Share

Batal Ditinggal

Sudah siap-siap dengan merangkai kalimat bujukan dalam otak, Vivi malah memalingkan muka sambil menunjuk tukang penjual permen kapas tadi.

“Mau itu juga!” rajuknya. Antara gemas dan merasa lucu, aku mencoba bertahan untuk tidak tertawa.

“Iya, dibeliin. Tapi jangan cemberut, ya, jelek.” Kuacak rambutnya sekali, ia langsung menepis kasar. Ya, sudah aku tak masalah. “Mau ikut ke sana atau nunggu di sini?” tanyaku kemudian.

“Tunggu di sini aja. Di sana pasti gerah, keliatan sesak gitu,” jawab Vivi masih dengan nada jutek. Ya, ampun. Setelah jadi pacar, dia mudah sekali marah. Dasar si perasa manja.

“Abang masih suka dia, kan?”

Langkahku terhenti ketika Vivi bertanya demikian. Bersamaan dengan itu ponselku berbunyi, tanda notifikasi pesan masuk.

“Jangan ngadi-ngadi. Enggak, lah,” sangkalku jujur. Memang kenyataannya begitu, ya meski sedikit ada rasa senang sekaligus sedih kalau bertemu seperti tadi.

Aku berucap sambil membuka pesan.

Clara. Dahiku mengerut melihat namanya terpampang di laya
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status