Lampu penerangan di sepanjang jalan yang menjadi jalur lintas Zefanya menuju tempat kerjanya masih menyala. Jam digital di pergelangan tangan kirinya menunjukan angka lima menit sebelum jam enam pagi, ketika gadis dalam balutan jaket berbahan jeans itu berpamitan pada ibundanya untuk berangkat kerja. Temaram suasana kota menjelang kehadiran sang surya di ufuk timur. Semringah raut wajah gadis yang dipenuhi semangat untuk menunaikan kewajibannya.
Suatu hal tak pernah disesali oleh Zefanya dalam dua bulan belakangan ini, keputusannya menerima perkerjaan yang membuat pola hidupnya berubah. Seperti saat ini, ketika hari Minggu kebanyakan penduduk bumi bermalasan untuk membuka mata, ia sudah berada di atas motor matic-nya untuk mengais rejeki. Ketika sekelompok remaja melintas sambil berlari bersama di hari libur, Zee akan menjadikan tugasnya sebagai GRO yang akan mondar-mandir di lobby hotel sebagai sarana olah raganya. Gadis itu tak akan menaruh cemburu atas semua itu, ia sudah bahagia dengan pilihannya saat ini.
Bagaimana tidak bersyukur, di luar sana banyak lulusan perguruan tinggi dengan gelar sarjana yang menganggur. Sementara dirinya tak perlu repot mengirim surat lamaran kerja, bahkan nyaris tanpa tes berbelit-belit dan lama.
Dengan menggunakan kendaraan roda dua, Zefanya bisa lebih cepat sampai di tempat kerjanya. Hanya butuh waktu lima belas menit di pagi hari sebelum kemacetan menghadang. Dengan cekatan gadis itu memarkirkan motornya di area parkir karyawan. Terdengar sautan saling sapa dari sesama pegawai yang berpapasan. Zee juga melakukan hal yang sama meski ia belum kenal semua karyawan hotel yang berjumlah lebih dari dua ratus orang itu.
Zefanya menuntun langkahnya menuju ruang linen tempat ia akan mengambil seragam kerjanya. Sebuah baju long dress berwarna gelap yang dipasangkan dengan sebuah blazer berlengan tiga perempat akan membalut tubuhnya selama sembilan jam ke depan. Butuh waktu lima belas menit baginya untuk mematut diri di loker karyawati untuk menyempurnakan tampilannya. Jemarinya telah terlatih untuk membuat cepol ala french twist seperti para pramugari maskapai penerbangan.
Setelah semua terlihat sesuai standar grooming sebagai Guest Relation Officer, gadis itu pun membaur dengan rekannya yang lain. Satu per satu berjalan menuju finger print untuk mendata absensi sebelum menuju area tugas masing-masing.
Tepat lima belas menit sebelum jam tujuh pagi, sesuai peraturan perusahaan tentang kehadiran, Zefanya Ayunda telah melapor pada atasannya dan siap memulai rutinitas di bagian Front Office. Dengan sigap gadis itu membaca log book dan memastikan list tamu VIP yang akan datang pada hari ini atau yang akan check out.
Tak ada kendala yang berarti yang dihadapi Zefanya hari ini. Semuanya berjalan lancar. Keberangkatan dan kedatangan tamu VIP tak menemui kendala. Keluhan tamu karena masalah kecil seperti sambungan wifi, pintu kamar yang tidak bisa dibuka atau voucher breakfast yang hilang bisa diselesaikan dengan cekatan sehingga berujung pada ucapan terima kasih dan senyum dari para tamu yang dibantunya. Termasuk ia bisa meredakan tangis dua orang anak yang sedang bermain di kids’ corner karena berebut untuk menaiki seluncuran.
Zefanya sedang menulis handover pekerjaan untuk keesokan hari di log book ketika seorang rekan kerjanya memberi tahu, jika mereka hari ini setelah pulang kerja akan hang out bersama.
“Oh, elo belum tau?” Rekan kerja yang merupakan seniornya itu memastikan. Melihat gelengan dari gadis di sebelahnya, pemuda itu mencoba menjelaskan.
“Jadi untuk membangun team work dan agar kita akrab satu sama lain, kita adakan semacam arisan kecil setiap bulan. Kita pilih tempat untuk makan-makan. Yang lagi libur juga wajib datang.”
Informasi yang disampaikan itu disambut lekuk bibirnya Zefanya yang membulat.
“Bulan lalu, elo dapat shift sore ya, jadi ga ikutan?” tanya pemuda yang bernama Hendri itu lebih lanjut.
“Iya, Bang,” sahut Zee pada seniornya itu.
“Pas banget. Berarti sekarang elo harus ikut, biar ngerasain. Belum tentu juga bulan depan lo bisa gabung.”
Tak berdaya Zefanya menolak ajakan yang hampir menyerupai perintah dari seniornya itu. Kata-kata ‘wajib’ yang terucap sudah tak perlu diperdebatkan. Hanya sebuah anggukan kecil pertanda gadis yang baru bekerja dua bulan itu mengerti akan kegiatan tersebut.
Beriringanlah laju beberapa kendaraan roda dua dan roda empat menuju lokasi acara. Sebuah kafe yang cukup cozy menjadi pilihan para panitia kali ini.
Pupus sudah rencana Zefanya untuk pulang lebih awal hari ini. Pekerjaannya yang selesai tepat waktu memberinya ide untuk menyambangi Zeino yang pasti sedang bermain futsal. Entah mengapa sejak semalam pikirannya tertuju pada pemuda itu. Namun semuanya terpaksa diurungkan. Di minggu sore ini dia harus beramah – tamah dengan rekan dan seniornya di tempat kerja.
Riuh rendah suara tawa canda di ruang khusus kafe yang telah dipesan. Terasa kental keakraban di sana. Tim kerja yang lintas gender, usia bahkan jabatan itu sungguh tanpa sekat. Zefanya yang merupakan anggota tim yang baru bekerja serta paling muda terlihat berusaha menyesuaikan diri. Diapun melempar senyum lebar ketika berkali mereka melakukan swafoto dengan semua peserta. Tentu saja tak lengkap jika momen seru itu tak diunggah ke media sosial. Tautan yang disemat juga menyebut nama akun milik Zefanya serta tag lokasi yang makin membuat bersahutan komentar di group chat tempat kerjanya.
Posisi duduk dan pose Zefanya yang berdekatan dengan seorang rekan prianya yang hampir seumuran menjadi bahan candaan. Bahkan ada yang kemudian menggunting gambar tersebut lalu menambah caption ‘segerakan’. Tentu saja hal tersebut belum disadari oleh gadis itu. Sedari tadi ia belum menyentuh telepon genggam yang berada dalam tasnya. Gawainya itu masih dalam mode kerja yang harus diatur senyap.
Seiring lembayung yang hadir mengantar senja, keseruan Zefanya dan tim kerjanya perlahan mulai mereda. Mereka bersiap untuk kembali ke rumah masing – masing. Tagihan makan minum mereka telah dibayar oleh bandar yang memegang uang kas hasil iuran dan uang tips dari tamu yang mereka kumpulkan. Pemenang arisan pun telah mendapat haknya. Semuanya terlihat puas dengan acara mereka sore ini.
“Zefanya, elo pulang ke arah mana?” tanya salah seorang seniornya yang biasa dipanggil Puput.
“Aku putar arah, Mbak,” jawab gadis itu.
“Oh, kirain sama arah kita. Eh, berarti elo bisa iringan sama Sammy tuh.”
Zefanya mengikuti lirikan mata Puput yang tertuju pada pemuda yang tadi duduk di sebelah Zefanya. Gadis itu merasa tak perlu harus pulang beriringan karena dia sudah biasa melewati jalan arteri ke rumahnya meskipun ini agak sedikit berputar jauh.
“Sammy, elo bareng Zefanya aja. Kasihan, dia sendiri tuh.” Puput malah membuat keputusan sepihak tanpa mendengar pendapat dari gadis yang dirisaukannya itu.
‘Siap!” Sammy mengangkat tangannya memberi hormat diiringi sebuah senyum lebar.
Tak mungkin Zefanya menolak niat baik dari rekan kerjanya itu. Toh, tidak ada ruginya dan tidak akan ada masalah juga. Mereka masing-masing membawa motor, bukan berboncengan. Akhirnya kedua muda – mudi itu pun berjalan menuju parkiran café.
Baru saja iris mata Zefanya menatap indahnya lembayung di cakrawala, sesosok bayangan pemuda yang sangat dia kenal sedang berdiri menatapnya dari kejauhan. Tubuh pemuda dalam balutan seragam futsal itu bersandar di badan mobil.
“Kak Zeino,” lirih gadis itu hampir tak percaya.
Tubuh Zefanya masih terpaku di depan kanopi kafe. Kebingungan atas kehadiran Zeino di depannya membuatnya salah tingkah. Apa lagi tatapan pemuda itu terlihat sangat tidak bersahabat memandang ke arah Sammy yang sedari tadi berada di dekatnya.Belum hilang keterkejutannya, seorang pemuda lain yang baru keluar dari arah kafe semakin membuat Zefanya terpana.“Kak Jeromy!” sapa Zee yang hampir tak percaya melihat pacar Lampita itu.“Eh, Zee. Kebelet tadi, numpang ke toilet.” Dengan wajah cengengesan pemuda berkaca mata itu berkata sambil menggaruk rambutnya.“Hmm, Bang Sammy duluan aja, ya. Aku mau ketemu temen dulu,” ujar Zee pada Sammy.Tentu saja gadis itu tak ingin berlama dengan pria yang pasti akan dipertanyakan oleh Zeino.“Oh, ya udah. Bye, Zee!” pamit Sammy yang bernama asli Samuel.Tak
Sebuah motor sport berwarna hitam legam meluncur membelah jalan aspal yang menuju area salah satu kampus universitas swasta terkenal di kota. Begitu kuda besi itu berhenti di pelataran parkir, kedua pengendara yang masih mengenakan helm turun bergantian dari sadel. Begitu penutup kepala itu terbuka, terlihat pasangan muda-mudi yang berinisial sama ‘ZA’ itu segera merapikan rambut dan tampilan mereka sebelum melanjutkan langkah ke tujuan.Menepati janjinya, hari Senin ini Zefanya yang sedang libur bekerja menemani Zeino untuk melakukan bimbingan skripsi. Gadis itu memang sengaja mempersembahkan hari libur yang seharusnya untuk beristirahat dari lelah bekerja untuk memperbaiki hubungannya yang sedang kurang harmonis dengan Zeino.Walaupun sebenarnya ia sendri belum mengerti standar harmonis yang seharusnya seperti apa. Karena jika dirunut sejak mereka dijodohkan, hubungan mereka seperti air yang mengalir mengikuti alur yang mereka
Melengkung senyum di wajah Zeino yang telah ditutupi helm ketika sepasang tangan gadis di boncengan merengkuh pinggangnya. Ada rasa yang ingin meledak di hatinya ketika teringat bagaimana reaksi Zefanya ketika melihat Talita berada di dekatnya. Berbeda dengan saat ia dan adik kelasnya itu tak sengaja kedapatan sedang berada di café oleh pacarnya itu, kali ini Zee menampakan rasa memilikinya. Gadis itu tanpa malu-malu bergelayut manja di lengannya dengan tatapan lurus pada perempuan yang menghampiri.“Ternyata kamu bisa cemburu juga ya, Zee,” gumam Zeino.Kuda besi hitam legam itu terus melaju meninggalkan sorak – sorai anggota geng lainnya yang sengaja menjadikan pasangan ZA itu sebagai objek candaan. Kedatangan Zefanya ke kampus yang baru ditinggalkannya beberapa bulan, tentu saja masih mendapat sambutan yang hangat dari teman-temannya yang sedang berusaha merampungkan studinya. Termasuk dari para dosen yan
Kembali Zefanya tak bisa menyimpulkan apa yang sedang terjadi dengan hubungan pertemanannya dengan Zeino. Satu hari yang mereka lewati kemarin tak secara otomatis menjelaskan semuanya. Gadis itu menganggap kebersamaan mereka adalah quality time tanpa meributkan rutinitas keduanya yang sering bertolak – belakang.“Ga ada ngomong serius, Bun. Habis dari kampus, kita pergi ke pantai, makan doang.”Begitu Zefanya menjawab pertanyaan dari ibundanya ketika pagi hari di meja makan. Seperti kebiasaan ibu dan anak itu memulai hari.“Tadinya Zee mau bicara, Bun. Tapi ga jadi, lagi males. Ntar malah bertengkar lagi.” Zefanya bersungut mengakhiri kalimatnya.Ibu Kartika, wanita yang telah menjadi orang tua tunggal bagi kedua anak gadisnya sejak Zefanya anak bungsunya berusia dua bulan itu, hanya melempar senyum. Wanita paruh baya itu memang sangat terbuka dengan kedua anak
Tatapan mata Zefanya dan Zeino bertemu tatkala daun pintu yang memisahkan mereka terkuak. Keduanya menarik garis senyum di wajah mereka.“Kak Zeino duduk dulu ya, aku mau ambil tas.”Seiring anggukan, pemuda itu menghempaskan tubuhnya di kursi yang berada di teras rumah. Sementara Zee melangkah masuk untuk meneruskan niatnya. Selang berapa lama kemudian, gadis pemilik rumah yang tampak berpenampilan santai dengan rambut tergerai, menghampiri dengan membawa segelas air minum.“Diminum dulu, Kak.”“Kamu yakin bisa datang ke pestanya itu, Zee?” tanya Zeino setelah menyeruput setengah air di dalam gelas.“Hmm apa maksudnya bertanya seperti itu?” gumam Zee yang mengira ada niat lain dari pertanyaan itu.“Kebetulan hari itu, aku jadwal pagi. Acaranya malam 'kan, ya?”Zei
Permulaan hari telah jauh merangkak sejak kokok pertama ayam jantan terdengar. Geliat anak cucu Adam yang mulai berpencaran di muka bumi untuk mencari rejeki ditemani sang mentari yang menyemangati. Sinar penguasa hari itu turut membias di sela jendela kamar Zeino. Perlahan kelopak mata pemuda yang masih bergelung memeluk guling, mengerjap. Pandangan pertamanya di pagi hari tertuju pada jam bundar kecil yang terletak di atas nakas.Hoam!Seiring hawa napas pagi yang masih menyisakan kantuk, tangan Zeino meraih telepon genggam yang berdampingan dengan jam bekernya. Ia memeriksa aplikasi pesan yang menampilkan notifikasi kabar belum terbaca. Senyum merekah ketika mendapati gadis yang menemaninya menikmati senja di Panorama mengirim sebuah pesan yang tercatat pada pukul enam pagi. Pemuda itu mengabaikan tumpukan pesan lainnya yang juga belum terbaca.Kak Zeino, semangat ya revisinya. Jangan lupa sarapan dulu.
Gadis dalam balutan dress berwarna hitam dengan blazer berlengan tiga perempat dan rambut dipilin menyerupai croissant itu, melangkah meninggalkan area kantor Front Office untuk menuju loker terlebih dahulu sebelum ke kantin karyawan.Sesampai di ruang yang biasa digunakan sebagai tempat penyimpanan barang-barang pribadi sekaligus area istirahat karyawan, Zee melepas blazernya dan mengganti sepatu berhak tingginya dengan sepatu tak bertumit.Jam istirahat yang biasanya hanya bisa ia nikmati untuk setengah jam dari satu jam jadwal seharusnya, cukup melepaskan penat di kaki dengan mengganti sepatunya selama makan. Memakai sepatu bertumit tinggi memang salah satu hal yang harus dibiasakannya sejak bekerja di hotel, selain stocking berwarna hitam karena seragam long dressnya berbelahan tinggi dari bagian kaki hingga setengah paha.Tak lupa gadis itu meraih telepon genggamnya, sambil duduk
Arloji di pergelangan tangan kiri Zefanya telah menunjukan pukul lima sore ketika ia menepikan sepeda motor matic-nya di sebuah perkarangan rumah bergaya kolonial. Sebuah rumah bercat putih dengan aksen pecahan batu berwarna hitam menghiasi tembok teras. Bangunan yang telah berdiri kokoh sejak zaman penjajahan itu merupakan kediaman keluarga almarhum ayah gadis itu.Berdampingan dengan bangunan tua yang masih terawat itu berdiri sebuah rumah bertingkat yang lebih modern dan megah. Di sana tinggal kakak tertua dari ayah mereka, Om Peter. Sementara di rumah lama tinggal adik bungsu ayah mereka, Tante Mauren yang belum menikah sampai saat ini, bersama keluarga Om Niko dan nenek mereka yang telah renta.Sambil menenteng kotak karton yang berisi bakpao isi kacang merah, Zefanya membuka pintu pagar samping rumah yang biasanya tidak dikunci. Dari pagar tersebut, Zee bisa langsung menuju paviliun di mana kamar Nenek Ruwina berada.Sep