"Now I have children of my own They ask their mother, what will I be.
Will I be handsome, will I be rich.I tell them tenderly.Que Sera, Sera, Whatever will be, will beThe future's not ours, to see Que Sera, Sera What will be, will be."Itulah lagu yang biasa Lula lantunkan pada Raden setiap pagi. Setiap kali ia nyanyikan lagu milik Doris Day itu, bayi mungilnya selalu menatapnya dan tersenyum seakan mengerti dengan arti lirik lagu tersebut. Bayinya juga menghentikan tangisnya tiap kali ia menyanyikan lagu itu. Tak ada pemandangan yang lebih indah di dunia ini selain melihat senyum bahagia putranya.Semenjak Raden lahir, Lula memang memutuskan untuk tidak kembali lagi bekerja dikantornya dan lebih memilih untuk menggunakan waktunya untuk fokus mengurus anaknya.Entah mengapa ia merasa tidak rela jika anaknya diurus orang lain. Setiap kali melihat Raden, tekadnya semakin kuat untuk melakukan pekerjaan yang bisa ia kerjakan dirumaSaat ini pikiran Lula belum begitu jauh, meski ada bayangan untuk pergi ke Jepang. Namun, hal itu masih belum ia putuskan. Butuh banyak hal sebagai faktor pendukung untuk memantapkan niatnya. Belum lagi jika dirinya harus meninggalkan Raden di negeri yang jauh."Kalau jadi nanti Lula ambil kontrak 2 atau 3 tahun aja Bu gak lama-lama.""Ibu ada temen yang jadi agen penyalur tenaga kerja ke luar negeri La. Mau Ibu tanyain?""Boleh Bu." Ibu meraih ponselnya dan segera menghubungi teman yang ia maksud itu."Hallo Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Hey say apa kabar?""Alhamdulillah baik say. Anu, kamu masih jadi agen penyalur gak say?""Masih nih say. Gimana? ada anak mau keluar negeri kah?""Mau nanya nih say. Kalau di tempatmu ada buat ke Jepun gak?""Ada dong say.""Syaratnya apa aja? kasih tahu dong.""Buat perempuan apa laki-laki say?""Perempuan say
Lula seketika terjingkat saat tiba-tiba ada tangan yang memegang bahunya. Ia membulatkan kedua matanya dengan sempurna lalu menatap lekat bahu kanannya."Woi! kaget lu? hahaha." Seorang pria tampan tengah berdiri dibelakangnya. Ia menyunggingkan senyuman kearah Lula yang sedang terkejut."Eh beneran elu Ben?" Lula masih tak percaya melihat sosok pria yang ada didepannya itu. Berulang kali ia mengucek matanya untuk memastikan kebenaran seseorang yang ia lihat."Menurut ngana? haha." Benny terkekeh, ia kemudian duduk di kursi yang ada didepan Lula."Lu kapan balik?" Lula menyondongkan badannya kemeja, ia terlihat sangat antusias saat bertemu dengan temannya itu."Udah hampir sebulan nih, tapi gua di Tambun. Disini baru beberapa hari.""Masa? kok cepet banget nyampe sini barusan?" Lula meletakkan kedua tangannya keatas meja."Gua tadi di lantai atas pas liat lu bikin story. Ya gua langsung turun nyamperin lu l
"Serius lu? terus terus?" Benny mendengarkan Lula dengan seksama."Dia mau kasih posisi buat gua kalau gua serius mau kerja disana.""Kok lu doang? lu gak bilang ama gua juga?" Benny mengerutkan keningnya."Lu kan juga deket ama dia. Bilang aja sendiri. Wleeek" Lula menjulurkan lidahnya meledek Benny yang terlihat kesal."Dih jahat banget sih lu ama gua!" Benny mengerucutkan bibirnya."Haha dia mau bilang ama Pak Indra dulu. Ntar kalau di Acc baru mau hubungin gua lagi.""Lu janji bilang ama gua kalau Khun Mod hubungin lu lho La." Benny menekankan perkataanya."Iye iyee bawel. hahaha." Lula terkekeh melihat ekspresi lucu Benny."Oh iya, lu kenapa keluar dari kantor lu? Bukannya jabatan lu udah bagus ya disana?""Ada masalah gua kemaren." Lula tak mau menceritakan perihal kejadian sebelumnya yang ia alami pada teman-temannya dulu. Ia belum siap, selain itu Lula juga muak jika harus meng
Tari dan Lina mengikuti langkah kaki Lula dan Benny dari belankang. Mereka kemudian memperhatikan Lula dan Benny dari jauh untuk menghilangkan rasa penasarannya. Meski mereka tak bisa mendengarkan percakapan antara Lula dan Benny, tapi setidaknya mereka bisa memperhatikan gerak gerik keduanya."Mereka berdua tadi itu, istri sama kakaknya bapak anak gua Ben.""Hah? kok bisa?""Iya. Namanya Jaka, dia nikah sama wanita tadi pas aku ngelahirin anakku." Lula tetap tersenyum meski air matanya sudah mengalir deras membasahi pipinya."Udah gak usah dilanjutin gak papa La. Yang penting gua udah paham intinya, gua gak mau lu sedih gara-gara inget masa lalu lu." Ben kembali mengusap bahu Lula. Melihat raut wajah sedih Lula, Benny sudah paham bahwa Lula memendam rasa sakit di hatinya. Ia tak mau membuat Lula menggali kenangan buruk masa lalunya lagi."Mau balik sekarang?" Benny menundukkan kepalanya berusaha melihat wajah Lula karena Lula j
"Lu kok gak langsung balik sih? udah malem, ntar kalau gua diomongin tetangga gimana dong?" Lula yang baru saja keluar dari kamarnya, seketika menatap tajam kearah Benny yang tengah duduk diruang tamunya."Gua minum kopi ini dulu bentar! udah Ibu buatin juga." Ia menyeruput kopi yang masih panas itu agar cepat habis."Bentar biar Benny minum dulu, kasihan udah jauh-jauh. Lagian Ibu juga udah lama gak ketemu dia. Udah sana kamu mandi dulu!" Ibu keluar dari dapur dengan membawa nampan berisikan beberapa makanan."Ayo Ben dimakan dulu! pelan-pelan minumnya! masih panas tuh." Ibu ikut duduk diruang tamu bersama Benny, sedangkan Lula masuk kedalam kamar mandi meninggalkan mereka berdua.Beberapa saat kemudian selesai mandi, Lula kembali keruang tamu dengan membawa secangkir kopi ditangannya. Ia kemudian ikut duduk bersama Ibu dan Benny disitu."Mau makan apa kalian? Ibu masakin.""Tuh bilang aja! mumpung dimasakin Ibu." Lu
"Udah mau pulang kamu Ben?" Ibu keluar menghampiri mereka yang sudah berada di teras rumah."Hehe iya Bu." Benny meraih tangan Ibu dan mencium punggung tangannya."Yawes ati-ati, makasih ya. Sering-sering kesini Ben!" Ben menganggukkan kepala kemudian berjalan menuju mobilnya. Lula pun mengikutinya dari belakang sambil menggendong Raden."Ngantuk ya? bobok lagi sana Nak!" Ben masih memperhatikan Raden yang berada di sebelah pintu mobilnya dalam gendongan Lula dari dalam mobilnya."Ote Om." Raden mengacungkan jempol kecilnya kearah Ben."Lu kabarin gua kalau kesana lagi oke! ntar biar gua jemput lu." Ben mengalihkan pandangannya ke Lula sebentar."Siap! Ati ati lu ya! thank you." Ben menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Ia kemudian menekan klakson mobilnya sebanyak 2 kali lalu melajukan mobilnya meninggalkan rumah Lula.Setelah mobil Benny hilang dari pandangannya, Lula kembali masuk kedalam rumah bersa
"Iya ih, cuma kayak angin lewat doang nih burger. hihihi" Lula meletakkan kembali minumannya ke meja. Ia tak tau diri padahal sudah melenyapkan burger berukuran besar yang Benny bawakan kedalam perutnya."Dih! eh gimana tadi briefing nya?" Ben kembali mengalihkan pembicaraannya ke topik lain karena penasaran."Ya cuma bahas persiapan pendidikan sampe keberangkatannya aja." Lula kembali menyandarkan tubuhnya."Pastiin dulu bisa berangkat gak nya! soalnya lagi pandemi gini. Takutnya lu udah terlanjur masuk pendidikan malah gak jadi berangkat, terkatung-katung disana cuma buang-buang waktu. Sayangkan? daripada waktu lu ke buang sia-sia mending buat ngurus si Volker." Sebagai seorang teman, tentu saja ada rasa khawatir dalam hatinya mengenai Lula."Tadi sih gua udah nanya sama temen Ibuk, katanya pasti bisa berangkat." Lula mengernyitkan keningnya sambil menatap ke sembarang arah seperti sedang memikirkan sesuatu."Temen Ibu kan mar
Ben yang mulai merasa telinganya gatal mendengar ucapan Lina itu kemudian menghentikan langkah kakinya tiba-tiba. Membuat Lina terjingkat karena terkejut dengan Ben yang tiba-tiba membalikkan badannya dan menatapnya."Iya Mba saya dengar. Terima kasih sarannya." Ben tersenyum lebar kearah Lina. Namun, entah mengapa, senyumannya itu membuat Lina bergidik ngeri. Lina seketika bungkam dan tak berani berbicara lagi.Ben kemudian berlalu pergi meninggalkan Lina yang masih tak bergeming dari tempatnya berdiri. Ia kembali duduk bersama Lula."Oh jadi itu si brengsek?" Ben tersenyum pada Jaka yang menatapnya. Ia kemudian kembali duduk ditempatnya."Jangan kenceng-kenceng! ntar dia denger." Lula segera memakai maskernya agar mukanya tak terlihat. Beruntung bentuk tubuh dan penampilannya berbeda, jadi Jaka tak bisa dengan mudah mengenalinya."Udah lu gak usah panik! santai aja napa? anggep aja dia itu buku usang yang harus lu tutup dan lu