuda itu berjalan menuju ke mansion dengan seorang lelaki tua merangkul kedua pundak mereka.
Axton dan Antony kembali duduk di sofa karena merasa jika dua pemuda itu akan ikut bergabung bersama mereka.
CEKLEK!
“Wow, masih dalam posisi yang sama. Baiklah, ini tamu terakhir kita pada hari ini. Perkenalkan, lelaki berambut pirang ini adalah Ivan Benedict dan yang berambut cokelat adalah Erik Benedict,” ucap Tuan Lawrence memperkenalkan.
“Kalian … bersaudara?” tanya Axton menebak.
Lelaki bernama Erik mengangguk, tapi Ivan memalingkan wajah. Axton melihat jika dua pemuda yang ia rasa adalah kakak beradik seperti memiliki perselisihan dilihat dari sikap tak acuh Ivan.
“Kalian mengobrollah dan temukan kecocokan dalam diri kalian,” ucap Lawrence lagi mempersilakan keduanya masuk.
“Hai, aku Erik,” sapa Erik sopan mendatangi Axton dan mengajaknya berjabat tangan.
Axton menyambutnya dengan senyum merekah.
“Kau tampan,” pujinya terlihat jujur dan Erik hanya tersenyum terlihat malu.
Sedang lelaki yang bernama Ivan langsung duduk di kursi panjang, tapi menjaga jarak dengan Antony Boleslav. Antony melirik Ivan yang terlihat angkuh dengan gayanya seperti berandalan.
“Kau datang bersama siapa, Ivan?” tanya Axton di kejauhan.
Ivan hanya melirik Axton dan kembali berpaling, ia tak menjawab pertanyaan Axton. Ivan terlihat malas untuk mengobrol dan memilih untuk tidur. Ivan memejamkan mata sembari memeluk bantal di sofa itu.
Erik menghela nafas dan duduk di sebelah Axton dengan sopan. Axton menatap Ivan dan Erik bergantian.
“Kalian bersaudara, tapi sepertinya sifat kalian sangat bertolak belakang,” nilainya.
Erik diam saja tertunduk dan terlihat gugup karena dipandangi Antony sedari tadi.
“Tadi itu paman kami, Robert,” jawab Erik sopan.
“Wow, kalian mafia dari Inggris? Bukankah pamanmu itu salah satu anggota dewan?” tanya Axton menatap Erik seksama yang mengangguk pelan.
“Wah. Apakah akan ada pertemuan anggota dewan di sini?” tanya Axton terlihat bersemangat.
“Tidak. Aku rasa hanya pembicaraan tentang bisnis, penyelundupan dan sejenisnya. Perkumpulan dewan dilakukan tiap 5 tahun sekali dan ini masih tahun ketiga. Dua tahun lagi baru dilaksanakan,” sahut Antony yang masih duduk dengan charisma terpancar dari wajahnya.
Axton dan Erik mengangguk pelan, Ivan sepertinya sungguh tertidur karena terdengar suaranya mendengkur cukup kencang.
“Maaf, kau siapa? Kau datang bersama siapa?” tanya Erik menatap Antony seksama.
“Oh, dia Antony Boleslav. Soal dia datang bersama siapa, aku juga tak tahu,” sahut Axton cepat sembari meraih cangkir berisi cokelat panas yang tersaji di sana.
“Aku diantar oleh Red, The Shadow.”
“Kau anak Tuan Boleslav? Lalu dimana ayahmu?” tanya Erik lagi.
“Dia … sudah meninggal,” jawabnya lesu.
Axton sampai tersedak karena tak tahu jika pemuda di depannya ini telah kehilangan ayahnya.
Axton buru-buru mengelap tangannya yang tekena minuman cokelat dari mulutnya dengan tisu karena menahan agar tak tersembur. Antony hanya diam menatap Axton terlihat panik entah apa yang dipikirkannya.
“Oh, aku ikut berduka, Tony,” ucap Erik terlihat sedih. Antony mengangguk pelan.
“Jadi … apa yang akan kita lakukan? Aku bosan,” keluh Axton sembari menyenderkan punggungnya sembari mengelap tangannya dengan tisu lalu melemparkannya ke meja.
Antony dan Erik diam saja sembari melihat Axton yang sibuk sendiri mengatasi kebosanannya. Tiba-tiba, terdengar suara anak perempuan di luar ruangan.
Axton langsung duduk dengan sigap dan matanya tertuju ke pintu. Ia lalu beranjak dari dudukkannya dan membuka pintu itu.
Antony dan Erik saling melirik lalu mengikuti Axton yang keluar begitu saja meninggalkan kawan-kawannya.
“Hei, kau mau kemana?” tanya Erik memanggil Axton yang tiba-tiba berjalan tergesa menyusuri koridor.
“Cepat! Ikut aku!” panggilnya dengan mata berbinar.
Erik dan Antony saling memandang. Antony menutup pintu dan segera mengikuti Axton yang sedang berdiri di sebuah pintu terbuka dan terlihat tersenyum lebar.
Erik dan Antony kembali saling memandang. Mereka berdua mendekati Axton yang masuk perlahan ke ruangan itu.
Erik dan Antony buru-buru mengikuti Axton yang ternyata masuk ke sebuah ruangan di mana banyak gadis-gadis di sana yang umurnya lebih tua dari mereka bertiga.
“Wow, look. Siapa sangka banyak pemuda tampan di sini. Kemarilah,” panggil gadis berambut pirang yang terlihat seperti berumur 25 tahun ke atas.
Erik dan Antony terlihat gugup meski pada akhirnya mereka masuk ke dalam. Antony menutup pintu perlahan dan berjalan gugup mengikuti Erik yang berjalan lebih dulu di depannya.
Mereka berdua duduk dengan gugup saat para gadis cantik itu memberikan wine pada mereka berdua.
Mereka berdua kaget saat melihat Axton seperti menikmati berada diantara para gadis muda itu di mana ia duduk diapit oleh dua wanita berdada besar hingga tonjolannya membuat dua pemuda itu menelan ludah.
Belahan dada dan juga paha pada gaun mereka membuat aliran darah di tubuh mereka langsung bergejolak.
Jantung mereka berdegup lebih cepat saat para gadis itu mengedipkan mata ke arah mereka berdua.
Axton terlihat santai dengan banyak wanita yang mengelilinginya bahkan para wanita itu tertawa seperti memahami apa yang dibicarakan oleh Axton.
“Oh, jadi kalian bertiga ini calon penerus anggota dewan 13 Demon Heads? Wow … wow!” ucap salah satu wanita berambut hitam melebarkan mata dengan senyum terkembang saat Axton mengenalkan diri dan dua temannya.
Erik dan Antony masih duduk dengan canggung, merapatkan kedua kaki sembari memegang gelas berisi wine yang belum mereka minum.
Para wanita yang tertarik dengan dua pemuda tampan itu mulai mendatangi mereka dan duduk mengapit keduanya. Erik dan Antony makin panic saat para wanita itu duduk sambil berpose, mendekatkan tubuh mereka dan memamerkan kemolekan tubuhnya.
“Kau tampan, siapa namamu?” tanya seorang wanita berambut hitam berbisik di telinga Erik dan menatapnya dengan pandangan penuh pesona.
“E-Erik, Mam,” jawabnya gugup.
“Oh, your’re so cute, Erik,” sahut wanita berambut hitam itu sembari meraih gelas wine yang dipegang oleh Erik dan meminumnya.
Erik tertegun dan menatap wanita berambut hitam itu seksama yang malah menghabiskan minumannya. Hal serupa juga terjadi pada Antony Boleslav yang sedang dirayu oleh dua wanita yang mengapitnya.
Sedang Axton terlihat begitu menikmati dirinya yang kini dibelai-belai oleh empat wanita di sekelilingnya.
Mata Erik dan Antony malah terfokus pada Axton yang tersenyum saat telinganya digigit gemas oleh wanita berambut pirang.
Erik dan Antony menelan ludah ketika melihat tubuh kawannya itu mulai diraba oleh dua wanita di kanan kirinya.
Dua pemuda itu merasakan jika daging panjang di balik celana mereka seperti bereaksi padahal hanya menonton saja.
Erik dan Antony terlihat mulai gelisah. Mereka mendadak merasakan panas padahal cuaca begitu dingin di luar.
“Oh Axton. Kau masih begitu muda, tapi begitu pandai merayu. Kau akan menjadi seorang pria sejati,” ucap wanita berambut pirang yang tangan kanannya kini mendarat di paha kanan Axton sembari memijatnya.
“Hem, begitukah? Kau suka lelaki sepertiku? Aku masih butuh banyak belajar bagaimana cara memanjakan wanita, Nona,” jawab Axton menatap wanita berambut pirang dengan senyum menawan.
“Oh, kau ingin belajar? Aku bisa mengajarimu banyak hal, tapi setiap pelajaran harganya mahal,” jawab wanita itu sembari memegang jam tangan Rolex yang Axton pakai.
Axton melirik jam tangannya yang dielus oleh jemari lentik wanita pirang itu. Axton tersenyum dan kini tangannya ikut mendarat di paha wanita itu.
Mata Erik dan Antony melebar seketika. Senyum gadis pirang itu meredup seketika saat Axton mengelus paha mulusnya dengan tatapan penuh maksud.
“Kau yang harus membayarku mahal. Aku masih perjaka,” bisiknya di telinga wanita pirang itu.
Wanita itu melebarkan matanya.
“Bagaimana rasanya merampas keperjakaan salah satu penerus kursi anggota dewan? Kau akan jadi wanita pertama yang melakukannya, Nona. Tertarik?” bisik Axton sembari memegangi dagu wanita itu dan menatap bibirnya seksama.
Para wanita di sekitar Axton saling melirik. Tiba-tiba, mereka memegangi tangan Axton seperti memperebutkannya. Erik dan Antony tertegun karena Axton ditarik ke kanan dan ke kiri.
“Dia memintaku, kalian menyingkirlah!” pekik wanita berambut pirang memegangi lengan kanan Axton erat.
“Oh, dia belum tahu saja kehebatanku, Vira,” sahut wanita berambut cokelat sinis memegangi tangan kiri Axton erat.
“Axton sayang. Dengan senang hati aku akan mengajarkanmu banyak hal. Percobaan pertama denganku saja ya?" ucap wanita yang berdiri di belakang sofa tempat Axton menyenderkan punggungnya dengan manja.
“A-a ….” Axton malah tergagap, ia tak menyangka jika akan diperebutkan. Axton terlihat bingung.
“Apa kau juga masih perjaka?” tanya wanita yang duduk di sebelah Erik tiba-tiba.
Erik tertegun begitu pula Antony yang juga ditanyakan hal yang sama. Keduanya terlihat gugup dan tiba-tiba para wanita itu menyeringai.
“Run!” teriak Erik panik mengajak Antony untuk kabur dari tempat itu.
Dua pemuda itu lari sekencang-kencangnya saat para wanita itu akan menangkap mereka. Namun, saat di koridor, terlihat Ivan seperti masih menahan kantuk berjalan mendatangi mereka.
“Hei, aku mencari kalian! Dari mana saja?” teriak Ivan jengkel.
“Erik! Antony! Kalian mau kemana?” panggil para wanita yang mengejar dua pemuda itu.
“Dia Ivan Benedict. Dia juga penerus kursi dewan. Dia hebat!” sahut Erik mendorong kakaknya yang berdiri dengan kebingungan saat adiknya malah menyodorkannya ke sekumpulan wanita yang tiba-tiba datang menghampirinya dengan cepat.
“Wow! Wow! Ada apa ini?” tanya Ivan sudah dipegangi oleh empat wanita yang kini mengepungnya.
Erik dan Antony lari terbirit-birit entah kemana menyelamatkan diri dari para wanita ganas yang ingin merebut keperjakaan mereka.
Sepeninggalan Erik dan Antony. Ivan dan Axton dipuaskan oleh para wanita yang ada di ruangan itu. Terlihat Axton begitu menikmati tiap belaian yang memanjakannya.Ivan juga tak henti-hentinya mengerang dalam kenikmatan yang diberikan oleh para wanita dewasa yang kini duduk di pinggulnya, menggoyangkan miliknya kuat.“Akan kutorehkan namamu di tubuhku, Sayang,” ucap Axton memegangi pinggul wanita berambut pirang yang kini sudah tak berbusana sedang duduk dalam pangkuan Axton di sofa.“Oh, kau akan mentato tubuhmu dengan namaku?” tanya Vira dengan peluh sudah membanjiri kulit mulusnya.“Yes! Kau wanita pertama yang mengambil keperjakaanku. Itu harus diabadikan,” jawab Axton meraih wajah Vira dan menciumnya ganas.“Oh, dia benar-benar cepat belajar,” ucap wanita berambut cokelat memuji kemampuan bercinta Axton.“Aku mau jadi pacarnya. Aku tak peduli jika dia 10 tahun lebih muda dari
“Axton! Axton!” teriak Erik memanggil kawannya di luar mansion saat semua orang ikut mencari keberadaan Axton yang tiba-tiba menghilang.“Periksa dari kamera CCTV,” perintah Lawrence cepat kepada bodyguard yang menjaga kediamannya.Para bodyguard dan semua orang sibuk mencari keberadaan Axton. Antony melihat jejak kaki yang menuju ke halaman samping mansion.“Tuan Antony,” panggil Red asisten kepercayaannya.Antony tak menjawab dan terus mengikuti jejak itu hingga ia menemukan sebuah sepatu fantovel yang tersangkut di sebuah tumpukan salju di atas rumput taman.“Itu … sepatu Axton?” tanya Red saat Antony memungut sepatu itu dan melihat sekeliling.Antony diam sejenak seperti berpikir hingga ia kembali berjalan dan membawa sepatu yang diyakini milik Axton.Hingga akhirnya, Antony kehilangan jejak sepatu dan kaki di atas salju. Ia berdiri di samping sebuah mobil ba
Perkelahian sengit itu ternyata terjadi cukup lama hampir 15 menit lamanya. Meski kaki Erik keseleo, tapi ia tak menunjukkan dirinya lemah di hadapan sang Kakak. Malah diam-diam, Axton dan Antony bertaruh."Aku menjagokan Ivan," ucap Antony setelah memperhatikan teknik berkelahi pria berambut pirang itu."Yah, karena hanya ada dua orang, tersisa Erik saja. Oke, aku Erik walaupun aku yakin dia akan kalah. Hempf, taruhan ini sungguh tak adil. Tak adakah kandidat lain?" gerutu Axton yang merasa jika ia akan rugi banyak.Antony tersenyum. Ia melirik Axton yang terus menyoraki Erik agar menang melawan kakanya.Namun, baik Axton ataupun Antony, mereka sudah melihat jika Erik tak sanggup bertarung lagi karena sudah berdarah hebat di hidung dan mulutnya."Sudahlah, menyerah saja, Erik. Kau tak kasihan dengan ketampananmu?" tanya Axton meringis iba membayangkan sakit di wajah sahabat barunya itu."Diam! Lelaki sejati tak akan mundur dari pertarungan
Selama di dalam ruangan, Axton, Erik, Antony dan Ivan saling mengobrol akrab. Erik diobati lukanya oleh Antony yang ternyata cukup ahli dalam merawat luka."Aduh, agh," rintih Erik saat Antony membersihkan noda darah dengan kapas berisi air hangat dalam baskom."Berhenti mengeluh atau obati sendiri," tegas Antony menatapnya tajam.Erik kembali diam dan kali ini menahan sakit di wajahnya yang babak belur. Sedang Ivan, terlihat cuek meski wajahnya juga lebam dan berdarah.Ia duduk di kursi meja makan dan menaikkan kedua kakinya di atas meja, menikmati sajian biskuit cokelat dengan lahap."Jadi ... kita akan di sini berapa lama?" tanya Axton penasaran yang masih betah dengan posisinya di atas karpet beruang kutub."Entahlah. Setidaknya tempat ini lebih baik ketimbang berada di luar," sahut Ivan sembari mengunyah biskuit di mulutnya."Em ... jujur. Sebenarnya, aku merasa kita ini cocok. Lihatlah tadi, meski kita ketakutan saat melawan anj
"What? Camp militer? Tempat pelatihan super kejam dengan Instruktrur bernama Zeno?" pekik Axton panik. "Ya. Begitulah. Kenapa? Kalian takut?" ledek Lawrence. Keempat pemuda itu saling memandang terlihat gugup. "A-aku belum menyelesaikan sekolahku. Aku akan ke sana begitu lulus sekolah nanti. Akademis legal itu penting, Tuan Lawrence," dalih Axton dan diangguki oleh Ivan, Erik dan Antony yang ternyata satu pemikiran. Lawrence menahan senyumnya. Keempat pemuda itu terlihat pucat entah mereka membayangkan seperti apa tempat yang dikatakan Camp Militer itu. "Hem, kau benar. Legalitas itu penting, meski kita ini mafia. Well, kalau begitu sebaiknya kalian membersihkan diri. Dokter akan segera datang untuk memeriksa kalian. Aku khawatir kalian terkena rabies dari anjing yang menyerang tad. Selain itu, kulihat kaki Erik semakin bengkak. Kembalilah ke dalam, di luar dingin," ucap Lawrence dan keempat pemuda itu mengangguk pah
Terlihat orang-orang berseragam hitam khas The Shadow sudah menunggu di sebuah kapal kecil untuk mengangkut orang-orang tersebut.Erik dipapah masuk ke dalam kapal dan terlihat, ia menatap orang-orang yang tak ia kenali meski menggunakan seragam The Shadow.Mereka bicara dalam bahasa Inggris."Kalian The Shadow? Siapa yang merekrut?" tanya Erik to the point menatap para lelaki yang umurnya lebih dewasa darinya."Nyonya Theresia," jawab salah seorang pria tegas."Di mana anggota yang lain?" tanya Erik seakan tidak puas."Kau ada masalah dengan itu, Anak muda?" tegasnya."Anak muda? Hah, anak muda di depanmu ini adalah pendiri The Shadow. Jaga mulutmu, Anak baru," balas Erik menghina.Kening para lelaki berseragam hitam itu berkerut. Red yang berdiri di belakang Erik mengangguk seperti membenarkan. Para lelaki itu terkejut."Maafkan kami, Tuan. Anda pasti Erik Benedict.
Axton diberikan kamar sendiri oleh sang Kekek. Namun, malam itu, Axton tak bisa tidur dan memilih untuk tidur bersama Giamoco.TOK! TOK!"Grand Pa. Apa kau sudah tidur?" tanya Axton setelah mengetuk pintu, tapi tak ada jawaban.Axton mendesah panjang dan kembali ke kamar dengan lesu. Namun, saat ia memasuki kamar, betapa terkejutnya ketika sang Kakek sudah berada di kamarnya sedang berbaring."Sejak kapan kau di sini, Grand Pa?" tanya Axton bingung.Giamoco hanya tersenyum. Ia mengayunkan tangan kirinya, memanggil cucu semata wayangnya untuk ikut berbaring di sampingnya.Dengan senyum merekah, Axton segera menghampiri sang Kakek dan bermanja-manja di sampingnya. Giamoco tersenyum sembari mengelus kepada Axton lembut."Jujur, Adry. Kakek sebenarnya marah padamu. Kau dengan begitu mudahnya menyerahkan benda berhargamu pada wanita tak dikenal. Terlebih, mereka itu pelacur. Aduh," keluh Giamoco mengelus dahinya
Malam natal terasa begitu hangat bagi Axton yang selama ini berselisih dengan sang ayah semenjak kepergian Iva, sang ibu untuk selama-lamanya.Axton menghabiskan natal bersama kakek dan ayahnya, menyusuri kota Boston dengan membeli banyak barang untuk kesenangan mereka pribadi.Hingga akhirnya, mereka dalam perjalanan pulang ke rumah setelah udara dingin di malam yang larut mulai mengusik. Axton tertidur lelap di paha sang ayah."Dia terlihat senang sekali malam ini, Leighton," ucap Giamoco tersenyum saat melihat cucunya tidur dengan mantel barunya."Ya. Aku merindukan pelukan dan senyumannya saat bersamaku, Ayah. Aku tak menyangka, jika Axton bisa menerimaku lagi. Aku rasa, sudah cukup bagiku untuk mencari wanita pengganti Iva. Axton prioritasku," jawab Leighton sembari mengelus lembut kepala sang anak dengan senyum terkembang.Giamoco ikut tersenyum dan bernafas lega. Namun, saat mobil melaju di persimpangan jalan di mana jalanan sudah sepi, tiba