"Lo beneran mau resign ya, Vin? Kenapa? Bukannya lo bilang kalo gaji di sini itu gede?" Suci membisikinya saat melihatnya tengah mengajari Ruby, penggantinya di perusahaan. Ruby sebenarnya adalah staff baru di divisi II. Rajata yang memilih langsung sebagai penggantinya.
"Iya, Ci. Ntar deh pas makan siang di kantin gue ceritain semuanya," Vina balas berbisik. Suci mengangguk dengan air muka yang tidak puas. Wajar saja. Suci adalah teman terdekatnya di perusahaan. Pasti ia merasa heran, karena tidak ada angin, tidak ada hujan, ia tiba-tiba saja ingin resign. Istimewa Suci mendengarnya dari mulut Putri.
Setelah Aria menyobek two weeks notice resignationnya, ia memang langsung menemui Rajata, setelah ia membuat surat resign yang baru. Namun jeda waktunya berbeda. Jika sebelumnya ia membuat two weeks notice regisnation, maka kali ini ia membuat one weeks notice resignation saja. Ia berpikir, semakin cepat ia keluar dari perusahaan ini maka
Vina menarik napas panjang beberapa kali, sebelum mengetuk ruang kerja Aria. Ia tahu, kemungkinan ia akan dibantai oleh dua naga sekaligus di dalam sana. Hanya saja ia tidak mengira kalau Aria kali ini akan berkolaborasi dengan Rajata.Apa yang terjadi, terjadilah. Bissmillahirohmanirohim! Vina mengetuk daun pintu. Ketika terdengar sahutan masuk dari dua orang secara bersamaan, Vina pun memutar pegangan pintu.Kedatangannya langsung disambut dengan air muka ganas dari Aria dan Rajata. Keduanya tengah membolak-balik beberapa dokumen penawaran tender, yang kemarin ia berikan pada Aria untuk ditandatangani."Selamat siang, Pak Aria, Pak Rajata." Vina menyapa dua atasannya sopan. Walau perasaannya saat ini tidak karuan, tapi ia berusaha menampilkan air muka tenang. Ia tidak ingin dua orang di hadapannya ini mengetahui kegamangannya."Duduk." Alih-alih membalas sapaannya, Aria langsung memerintahkannya
"Ibu duduk dulu. Dengarkan Vina baik-baik. Setelah itu barulah Ibu boleh mengecam Vina, kalau menurut Ibu tindakan yang Vina ambil ini salah."Vina meraih bahu ibunya. Mendudukkannya pada sofa panjang satu-satunya, di samping ayahnya. Sementara dirinya sendiri duduk bersimpuh di hadapan kedua orang tuanya. Ia ingin memohon ampun atas kesalahan yang tidak sengaja ia perbuat. Ya, dirinya memutuskan untuk menceritakan asal muasal penyebab masalah ia resign atau dipecat, atau apapun sebutannya.Ia tidak mau menyembunyikan apapun pada kedua orang yang paling mencintainya di dunia ini. Ia mengerti tidak semua orangtua mampu bersikap bijaksana. Contohnya ya kedua orang tuanya ini, yang terlalu memanjakan kakaknya. Sehingga kakaknya tidak pernah mengerti apa yang disebut dengan tanggung jawab. Tapi mau bagaimana lagi. Orang tua tetaplah orang tua. Kasih mereka lebih besar dari seisi dunia."Bu, Ayah. Vina ingin minta maaf
Vina sangat meyakini pepatah yang mengatakan ; di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Dan jika satu pintu tertutup, insyallah pintu lain akan terbuka. Kuncinya adalah terus berusaha yang diiringi dengan ikhtiar yang tidak putus-putusnya. Begitu juga dengan musibah demi musibah yang terus menerpanya. Walau ia harus jatuh bangun menghadapi semuanya, namun menyerah bukanlah karakternya.Seperti sekarang saja misalnya. Pada pukul lima pagi, ia telah sibuk berbelanja ke pasar tradisional. Setiba di pasar, ia memeriksa satu persatu daftar belanjaan yang harus ia beli di selembar kertas. Setiap satu bahan telah ia beli, maka ia akan langsung mencoretnya dari daftar, agar tidak tumpang tindih. Ia memang sengaja mencatat daftar belanjaan pada selembar kertas, dibandingkan dengan notes di ponselnya. Pengalamannya berbelanja di hari pertama memberikan pelajaran, bahwa berbelanja sembari memeriksa ponsel itu menyusahkan. Selain berkali-kali jatuh, karena tangan
Kamar sudah rapi. Ia dan ibunya bergotong royong membersihkannya. Sementara Dina duduk melamun di sudut kamar. Pandangannya kosong. Tidak lagi liar seperti tadi. Ia tidak lagi berteriak-teriak atau menangis. Sebutir obat penenang memang ampuh. Namun ada rasa tidak tega di hati Vina saat melihat Dina dalam pengaruh obat seperti ini. Air liur perlahan mengalir dari sudut bibir kakaknya. Sang ibu bergegas menyekanya dengan sehelai sapu tangan. Beginilah keadaan kakaknya apabila diberi obat penenang. Syarat-syarafnya mati rasa. Sehingga kakaknya tidak bisa mengontrol reaksi tubuhnya."Ayah ke mana, Bu? Dari tadi Vina tidak melihatnya.""Ayahmu ke kanton Reyhan, Vin. Ayahmu ingin mengembalikan cek yang kamu berikan tempo hari." Bu Misna menggenggamkan sapu tangan ke tangan Dina. Ia bermaksud mengajarkan Dina untuk belajar menyeka air liurnya sendiri."Nanti diseka seperti ini ya, Din. Biar bersih," bujuk Bu Misna
"Kamu ini ternyata jahatnya hingga ke pembuluh darah ya, Vin?" Bunyi derit pintu yang terbuka, serta kuatnya suara hardikan dari Rajata membuat Vina mengelus dada. Salah paham lagi. Entah mengapa Rajata ini selalu saja muncul di saat yang tidak tepat. Saat ini ia berdiri di antara Rajata dan Aria. Vina melirik sekilas air muka Aria yang memucat dan ekspresi geram di wajah Rajata. Dua laki-laki sakit ini saling memandang dengan asumsi berbeda dalam benak mereka masing-masing.Vina melirik sekilas map yang berada di tangan Rajata. Sepertinya Rajata masuk ruangan ini karena ingin membicarakan masalah pekerjaan dengan Aria. Sebaiknya ia pergi saja dari ruangan ini. Toh urusannya di sini sudah selesai."Permisi," Vina memeluk map yang berisi ijazahnya sendiri dan bermaksud berlalu dari ruangan Aria. Setelah map berisi ijazahnya ini sudah kembali padanya, ia sudah tidak mempedulikan apapun lagi. Ia tidak membutuhkan simpati Aria apalagi Raja
Vina baru saja menghidangkan empat mangkuk bakso kepada pelanggan, saat gerobak ayahnya memasuki halaman. Vina heran. Rasanya belum terlalu sore. Tetapi ayahnya sudah pulang. Padahal terlihat di stealing, kalau bahan dagangan ayahnya masih banyak. Biasanya ayahnya baru akan pulang ke rumah pada pukul tujuh malam. Paling cepat pun pukul enam sore. Atau jangan-jangan memang sudah sore?Penasaran Vina melongok ke ruang tamu. Memindai jam dinding di sana. Pukul empat lewat lima menit. Berarti ia tidak salah. Ayahnya memang kembali lebih cepat. Dan saat ia memperhatikan kondisi gerobak lebih teliti, ia segera menghampiri ayahnya. Gerobak ayahnya lecet-lecet, dan agak melesak ke dalam. Bahan-bahan bakso di stealing juga saling bercampur-baur. Satu dugaan melintas dalam benak Vina. Ketika ia melihat tubuh ayahnya luka dan beset-beset seperti tergesek aspal, dugaannya kian menguat."Ayah kenapa? Jatuh ya?" Vina meletakkan bakinya sembarang. Ia
Vina menjerit kecil saat membaca email masuk di ponselnya. Ia mendapatkan email dari PT Karya Gemilang Putra. Perusahaan ini adalah perusahaan besar yang diidam-idamkan setiap pekerja. Termasuk dirinya juga. Sebenarnya ia cuma iseng-iseng mengirimkan surat lamaran ke perusahaan ini. Siapa yang menyangka kalau ia diberi kesempatan untuk melakukan interview besok pagi. Ia merasa sangat beruntung.Vina juga sangat bersyukur karena jam interviewnya itu pagi hari. Dengan begitu tidak mengganggu jualannya. Paling ia akan meminta tolong ayahnya untuk berbelanja dan meracik bahan-bahan bakso. Jadi saat ia pulang nanti, ia tinggal berjualan saja."Kamu kenapa, Vina? Kok cengar cengir sendirian? Ini berapa Vin?" Pak Ramli yang baru saja pulang berjualan mengacungkan dua jarinya. Menggoda putrinya yang senyam-senyum sendirian di depan ponselnya. Warung putrinya sudah sepi. Bahan-bahan bakso di stealing juga sudah ludes. Itu artinya dagangan putri
Vina mengendarai gerobak bakso ayahnya sedikit lebih kencang. Ia takut terlambat ke warung Kanaya. Janjinya pada Kanaya adalah pukul empat sore. Dan saat ini waktu telah menunjukkan pukul empat sore lewat lima belas menit. Perkiraan waktunya salah. Ternyata mengendarai motor dengan gerobak di sampingnya sangat jauh berbeda dengan mengendarai motor biasa. Selain itu, ia harus mengantarkan pesanan bakso ke beberapa pelanggan ayahnya terlebih dahulu. Belum lagi terkadang di jalan ia berhenti apabila ada pembeli yang memanggilnya. Lumayan juga, ia jadi bisa menghabiskan sisa-sisa bakso di gerobaknya.Ia mengendarai gerobak bakso ayahnya ini karena ingin menjual sisa bakso di gerobak dan di rumah. Karena baksonya tinggal sedikit, ia memutuskan untuk menjualnya secara berkeliling saja. Digabung dengan sisa bakso ayahnya. Sambil jalan ke warung Kanaya, menyambi berjualan juga. Jadi ayahnya bisa langsung beristirahat. Tidak perlu menjual baksonya yang di rumah lag