Share

Perdebatan (Abiyan POV)

    "Ini udah yang kesekian kalinya adik-adik kamu kurang ajar sama aku! Aku ini kakak iparnya, apa enggak ada rasa hormat sedikitpun sama aku? Seenggaknya dia menghormati aku sebagai istri kamu, istri dari kakaknya!"

   

"Sayang, udah ya. Kita bicara baik-baik, kamu jangan teriak-teriak," ucapku selembut mungkin. Aku tahu hatinya sedang dirobek-robek karena perkataan ibu dan adik-adikku. Jadi jangan sampai aku salah kata yang bisa membuat hatinya bertambah sakit.

     

      "Apa? Kamu mau suruh aku mengalah lagi dan sabar lagi? Iya Mas? Hah, bosan aku dengarnya, muak Mas!" lanjut Berliana kesal.

     

      "Setiap pertengkaran antara aku, ibu dan adik-adik kamu, kamu selalu suruh aku yang mengalah. Suruh sabar, suruh memaklumi mereka. Tapi apa pernah kamu suruh mereka untuk berhenti memojokkan aku dan menghargaiku?"

     

      "Aku udah cukup bersabar selama ini Mas, emang dari dulu keluarga kamu gak suka kan sama aku? Makanya mereka sering cari gara-gara sama aku, terus aja cari-cari kesalahanku. Andai watak dan perilaku manusia bisa ditebak dalam sekali bertemu, mungkin aku akan pikir dua kali buat nikah sama kamu!"

     

      Deg!

     

      Jantungku rasanya mau copot saat istriku mengatakan hal demikian. Sangking marahnya dia, aku memahami itu.

     

      Sejujurnya, aku juga sudah berulang kali mengingatkan ibu dan adik-adikku untuk menghormati Berliana sebagai istriku, menantu, dan kakak iparnya. Namun, nyatanya ucapanku hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri, mereka mendengarkan namun tidak diserap ke dalam otaknya.

     

      Jujur saja aku membenarkan ucapan Berliana, siapa juga yang tahan mempunyai mertua yang terus saja mencari-cari kesalahannya? Juga, ipar yang terus saja mencari gara-gara dengannya?

     

      "Sekarang, mau kamu nilai aku baik apa enggak itu urusan kamu. Yang penting, kamu harus ingat Mas, kalau ini adalah terakhir kalinya aku sabar sama tingkah laku mereka. Kalau nanti ibu sama adik-adik kamu buat ulah lagi, jangan salahkan aku kalau bertindak sesuatu yang mungkin enggak pernah kamu sangka sebelumnya."

     

      "Mungkin kamu bisa beri mereka peringatan untuk yang terakhir kalinya. Untung-untungkan kalau di dengar."

     

      Belum sempat aku berbicara, Berliana sudah lebih dulu pergi naik ke lantai atas. Huft, lelah sekali menghadapi perseteruan antar istri, ibu dan adik-adikku. Aku juga bingung, harus melalukan apa agar mereka bisa berdamai dan tidak berseteru lagi.

     

      Aku berjalan lunglai dan mendudukkan diri di atas sofa ruang tamu. Hari sudah semakin sore, di luar juga, awan pekat mulai meredupkan pencahayaan. Aku rasa sebentar lagi akan turun hujan, pas sekali mementnya bukan?

     

      Aku menerawang jauh ke beberapa tahun lalu. Dimana mendapatkan restu untuk menikahi Berliana sangat sulit sekali. Mulai dari menghadapi orang tua Berliana, sampai dengan berhadapan dengan keluargaku sendiri. Tapi perjuanganku saat itu tidak main-main, walaupun aku sempat menyerah dan pesimis tentang hubungan kita.

     

      Aku takut hubungan ku dan Berliana kandas di tengah jalan karena terhalang restu keluarga. Aku sadar dulu aku hanyalah karyawan yang bekerja di perusahaan milik ayah mertuaku. Jadi jika dilihat dari status sosial, jelas aku tidak ada apa-apanya.

     

      Aku si miskin yang dipertemukan dengan si kaya. Yang diangkat derajatnya oleh istriku dan diperbaiki hidupnya oleh istriku. Lantas apa kurangnya Berliana dimata ibu dan adik-adikku? Padahal wanita inilah yang sudah menjadikan keluargaku hidup makmur sampai sekarang.

     

      Kembali aku jelajahi memori lama, aku ingat ibuku pernah berkata, "Dia dari keluarga kaya, menerima kamu pun nantinya tidak akan menjamin dia akan baik ke ibu dan adik-adik mu. Dia cinta kamu, bukan berbakti dia juga mencintai kami. Orang kaya itu sukanya merendahkan, pasti dia nanti meremahkan keluarga kita."

     

      Kepala ku menggeleng, sampai detik ini pun tidak pernah sekalipun Berliana bertindak kurang ajar kepada ibuku. Dia menghormati sebagaimana dia menghormati orang tuanya. Tidak ada perkataannya yang meremehkan, kecuali siang tadi yang mungkin terdengar sedikit jahat.

     

      Tapi aku memaklumi, Berliana juga manusia yang memiliki batas kesabaran. Dia juga bisa letih, tidak bisa terus-terusan dituntut untuk mengerti ibu dan adik-adikku yang pada dasarnya mereka tidak bisa diberitahu.

     

      Bagiku mereka cukup bebal, keras kepala!

 

  ***

 

  Benar apa kataku, hujan turun sangat deras membasahi kota. Suara petir saling bersahutan, menandakan hujan tidak akan reda dalam waktu dekat.

 

  Aku masuk kedalam kamar, kami melewatkan makan malam kali ini. Aku tersenyum mendapati istriku duduk termenung di atas kasur. Pintu balkon masih terbuka lebar, kelambu putihnya basah terkena air hujan, bahkan lantai kamar basah akibat cipratan air dari luar.

 

  Berjalan mendekat, aku menutup pintu kamar. Tidak memperdulikan hawa dingin akibat balkon yang dibiarkan terbuka begitu saja. Aku lebih memilih mendekat ke arah Berliana.

 

  "Sayang."

 

  "Maaf kalau selama ini aku menuntut kamu untuk terus mengalah. Aku enggak pernah memikirkan gimana perasaan kamu, karena yang aku pikirkan selama ini yaitu, gimana caranya agar kamu, ibu dan adik-adikku enggak berseteru lagi. Tapi aku salah, aku malah mengorbankan perasaan kamu dan enggak mikirin kamu." Aku menatap matanya, wanitaku ini begitu baik. Sekalipun wataknya keras, Berliana mempunyai seribu kebaikan yang tidak diketahui sembarangan orang.

 

  Aku mendekat, semakin menghilangkan jarak antara kami. Angin dari luar sukses membuat anak rambutnya mengayun indah, sampai aku lupa jika pembicaraan kami belumlah usai.

 

  "Yakin kamu? Selama ini yang aku tahu adalah, Abiyan si pria plin plan, yang enggak bisa tegas membela istrinya dihadapan ibu dan adik-adiknya. Benarkan?" Berliana bertanya, tanpa memandang ke arah ku.

 

  Aku menenggelamkan kepalaku dicerekuk lehernya, "Maaf, jika selama ini aku tak memperdulikan perasaan mu. Tapi mulai sekarang, aku akan lebih tegas lagi ke ibu dan adik-adikku."

 

  "Aku enggak mau berantem sama kamu Mas. Tapi seengaknya kamu bisa pegang ucapan kamu, karena ya, ibu dan adik-adik mu emang keterlaluan."

 

  "Maaf untuk apa yang sudah mereka perbuat. Aku tahu perkataan mereka tadi sangat melukai hati kamu—"

 

  "Sangat. Rasanya sakit sekali."

 

  "Iya, aku tahu. Tapi aku bisa menjanjikan kalau hal seperti tadi tak akan terulang lagi. Dan jangan terlalu dibawa pikiran, anggap saja kejadian tadi tak pernah ada."

 

  Satu kecupan aku berikan tepat dibibir manisnya. Aku berharap amarahnya sedikit mereda. Ah, aku tergila-gila dengan ini. Berliana selalu bisa membuatku mabuk bertekuk lutut kepadanya.

 

  Aku mendekat lagi, kali ini aku menciumnya dan dia membalas dengan sangat erotisnya. Kami saling melepaskan kedalam ciuman, penuh gairah dan begitu menuntut untuk lebih dan lebih.

 

  Tapi saat aku terbawah nafsu dunia, tiba-tiba saja aku merasakan pasokan udara sekitar kian menipis. Ada yang harus aku keluarkan, tapi lidahku terlanjur keluh dan memilih untuk bungkam.

 

  "Apa kalau aku mandul juga, tidak akan kamu pikirkan?" tanyanya mendadak.

     

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status