Bayiku Hilang
“Antarkan saja Ratna ke rumah orang tuanya, Faiz! Mama capek mengurusi orang stres seperti itu.” sayup-sayup kudengar suara Mama sedang menghasut Bang Faiz agar mengantarkanku pulang ke rumah Bapak dan Ibu. Padahal aku tak membebaninya di rumah ini. Aku masih bisa mengurus diriku sendiri. Pekerjaan rumah pun aku kerjakan seperti biasanya.
Aku sedang berada di dalam kamar pagi ini. Seperti kemarin-kemarin, aku tak ikut bergabung bersama mereka di ruang makan untuk sarapan atau pun makan siang dan makan malam. Memang setiap hari kuhabiskan dengan berdiam diri di dalam kamar ini sambil menangis. Itu mungkin yang membuat Mama mengatakan kalau aku ini stres.
Kutajamkan lagi pendengaranku.
“Tapi, kasihan Ratna, Ma! Dia pasti sangat sedih sekali, makanya dia sering berdiam diri di kamar. Dia tidak stres, Ma!” ucap Bang Faiz membantah perkataan Mama. Betul, Bang! Aku tidak stres. Aku hanya sedang bersedih hati.
Sebulan yang lalu, aku kehilangan bayiku. Bayi yang kehadirannya sangat aku rindukan. Banyak sudah rencana yang kususun dengan rapi untuk menyambut buah hatiku itu. Namun, takdir berkata lain. Dia hilang diculik orang.
Berbagai cara sudah kami lakukan, termasuk melibatkan pihak kepolisian. Namun, hasilnya nihil. Bayiku seperti hilang ditelan bumi. Tak ada jejak yang tertinggal yang dapat dijadikan petunjuk.
Kini yang tersisa di sini hanyalah popok dan baju-baju nya yang belum aempat dipakai. Jauh hari aku sudah membayangkan, bayi mungilku itu memakai popok dan baju-baju ini, pasti akan sangat menggemaskan. Suara tangisnya juga akan memenuhi seisi rumah ini. Entahlah, semua hanya tinggal angan-angan belaka.
Setiap hari, setiap detik, aku hanya bisa memandangi popok-popok ini, dengan begitu aku dapat merasakan kehadirannya. Setiap kali aku memeluk dan mencium popok dan baju yang kubeli empat bulan lalu, aku serasa memeluknya.
Nak, Mama rindu! Semoga anak Mama baik-baik saja. Ya Allah, pertemukanlah aku dengan bayiku. Aku tak sanggup kehilangannya. Jagalah bayiku dimanapun dia berada!
Air mata terus mengalir deras di pipi ini. Tak pernah kubayangkan, harus kehilangan bayi yang telah lama kunantikan. Enam tahun sudah aku menikah dengan Bang Faiz. Ini merupakan kali pertama aku mengandung dan melahirkan seorang anak. Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, akhirnya Allah mempercayakan anak itu hadir di dalam rahimku ini selama lebih kurang sembilan bulan. Sampai akhirnya, dua bulan yang lalu, dia hadir ke dunia ini. Namun, aku hanya bisa melihatnya sementara saja.
Ya, hanya sementara. Sampai-sampai aku tak sempat menyusui apalagi menimangnya. Dia sudah hilang dari pandanganku.
Kata orang waktu akan menyembuhkan luka! Tapi apa? setiap waktu luka ini bertambah pedih dan perih. Kehilangan ini kian terasa. Setiap kali aku melihat foto bayi yang berseliweran di beranda F* ku, aku seperti melihat bayiku. Aku tak tahu, sampai kapan semua duka ini hilang. Aku hanya memohon agar Allah mempertemukanku dengan bayiku setiap hari, walau hanya dalam mimpi.
“Mama benar ,Faiz. Kami capek melihat tingkah istrimu. Setiap saat menangis dan mengurung diri di dalam kamar. Antarkan sajalah dia ke sana. Atau ceraikan saja dia! Apa yang kau harapkan dari dia?” Kak Intan, kakak Bang Faiz setali tiga uang dengan Mama, malah omongannya lebih pedas lagi.
Dia memang tak begitu menyukaiku sejak pertama aku menikah dengan Bang Faiz dan tinggal di rumah Mama ini. Kak Intan selalu bersikap kasar dan sering menyakiti hati ini. Dia bahkan tak segan-segan memarahiku dengan kata-kata kasar. Seperti yang barusan dia katakan, dia sering menyuruh Bang Faiz untuk menceraikanku.
“Sudahlah, Kak. Ini sudah yang kesekian kalinya Kakak menyuruhku untuk menceraikan Ratna. Aku mencintai Ratna, Kak! Jadi, aku tak akan pernah menceraikannya! Tolong, jangan ucapkan itu lagi!” ucap Bang Faiz lantang.
"Apa yang kau harapkan dari dia? Miskin! Hanya menjadi beban keluarga kita saja!" ucap Kak Intan pelan. Namun, aku masih bisa mendengarnya.
"Kak Intan! Jaga ucapan Kakak!" teriak Bang Faiz.
Bang Faiz bangkit dari tempat duduknya, lalu melangkah menuju kamar ini.
“Sarapanlah, Sayang. Makanlah walau sedikit. Sejak tadi malam tak sebutir nasi pun masuk ke perutmu. Abang takut Adek jatuh sakit nanti,” ucap Bang Faiz sembari duduk di tepi ranjang. Matanya nanar menatap wajah ini.
“Bang ... mungkin Mama dan Kak Intan ada benarnya. Aku tak mau menyusahkan mereka di sini. Hantarkan aku pulang ke rumah Ibu dan Bapak, Bang. Mungkin aku bisa melewati semua ini segera. Kalau di sini terus, aku semakin teringat dengan bayi kita,” ucapku memelas. Semakin lama aku di sini, akan menambah beban pikiranku. Setiap hari Mama dan Kak Intan mengomel tak jelas. Belum lagi Maya, adik Bang Faiz yang satu itu tak tau bersikap santun terhadap orang tua. Dia selalu memerintahku seenaknya saja.
Aku semakin tersudut. Kapan aku bisa pulih kalau dimarahi terus-terusan. Aku butuh seseorang sebagai tempat untuk mencurahkan isi hati ini.
“Baiklah, Sayang. Kalau Adek maunya begitu. Tapi bukan karena Adek sakit hati karena mendengar ucapan keluarga Abang barusan, kan?"
"Tidak, Bang. Adek rindu pada Bapak dan Ibu," ucapku lirih.
"Ya, Abang akan hantarkan Adek pulang ke rumah Ibu dan Bapak,” ucap Bang Faiz sembari tersenyum dan mengusap lembut kepala ini.
“Adek berkemas sekarang ya, Bang!” ucapku sedikit bersemangat. Bang Faiz menganggukkan kepala. Aku beranjak turun dari ranjang dan mengemas baju-bajuku.
Setelah selesai berkemas, aku dan Bang Faiz berpamitan pada Mama dan Kak Intan.
“Ma, Kak Intan ... Ratna mohon pamit. Mungkin beberapa waktu ini, Ratna akan tinggal di rumah orang tua Ratna,” ucapku seraya mengulurkan tangan pada Mama dan Kak Intan. Mereka bergegas menyambut uluran tanganku.
“Nah, gitu dong, sadar diri!” ucap Kak Intan ketus. Aku tersenyum menyambut ucapannya.
Tak banyak basa-basi lagi, aku segera menarik tangan Bang Faiz agar segera pergi dari rumah ini. Bang Faiz mungkin paham maksudku. Dia segera pamit dan berjalan bersamaku menuju pintu.
Mobil yang kami tumpangi melaju perlahan meninggalkan rumah Bang Faiz. Aku masih terdiam memandang ke luar jendela mobil.
“Abang tak akan bisa mengunjungi Adek setiap hari. Tak ada yang mengawasi toko bangunan kita. Paling hanya seminggu sekali Abang mengunjungi Adek. Adek tak keberatan?” tanya Bang Faiz padaku.
“Iya, Bang. Adek paham. Abang fokus saja mengelola toko itu. Doakan Adek bisa melalui semua ini dengan cepat. Mungkin dengan kasih sayang dan perhatian dari Ibu, Adek dapat dengan mudah melewati ini semua,” ucapku sembari meneteskan air mata. Setiap kali aku teringat tentang luka ini, air mata terjun dengan bebas dari kedua mata ini.
Sekitar lima jam berkendara, kami sampai di rumah Ibu dan Bapak. Kedua orang tuaku menyambut kedatangan kami dengan hangat.
Sampai sore menjelang, Bang Faiz baru pamit untuk kembali ke rumah Mama.
***
Tiga bulan sudah aku berada di rumah Ibu dan Bapak. Perhatian dan nasehat-nasehat yang diberikan oleh kedua orang tuaku membuat hati ini semakin tenang. Lambat laun aku bisa menerima keadaan ini dengan ikhlas. Langkah, rezeki, pertemuan dan maut mutlak kuasa Allah. Kita sebagai manusia hanya bisa berusaha dan bertawakal kepada-Nya.
Aku tak boleh terus larut dalam kesedihan. Pengorbanan yang diberikan oleh kedua orang tuaku tak boleh kusia-siakan. Selain itu, Bang Faiz juga masih membutuhkan perhatian dan kasih sayangku.
Hari ini Bang Faiz tak datang ke sini seperti biasanya. Kata Bang Faiz waktu menelepon tadi, dia harus ke luar kota untuk membeli beberapa barang-barang kebutuhan toko. Toko bangunan yang dikelola Bang Faiz maju pesat dua tahun terakhir ini. Setelah sebelumnya hampir bangkrut karena kekurangan modal. Syukur ada suntikan dana dari Bang Adam, saudara Mama.
Aku sedang bersiap untuk pergi bersama Ibu. Rencananya kami akan mengunjungi Bibi yang sedang sakit di kampung sebelah. Ibu masih memakai baju di kamarnya.
Tiba-tiba, gawai yang kuletakkan di atas meja kecil di samping tempat tidur berbunyi. Vera, sahabatku yang sudah setahun lebih merantau ke Jakarta meneleponku. Kutempelkan benda pipih itu ke telinga.
“Halo, assalamualaikum, Ver,” ucapku mengawali percakapan.
“Waalaikumsalam. Heiii ... Ratna! Sombong ya, dirimu ada dimana sekarang?” ucap Lisa dengan suaranya yang selalu bernada tinggi.
“Sombong apanya? Aku di kampung di rumah Ibu,” jawabku.
“Ah, masak iya? Barusan aku lihat suamimu di toko roti lagi mendorong dorongan bayi. Makanya aku menghubungi kamu. Aku pikir kamu lagi nunggu di dalam mobil gitu. Ngomong-ngomong, kapan anakmu lahir? Kok gak ngasih kabar ke aku, Rat? Gitu ya ... udah lupa sama sahabat sendiri.” Kata Vera panjang lebar.
“Bang Faiz mendorong dorongan bayi? Gak salah lihat kan, Ver?” tanyaku lagi.
“Ya enggaklah, mataku belum rabun loh, Rat. Emang kenapa? Kok heran begitu kedengarannya, Rat?” tanya Vera menyelidik.
“Aku memang sudah melahirkan, Ver. Tapi bayiku hilang diculik orang setelah dilahirkan,” ucapku lirih.
“Astagfirullah! Lah ... lalu, bayi yang didorong Bang Faiz, bayi siapa?” tanya Vera panik.
Foto Suami Bersama Wanita"Lah … lalu bayi yang didorong Bang Faiz, bayi siapa?" tanya Vera panik.“Entahlah Ver, aku pun tak tau. Begini saja, aku boleh minta tolong, Ver?” ucapku pelan.“Tentu bisalah! Apa sih yang nggak aku buat untuk sahabatku ini? Ngomong aja, aku bisa bantu apa?” ucap Vera bersemangat.“Tolong kamu ikutin kemana Bang Faiz bawa bayi itu. Sama siapa dia di tempat itu. Trus ... jangan lupa fotoin and kirim ke aku ya, Ver!” pintaku pada Vera. Aku harus tau bayi siapa yang sedang dibawa oleh Bang Faiz.“Oke, Rat. Tunggu ya, detektif Vera akan segera beraksi.” Setelah mengatakan itu, Vera menutup sambungan telepon.Hatiku berdebar tak menentu. Ingin marah tapi belum ada bukti kuat kalau Bang Faiz sedang berbuat macam-macam di sana. Sebaiknya kutunggu saja kabar dari Vera.Tak lama, gawaiku berbunyi lagi. Sebuah pesan gambar masuk ke aplikasi berwarna hijau d
Kemana Popok Bayiku?Loh … lemarinya kok kosong?" ucapku terkejut ketika melihat isi dalam lemari bayiku sudah tak ada lagi. Kemana semua popok dan baju bayiku? Jangan-jangan ….Aku bergegas berlari ke luar kamar mencari Bang Faiz."Bang … Bang Faiz!" teriakku memanggil Bang Faiz."Hei … Ratna, baru sampai sudah teriak-teriak. Ada apa?" tanya Mama mertuaku ketus."Ratna mencari Bang Faiz, Ma. Mama melihatnya?" Mama hanya mengangkat bahu dan mencebikkan bibirnya."Untuk apa mencari Bang Faiz? Bukankah dari tadi dia bersama Kakak?" ucap Maya dari bang pintu kamarnya."Ada apa, Ratna? Abang ambil minum di dapur." Bang Faiz keluar dari dapur."Itu Bang, kemana semua popok-popok dan baju-baju bayi yang kusimpan di lemari? Lemarinya kosong!" ucapku panik."Oo … itu. Eeee … anu—""Mama sumbangkan ke panti asuhan." Mama memotong ucapan Bang Faiz."Mama menyumbangkanny
Mencari InformasiKukeluarkan satu per satu baju-baju kotor itu dari dalam keranjang. Sampai di baju paling akhir, aku terkejut melihat sehelai kain kecil yang tersisa di dasar keranjang. Ada sebuah celana bayi yang sudah kotor di situ."Celana bayi? Milik siapa ini?" ucapku lirih. Pikiranku kembali berkelana ke foto yang dikirimkan Vera waktu itu. Aku yakin, Bang Faiz menyimpan sebuah rahasia. Aku harus mencari tahu hal ini.Setelah mencuci semua baju-baju kotor Bang Faiz. Aku meletakkan baju-baju yang sudah dicuci di sudut ruangan di dapur. Mataku kembali menemukan sesuatu yang tak lazim ada di rumah ini. Ya … sebuah gantungan untuk menjemur baju-baju bayi. Milik siapa? Tak mungkin milik Kak Intan, Chika saja sudah kelas 2 SD.Sepeninggalku waktu itu, aku tak pernah memakai gantungan seperti itu untuk menjemur. Karena yang mencuci baju kotor di rumah ini adalah aku. Kecuali baju Kak Intan sekeluarga, dia sering mengantarkannya ke laun
Bayi Chintya"Wow, seru nih! Oya, sebelum ke inti pembicaraan kita. Aku ingin tau gimana ceritanya bayimu bisa hilang. Ceritain donk, penasaran!" Vera memelas."Ya gitu! Waktu aku melahirkan di klinik bersalin itu memang tak begitu banyak orang. Aku melahirkan secara normal, tapi … ari-arinya gak mau keluar. Lengket di dalam. Setelah satu jam dilakukan tindakan oleh bidan, ari-ari tetap gak mau keluar. Darah sudah banyak keluar, sampai aku lemes gitu.""Truuuuss!" Vera sangat penasaran.""Trus, Bang Faiz minta agar aku dibawa ke rumah sakit. Akhirnya aku dibawa ke rumah sakit yang di jalan Gambir. Bayiku tinggal di klinik. Mama mertua dan Kak Intan yang menjaga. Sementara Bang Faiz menemaniku di rumah sakit. Kata Bang Faiz, saat aku belum sadar sehabis di kuret di dalam ruang tindakan, Mama menelepon dan mengabarkan kalau bayi kami hilang," terangku lagi."Bang Faiz diem aja? Gak ngelakuin apa-apa?" tanya Vera lagi."Ya Bang Fai
Fakta Baru Tentang Chintya Dalam beberapa detik, Keysha langsung diam dan tak menangis lagi. Kumasukkan kembali susu yang ada di dalam botol ke mulut mungil Keysia. Dia menghisapnya dengan lahap. Ketiga orang di hadapanku saling melempar pandangan. Aku tak tau maksud di balik pandangan mereka itu. Aku hanya mulas seuntai senyum menyaksikan pemandangan di hadapanku. "Akhirnya, Keysha tertidur," ucapku pelan. "Udah, sini … sini!" ucap Chintya sembari mengambil paksa Keysha dari tanganku. Bayi itu kembali menangis, membuat Chintya mengurungkan tindakannya. "Tidurkan Keysha di dalam kamar Mama," titah Mama. Aku menuruti saja. Kubawa Keysha masuk ke kamar Mama dan membaringkannya di atas ranjang. Ketiga orang itu mengikutiku dari belakang. "Sudah, kau keluar saja, Ratna! Kerjakan apa yang harus kau kerjakan! Sedari tadi pergi dari rumah, pasti ada pekerjaanmu yang terbengkalai." Kali ini Kak Intan yang memberikan perintah. "Kak
Penyelidikan 1"Bang Faiz!" teriakku. "Abang mau kemana?" Bang Faiz menghentikan langkahnya lalu berbalik melihat ke arahku."Ini … anu …." Bang Faiz menggaruk kepalanya yang tak gatal."Anu apa, Bang?" tanyaku heran."Abang mau bantu Chintya membawakan tasnya. Lihatlah, dia kerepotan!" jawab Bang Faiz, semakin menambah kecurigaanku. Harusnya dia bisa menelepon Mbak Surti untuk membantunya, kan? "Tak perlu repot, Bang. Biar aku saja yang membantunya," aku berlari melewati Bang Faiz, lalu membantu Chintya membawakan tasnya.Aku tak boleh memberi kesempatan pada Bang Faiz dan Chintya berduaan. Sekuat-kuatnya iman Bang Faiz, kalau terus digoda, aku takut dia luluh juga. Semakin kuat iman seseorang, godaan yang datang pun akan semakin kuat pula. Bukankah, semakin tinggi pohon semakin kencang pula angin yang menerpanya?Setelah sampai di kamar tempat Chintya menginap. Seorang wanita paruh baya langsung menyambut da
Penyelidikan 2Air mata seketika membasahi kedua pipi ini. Perih rasanya. Sekian lama merajut kasih, membina mahligai rumah tangga. Haruskah berakhir karena hadirnya orang ketiga? Aku tak rela, sungguh ini tak adil bagiku. Tega Abang mengkhianati perkawinan kita.*** Malam menjelang. Tepat jam sepuluh malam, Mama, Maya dan Kak Intan sekeluarga tiba di rumah. "Assalamualaikum! Ratna ... Ratna! Buka pintu!" teriak Mama sembari mengetuk-ngetuk pintu dengan keras. Aku buru-buru membuka mukena, karena baru saja selesai melaksanakan shalat Isya dan mengadukan nasibku pada Sang Khaliq.Aku berlari menuju pintu lalu memutar pegangan pintu. Pintu terbuka. "Lama amat sih, Ratna! Ngapain aja di dalam? Molor? Jam segini udah tidur.' Ketus mama"Ratna baru selesai shalat, Ma," ucapku pelan"Alaaah ... alasan!" Ucap Kak Intan menimpali. Matanya membulat menatapku."Sudah ayo masuk! Mama capek, mau istirahat!
Fakta yang menyakitkanKucoba menetralisir gemuruh di dalam dada ini. Mungkin saja lelaki yang menyahut itu adalah suaminya. Pintu megah dan berukuran tinggi itu terbuka.Jantungku seperti berhenti berdetak. Darahku rasanya berhenti mengalir. Jantungku tak mampu lagi memompa oksigen ke seluruh aliran darah. Tubuhku terasa lemas. Aku hampir tak mampu berdiri, menyaksikan pemandangan di hadapanku sekarang. Bang Faiz berdiri tegak menyambut kedatangan kami. Matanya membulat menatap kami. "Ra—Ratna!? ucapnya pelan."Bang Faiz!?" Bibirku bergetar mengucapkan namanya. Seketika netra ini dipenuhi butiran-butiran bening yang siap meluncur dengan bebas.Kutekan berkali dada ini, rasanya sesak sekali. Tenggorokanku seperti tercekat. Aku tak mampu berkata-kata lagi."Siapa yang datang, Bang?" Tiba-tiba seorang wanita muncul di belakang tubuh Bang Faiz. "Kok nggak disuruh ma—," kata-katanya terputus begitu melihat kehadiranku.