Share

3. Sebuah Petunjuk Mencurigakan

Hari sudah berganti gelap. Lampu-lampu di dalam kelas dipadamkan, berganti lampu-lampu koridor yang dinyalakan. Ditutupnya loker tempat ia menyimpan barang-barangnya. Aland mengecek ponselnya kembali, ada beberapa pesan yang tak terbaca. Mengetahui belum ada balasan apa pun baik dari pihak Romeo maupun Joo, ia menghela napas kemudian. Ke mana perginya semua teman-temannya? Mengapa mereka semua tiba-tiba menghilang tanpa kabar?

Berbalik badan, Aland menyandarkan punggungnya pada loker. Menatap langit-langit dengan pikiran yang kacau, lalu beralih menekan layar ponselnya sebanyak dua kali. Terlihatlah gambar dua anak-anak dengan perbedaan tinggi yang cukup signifikan. Seorang anak laki-laki tersenyum lebar yang menunjukkan gigi ompongnya, dan anak perempuan yang lebih tinggi darinya menunjukkan wajah datarnya pada kamera. Tanpa sadar, Aland tersenyum, ia ingat foto ini diambil bertahun-tahun yang lalu.

Sebuah suara menyadarkan Aland dari dunianya. Samar-samar ia mendengar ketukan sepatu tengah mendekat ke tempat dia berada. Aland bersembunyi di sisi kiri loker, karena ia pikir itu adalah petugas penjaga yang akan memeriksa dan menangkap jika masih ada mahasiswa yang berkeliaran di sekitar kampus di jam-jam seperti ini.

Ternyata dugaannya salah. Meskipun lampu di dalam ruangan loker dipadamkan, dan cahaya remang-remang, Aland bisa melihat dengan jelas orang yang tengah menyimpan sesuatu di lokernya. Bukankah itu Fluke? Apa yang dilakukannya di sini malam-malam begini? Fluke hampir melihat ke arahnya kalau saja Aland tidak segera bersembunyi di balik lemari loker. Aland sampai menahan napasnya beberapa saat, karena khawatir Fluke akan melihatnya. Namun, laki-laki itu segera pergi usai menyimpan sesuatu di sebuah loker.

Aland keluar dari persembunyiannya. Karena penasaran, Aland ingin mengecek apa yang tengah disimpan oleh keponakan rektor seperti Fluke di loker mahasiswa. Karena meskipun Aland adalah mahasiswa baru, ia tahu banyak mengenai kampus ini dari teman-temannya. Termasuk Fluke yang merupakan keponakan rektor, tak mungkin menyimpan barang-barangnya di loker umum yang tergabung dengan mahasiswa lainnya. Apalagi sikapnya yang seenaknya dan merasa paling tinggi dari yang lain. Aland yakin betul loker itu bukanlah milik Fluke.

Lalu milik siapa? Apakah Fluke sedang mengerjai seseorang? Sayangnya loker itu terkunci, Aland tidak bisa membukanya. Lalu, jika loker ini bukan milik Fluke, bagaimana laki-laki itu mendapatkan kuncinya? Apakah Fluke ada hubungannya dengan Tor? Pertanyaan-pertanyaan itu hanya berputar-putar di kepala Aland.

Karena merasa curiga dengan gerak-gerik Fluke yang mencurigakan, Aland memutuskan keluar ruangan untuk mengikuti Fluke. Sayangnya, Aland sudah kehilangan jejak Fluke saat ia sampai di tangga koridor yang menuju lobi utama. Namun, sebagai gantinya, Aland tak sengaja melihat segerombolan orang-orang bertopeng itu lagi, kali ini lebih banyak jumlahnya yang dia temui pagi tadi.

Aland melihat mereka berlarian dari arah barat menuju timur, alangkah terkejutnya ketika Aland melihat beberapa di antara mereka menuju tangga koridor tempat ia bersembunyi. Seolah tak bisa bergerak, Aland mematung di tempat, suara hentakan sepatu itu semakin terdengar mendekat dan membuatnya berkeringat dingin. Lebih terkejut lagi, ketika tiba-tiba seseorang membekap mulutnya dan menariknya masuk ke dalam kelas. Aland membelalak menatapnya.

"Ssttt. Ini aku, tenanglah." Kate menaruh telunjuk di depan bibirnya. Aland membuang napas antara tak percaya dan merasa lega karena Kate datang menolongnya di waktu yang tepat.

Aland dan Kate terduduk di dalam kelas, bersembunyi di balik kursi-kursi mahasiswa ketika gerombolan orang bertopeng itu berlari melewati kelas di mana mereka bersembunyi. Kate berdiri untuk mengintip melalui jendela, memastikan bahwa orang-orang itu sudah pergi dari sana. Ia menghembuskan napas lega.

"Mereka sudah pergi." Kate menyandarkan punggungnya di dinding, gadis itu mengatur napasnya yang tersengal-sengal.

"Dari mana saja kau? Aku mencarimu dari tadi, aku cari di ruang kesehatan ternyata kau tidak ada," cerca Kate pada Aland. Seharian ia tak melihat Aland, padahal tadi pagi Romeo berkata akan membawa Aland ke ruang kesehatan. Nyatanya, saat ia menjenguknya, Aland tidak ada di sana.

Aland menggaruk pelipisnya. "Kau ... mencariku? Aku lupa meninggalkan ponselku saat mengisi daya, ini baru kuambil dari ruang loker. Aku menunggu balasan pesan dari Romeo dan Joo, tapi sepertinya aku kehabisan pulsa."

Kate mengembuskan napas pelan. Memaklumi tindakan Aland kali ini, karena Kate merasa Aland adalah mahasiswa baru yang masih butuh diarahkan. Kate jadi teringat pada orang-orang bertopeng itu.

"Jadi ... orang bertopeng yang kau lihat pagi tadi, sama seperti orang-orang itu?" tanya Kate memastikan.

"Kau sudah tau?" tanya Aland, karena seingatnya ia baru bercerita pada Jane dan Romeo.

Kate lantas mengangguk. "Aku mendengarnya dari Jane. Maka dari itu, aku langsung mencarimu."

Aland ikut menyandarkan punggung dan kepalanya di dinding, persis seperti yang dilakukan oleh Kate.

"Selama hampir enam bulan belajar di kampus ini, aku baru melihat mereka kali ini," ungkap Kate. Aland menoleh padanya sesaat.

"Apa mereka begitu berbahaya?" tanya Kate sekali lagi. "Sebenarnya apa tujuan mereka?" tambahnya.

"Kate," panggil Aland, Kate menoleh padanya. "Kita harus menemukan siapa pemimpin di balik orang-orang bertopeng itu. Kita harus mencari tahu apa tujuan mereka sebenarnya. Kita harus membuat kampus ini menjadi aman supaya tidak ada kejadian serupa seperti Tor lagi."

Kate mengangguk. "Kau benar."

Aland mengernyit, ia teringat sesuatu. "Ngomong-ngomong soal Tor, bagaimana dengannya?"

Kate mengerjap beberapa saat, dia termenung mengingat kejadian saat dia, Joo, dan Ken membawa Tor ke Wakil Dewan.

"Itu dia yang ingin aku ceritakan padam," Kate berkata pelan. "Pagi tadi, saat kami membawa Tor ke wakil dewan, ada sedikit kegaduhan di sana. Tor tidak bisa mengendalikan dirinya. Dia terus meronta hingga dia lepas dari pegangan kami. Tor mengamuk dan mengancam semua orang di sana. Sampai akhirnya, para senior penjaga kebetulan datang. Mereka menolong kami membekuk Tor. Bapak rektor sampai turun tangan karena ada yang melapor. Akhirnya, atas perintahnya, Tor dibawa ke rumah sakit."

"Ke rumah sakit? Kenapa?" tanya Aland tak percaya.

"Tor mengalami depresi, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya yang membuatnya tak bisa mengendalikan dirinya sendiri."

Aland mengusap wajahnya frustasi. "Lalu, apa kata rektor? Apa kita tidak bisa menjenguk Tor?"

"Kita tidak diizinkan untuk menjenguk Tor untuk beberapa waktu, hanya anggota keluarganya saja yang diperbolehkan, dikhawatirkan Tor akan mengalami hal-hal seperti itu lagi."

Aland mengacak-acak rambutnya kasar. Raut wajahnya benar-benar lelah sekarang. "Lalu,  bagaimana caranya aku mendapatkan informasi darinya, Kate?"

Kate merasa iba pada Aland, ia menyenggol Aland dengan sikunya, berharap laki-laki itu sadar agar lebih tenang dalam bergerak.

"Aku mengerti perasaanmu, Aland. Aku di sini, semua teman-teman kita ada bersamamu. Kita semua telah berjanji akan membantumu. Jangan khawatir, kita hanya perlu mendiskusikan hal ini dengan kepala dingin. Percayalah, kita pasti akan menemukan titik terang," ucap Kate meyakinkan Aland.

Aland termenung sesaat. "Kate," panggilnya kemudian. 

"Iya," jawab Kate.

"Besok kita semua harus berkumpul untuk membahas masalah ini," ucap Aland yang diangguki oleh Kate. 

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status