Part 11Sementara di tempat ibu.Mbak Ayu dan keluarganya bersiap pergi meninggalkan ibu. "Kalian mau kemana?" tanya ibu."Kami pulang dulu, bu." jawab mbak Ayu"Katanya mau menginap disini? Ibu masih kangen sama cucu-cucu ibu..." ujar ibu dengan nada berat."Tidak, Bu. Kapan-kapan saja.""Kenapa?" tanyanya lagi."Tidak apa-apa. Cuma Ayu mau bilang, kali ini ibu sudah keterlaluan sama Dewi. Kasihan Dewi, Bu. Dia juga anak ibu, kenapa ibu terus menerus memarahinya. Kalau aku jadi Dewi mungkin sudah kabur sejak dulu. Sungguh aku tak kuat mendengar omongan ibu yang selalu marah-marah."Ibu terdiam."Sesekali bersikap lembutlah pada Dewi, Bu. Kasihan anak itu, dari dulu dia yang selalu membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah. Masa hanya gara-gara suaminya miskin ibu terus menerus mencacinya begitu? Rasanya sungguh tidak adil, Bu. Berarti kalau kita miskin, tidak menutup kemungkinan kalau kita juga akan diperlakukan sama seperti Dewi, iya kan bu?" ujar mbak Ayu.Ibu menggeleng. "Tidak n
Part 12Klotak... klotak...Terdengar bunyi berisik di ruang tengah."Bu, Bu.... mana sarapannya? Kok gak ada apa-apa di meja?" teriak Arin. Gadis itu baru keluar dari kamar, masih dengan tanktop dan hotpants yang melekay. Wajah kusut dan rambut berantakan khas orang yang baru bangun tidur.Dia membuka tudung saji di meja makan, tapi tak tersedia makanan apapun. Biasanya, pagi-pagi sekali Dewi sudah mulai memasak untuk orang serumah. Paling sering dia bikin dadar telur dan oreg tempe atau sekadar memasak mie goreng. Ya, Dewi sangat perhatian dengan keluarganya, dia merasa kasihan kalau belum tersedia sarapan di meja. Adiknya yang laki-laki akan berangkat kerja, pasti akan merasa lapar kalau tidak sarapan dulu. Sedangkan Arin, gadis itu dia terbiasa manja dengan apapun. Ia terbiasa semuanya ada yang menyiapkan. Tak pernah ia mau sekedar membantu pekerjaan rumah.Arin kemudian menghampiri ibunya yang sedang beberes di dapur. Wanita paruh baya itu tengah sibuk dengan cucian pirung di wes
Part 13"Mas, Reza panas lagi." ucapku ketika memeriksa suhu badan Reza yang kembali panas. Bahkan kemarin demamnya sudah turun. Entah kenapa sekarang panas lagi, tetapi tubuhnya terlihat menggigil, bibirnya mulai membiru."Kita bawa ke Rumah Sakit saja ya dek..." jawab Mas Aris. "Sudah berapa hari Reza panas, dek?""Empat harian mas..." jawabku penuh rasa khawatir."Ya sudah ayo ke Rumah Sakit, biar jelas." ajak Mas Aris. "Tapi...." aku bimbang, pasalnya kami tak punya uang sama sekali untuk membayar biya perawatannya. Kalau ke Rumah Sakit pasti biayanya akan sangat mahal."Kita ke Rumah Sakit dulu, lainnya kita pikirkan nanti ya," ucap Mas Aris lagi.Aku mengangguk. Kami pergi ke Rumah Sakit, menggunakan motor pak mandor yang masih belum di kembalikan. Untung saja pak mandor baik kepada kami.Sesampainya di Rumah Sakit, dokter memeriksa Reza, dan menyarankan agar dilakukan tes lab pada Reza. Kami mengangguk menyetujuinya.Setelah setengah jam menunggu, hasil tes lab itu keluar. "B
Part 14Ibu terdiam."Bu, Dewi mohon bu... Tolong Dewi sekali iniii saja...""Kenapa? Kamu butuh uang?" tanya ibu kemudian."I-iya bu, Dewi butuh uang buat perawatan Reza.""....""Reza sakit Bu, kena DBD..." jelasku lagi. Berharap ibu akan simpatik dengan kondisiku. Tapi ternyata aku salah. Hati ibu terlalu keras melebih batu."Suruh dong suamimu usaha, nyari pinjaman kemana kek..." jawab ibu masih dengan nada ketus.Aku menggeleng. "Sudah, Bu. Tapi ....""Oh, gak ada yang mau minjamin kalian ya? Benarkan? Itu karena kalian miskin, kalaupun pinjam tak mungkin mampu mengembalikannya...""Kenapa ibu berkata seperti itu?" tanyaku masih dengan sisa air mata yang menggenang."Hah, memang benar kan?" Ibu tampak sinis memandangku. Astaghfirullah, rasanya sakit sekali dihina ibu sendiri.Aku menunduk, air mataku tak terbendung lagi. Iya hatiku benar-benar perih. Ibu yang seharusnya menjadi sandaranku, tapi dia selalu saja begitu... mematahkan hatiku hingga remuk redam. Saki. Sakit sekali."I
Part 15"Mas, ada apa?" Aku mengulangi pertanyaanku. Mas Aris menoleh, dia terdiam sambil menatapku, sedih. Aku masih melihat butir-butir bening di pelupuk matanya.Aku yang tak sabar segera memasuki ruang perawatan Reza. Kulihat suster sedang merapikan sekeliling, melepas selang infus Reza. Aku lihat tubuh mungil Reza sudah tertutup kain putih.Aku menggeleng perlahan. Tidak mungkin, tidak mungkin, tidak mungkin kan kalau Reza meninggalkanku secepat ini?Aku membuka penutup kain itu. Reza mungilku sudah tidak bergerak lagi. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya terasa begitu dingin. "Nak, bangun nak... Ini ibu... Bangun nak...." ucapku histeris sambil memeluk tubuh mungilnya."Rezaaa... Ini ibu, nak... Bangunlah nak...." teriakku lagi. Sungguh aku tak rela jika bayi mungilku harus pergi secepat ini. Aku merasa sangat bersalah tak bisa mengusahakan yang terbaik untuknya hingga ia harus pergi. Si bungsuku Reza kini telah pergi untuk selamanya. Sungguh, aku tidak kuat. Kenapa kamu pergi sece
Part 16Aku masih termangu melihat kepergian mereka. Aku sudah bertekad pada diriku sendiri. Aku gak akan pernah pulang ke rumah ibu sebelum aku sukses. Doakan aku teman-teman biar bisa melewati semua ujian ini. Ya, dari kehilangan Reza aku jadi paham, sampai kapanpun ibu takkan pernah menghargai hubunganku dan mas Aris. Biarlah aku memilih jalanku sendiri. "Dek, terima kasih...." ucapnya dengan lirih. Aku hanya tersenyum. Mana mungkin kutinggalkan suamiku yang penyayang ini. Kami bertiga saling berpelukan. Insyaallah, kami siap untuk memulai lembaran baru. Mulai dari nol lagi, itu tak masalah bagiku.***Selang beberapa hari di rumah mbak Ayu."Mas, uang di ATM berkurang 3 jutaan, kau pake buat apa?" tanya Ayu penuh selidik. Keningnya mengernyit menatap sang suami."Oh iya, mas lupa ngasih tahu kamu. Kemarin mas pake buat biaya Reza..." jawab Mas Bagas. "Apaaa? Lupaa? Kau bilang lupa mas? Kenapa kau gak bilang aku dulu?" tanya Ayu dengan nada marah. Bagas sudah tahu kalau istrinya
Part 17Dua bulan sudah berlalu...Seperti roda yang berputar, kehidupanku pun sedikit demi sedikit lebih baik. Aku berhasil mengumpulkan uang 3 juta dari hasil kerjaku dan suamiku. Kami bermaksud ingin mengembalikannya pada mas Bagas.Malam itu, kami bertiga ke rumah mbak Ayu. Dari luar aku dengar teriakan mbak Ayu yang sepertinya sedang bertengkar dengan mas Bagas."Mas, sudah bilang dek... Sabar, sabar dulu, mas lagi berusaha, mas kerja keras untuk kalian, tapi memang akhir-akhir ini kantor lagi pailit, jadi mas belum dapat bonus." Suara Mas Bagas terdengar memecah keheningan malam.Aku yang masih berada di teras rumah, saling berpandangan dengan mas Aris mendengar jawaban mas Bagas yang tak sengaja kami dengar. Apakah mereka sedang kesulitan uang? Ya Allah apa kami sudah tak sadar diri karena sangat lama mengembalikan uang ini?Tok...tok...tok... Mas Aris mengetuk pintu dengan sedang. "Assalamualaikum..." sapa kami dari luar."Waalaikum salam..."Seseorang membuka pintu, ternyata
Part 18Pagi-pagi sekali kulihat Dani datang kesini sebelum berangkat bekerja."Ada apa dek?" tanyaku penasaran. Dani menyalami tanganku dan mas Aris."Gak ada apa-apa mbak, cuma ingin tahu keadaan kalian gimana.... Jadi mampir dulu kesini sebelum berangkat kerja," jawabnya."Alhamdulillah kami baik-baik saja. Kalian di rumah bagaimana? Ibu? Arin?""Kami juga baik, cuma sekarang ibu sering terlihat murung..." jawab Dani. Aku mengerutkan kening tanda tak mengerti."Murung? Kenapa?" tanyaku lagi."Entahlah, aku juga gak tahu mbak. Oh iya, ibu sering tanya-tanya tentang mbak, kenapa mbak gak pernah pulang...."Aku tersenyum. "Masa ibu ngomong gitu..." Rasanya tidak mungkin ibu bicara seperti itu. Dia kan menganggap aku adalah musuh bebuyutannya."Beneran mbak..." tegas Dani."Bukannya ibu lebih senang ya kalau mbak gak ada? Ibu kan suka marah-marah kalau mbak disana...""Haha, ibu udah sadar kali mbak dan mungkin ibu kangen sama kalian...."Aku dan mas Aris tersenyum lagi. syukurlah k