Share

Adaptasi

"Ci, kamu yakin mau nikah sama yang modelan begini?" Kualihkan pandangan dari cermin di depan pada Lola--sahabat yang sejak subuh tadi menemaniku didandani. "Tingginya bahkan 189,7 centi. Hampir 190! Nggak kebayang segede gimana ... anu, badannya maksudku." Aku memutar bola mata saat Lola meralat ucapannya sendiri.

Tahu akan begini, lebih baik tak kuberi tahu tadi. Biarkan dia melihatnya nanti saat akad beberapa saat lagi.

"Modelan begini itu gimana, La?" Kujawab pertanyaannya dengan pertanyaan lagi.

"Rambut gondrong lurus sebahu, bewok penuh semuka dijamin bikin geli. Alis codet sebelah. Spek preman macam ini kamu yakin bisa jadi pengganti Ali?!"

Dari balik cermin besar di hadapan. Kutatap tajam mata Lola yang menunduk dibuatnya.

"Sorry."

"Kenapa orang selalu mudah menyimpulkan cuma dari penampilan yang sekilas dipindai?"

Ibu satu anak itu diam membisu.

"Setidaknya Mas Fariz memberi harapan pasti, daripada dia yang pergi setelah berjanji, tapi ujungnya malah mengkhianati."

"Ci!" Lola meremas bahuku.

Kutatap pantulan diri berkebaya putih. Wajah yang sudah bubuhi make up minimalis itu tiba-tiba berubah samar saat sesuatu yang menggenang di pelupuk mata berdesakan ingin keluar.

"Sebaik-baiknya lelaki adalah dia yang berani mengikat ikrar suci, bukan yang hanya sekadar pengisi kekosongan hati. Aku udah kecewa dengan jenis lelaki macam Ali." Aku menoleh menatap Lola. Bibir perempuan berambut pirang kemerahan itu mulai bergetar.

"Ingat, kalau jodoh itu cerminan diri? Kadang searah, kadang juga memantul?"

"Ci, please ...." Lola menggenggam jemariku, sesekali meremasnya kuat.

"Kamu yang paling tahu gimana masa laluku, yang nggak sesuci namaku. Dengan Mas Fariz aku akan coba untuk kembali menata hati, lalu sama-sama memperbaiki diri."

.

.

.

"Nggak!" Suara tegas itu kembali menyentak lamunanku. "Gue nggak tahu, dan nggak akan mau tahu. Siapa pun lu di masa lalu, gue cuma tahu lu sebagai Suci, dan kita suami-istri."

Tanpa sadar senyumku mengembang.

"Tapi, kalau Mas masih ngerokok di hadapan saya, saya nggak akan ragu buat bertindak lebih jauh daripada tadi."

Mas Fariz memejamkan mata. "Oke, gue nggak akan ngerokok di hadapan lu lagi. Puas!"

Dia menyisir rambut gondrongnya ke belakang, lalu menggunakan karet di bungkus gorengan untuk mengikatnya.

Aku tertegun.

Dilihat dari dekat seperti ini. Paras Mas Fariz tak seburuk yang orang-orang katakan. Dia lumayan tampan.

"Nggak usah liat-liat. Gue orangnya ge'eran." Meski wajahnya lurus ke depan, tapi sudut mata Mas Fariz sesekali memerhatikan.

Aku tak menjawab, dan memilih terus menatap.

"Apa, sih, Ci!" Mas Fariz tampak kesal sendiri.

"Emang nggak boleh liatin suami sendiri?" cetusku tak peduli.

"Udah dibilang gue ge'eran."

"Ya, terus kenapa?" Gemas dengan tingkahnya, aku sengaja makin mendekatkan diri.

"Sekali lagi begitu beneran gue cium, ya!" Dia mengancam.

"Silakan! Mau di sebelah mana?" Semakin tertantang aku sengaja menyodorkan muka, tapi Mas Fariz justru menarik diri.

"Astagfirullah ini tempat umum, Ci!" Dia mengusap wajah frustrasi. "Entar, kalau cuma berdua, baru gue bera--"

"Abaangg!"

Suara nyaring teriakan seorang perempuan menginterupsi kami.

"Pantes lama kek nunggu antrian Bansos. Orang yang bawa mobil anak bunting," celetuk Mas Fariz saat melihat adiknya berjalan hati-hati sembari memegangi perut yang kutaksir sudah berjalan lima bulan.

Sesaat setelah sampai di hadapan kami, Farah memelukku dan Mas Fariz bergantian.

"Nggak usah pake peluk-pelukan! Kita buka teletubis." Mas Fariz mendorong wajah Farah dengan jari telunjuknya. "Kalau mau nyambut itu mending bawa kado, duit, atau paling enggak makanan."

Farah mengerucutkan bibirnya.

"Udah ada, tuh di mobil."

"Sip, dah."

"Oh, iya. Selamat menembuh hidup baru, semoga jadi keluarga yang sawama. Maaf nggak bisa hadir waktu akad sama resepsi. Mas Ali tiba-tiba diare," ungkapnya kemudian.

"Aamiin." Aku hanya menanggapi doanya, tanpa peduli tentang alasan yang membuat mereka tak menghadiri acara pernikahan kami.

Alasan yang cukup klise sebenarnya. Padahal itu bukan hal yang fatal. Komunitas Moge Mas Fariz saja bahkan menyempatkan diri datang. Arak-arakan menempuh perjalanan roda dua hampir seharian. Sedangkan mereka yang notabennya keluarga justru malah berhalangan. Entahlah.

Ternyata sosok Farah tak sesuai ekspektasi. Kukira dia tipe orang yang pendiam dan tenang. Ternyata berisik dan ceria juga.

"Halah, alasan. Palingan Si Ali nggak mau datang karena disuruh ngasih sambutan, tapi nggak dikasih amplop."

"Astagfirullah. Kebiasaan Abang, ih. Suudzon mulu sama ipar." Farah memukul pelan lengan Mas Fariz yang hanya bisa mengedikkan bahu tak peduli.

"Omong-omong kenapa lu yang jemput, Far. Mang Dani, atau laki lu mana? Masa orang bunting disuruh nyetir. Kita nunggu hampir sejaman dari tadi."

"Aku yang minta gantiin Mang Dani. Itung-itung bayar rasa bersalah karena nggak datang ke Lumanjang. Kalau Mas Ali ada jadwal ngisi kajian hari ini," tutur Farah sembari menuntun kami menuju mobik mewah yang terparkir di ujung sana.

"Tapi dia tahu, kan lu mau jemput kita?" tanya Mas Fariz lagi.

"Tahu, kok."

"Terus masih aja izinin lu pergi sendirian? Sebenarnya lebih penting mana, sih keluarga atau pekerjaan?"

Farah terdiam mendengar kalimat tajam yang diucapkan kakaknya.

"Bilang sama laki lu, nggak perlu terlalu banyak pencitraan. Heran, kek haus banget pujian sama pengakuan Si Ali--"

"Mas!" Aku menengahi. Mencengkeram lengan Mas Fariz, karena menyadari Farah sama sekali tak menanggapi.

"Bukannya akhir-akhir ini dia bahkan jarang pulang? Kesian tuh Si Hafiz, nanyain Bapaknya mulu saban hari. Dakwah, sih dakwah, tapi tahu jalan pulang juga kali--"

"Kenapa, sih, Bang!" sentak Farah tiba-tiba. "Repot banget ngurusin Mas Ali. Kalau sirik bilang aja kali. Nggak perlu sampe nyindir dan mojokin kayak gini. Pantes aja Papa lebih respek sama suamiku daripada anaknya sendiri. Kelakuan Abang yang begini emang kadang bikin jiji--"

"Farah!" Sekali lagi aku menengahi karena sadar perdebatan ini sudah terlampau jauh. Bisa kulihat wajah Farah memerah, sementara kepalan tangan dan rahang Mas Fariz mengetat.

Ya, ampun padahal kami baru saja bertemu. Mereka juga sempat berpelukan tadi.

"Maaf, kalau saya ikut campur. Tapi kayaknya bentar lagi ujan. Kalau kalian terus begini, bisa-bisa kita nginep di terminal."

Farah mendengkus keras, setelah itu membuka pintu belakang, mengempaskan bokong sembari memangku tangan.

"Lah, terus siapa yang nyet--" Belum sempat Mas Fariz menyelesaikan kalimat, Farah sudah lebih dulu melempar kunci mobil ke dasboard.

Mas Fariz menggertakkan gigi. "Sialan. Adek kurang aj--" Dia langsung melunak, dan menghela napas panjang hanya dengan tatapan tajamku. "Oke, kita pulang!"

***

"MasyaAllah. Anak-anak Ma--" Belum sempat Bu Nurul menyelesaikan kalimat, menyambut kedatangan kami--Mas Fariz dan Farah sudah nyelonong masuk begitu saja setelah mengecup pipi Papa dan Mamanya.

Sementara aku yang mengekor di belakang mereka sontak mencium punggung tangan kedua mertuaku bergantian, yang entah sejak kapan sudah berdiri di teras rumah besar lantai tiga ini.

"Mereka pasti berantem lagi," cetus Pak Jamal tepat sasaran.

Aku hanya meringis menanggapinya.

"Maklum, ya, Ci. Mereka kadang emang suka nggak inget umur," terang Bu Nurul sembari menggandeng tanganku masuk ke dalam. "Mama udah siapin makan. Kita makan dulu, ya. Habis itu baru ngobrol-ngobrol di ruang tengah."

Aku hanya mengangguk menanggapi. Kemudian mengedarkan pandangan ke kanan kiri, memindai rumah besar ini hingga tatapan terjatuh pada sepasang suami-istri yang tengah duduk di sofa ruang tengah, bersama putra kecilnya.

"Mas!" Farah mengguncang pelan bahu lelaki itu.

Dia menoleh, kami bersitatap. Cukup lama sampai tak sadar Farah kembali berujar.

"Untuk sementara Mbak Suci bakal tinggal di sini."

Lelaki itu mengangguk, tak lepas pandangannya saat beranjak menghampiri dan berdiri tepat di hadapanku saat ini.

"Saya Ali, suaminya Farah. Kita pernah ketemu di acara lamaran terakhir kali. Maaf, kami nggak bisa menghadiri pernikahan kalian beberapa hari lalu. Semoga betah, ya. Kalau ada yang bisa dibantu jangan sungkan buat kasih tahu."

Entah sejak kapan kedua tanganku sudah terkepal di sisi tubuh. Sempurna sekali skenario yang sudah dia rancang seolah kita memang dua orang asing yang tak pernah saling mengenal.

Sebenarnya apa yang ada di balik wajah tenang tanpa dosa itu? Sampai detik ini aku masih tak mengerti kenapa kamu bisa meninggalkanku seperti, Mas Ali!

"Ci, nih ada pecel enak kali. Seger banget buat ngilangin mabuk darat habis perjalanan jauh tadi." Mas Fariz tiba-tiba muncul di tengah-tengah kami, membawa piring kecil berisi pecel yang hendak ia suapi.

"Mas, saya--"

"Dia alergi kacang," sahut Mas Ali yang membuat semua orang langsung mengalihkan pandangan ke arahnya.

"Lah, kok lu tahu?" tanya Mas Fariz heran.

.

.

.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status