"Sayang, udah ya. Kita bicara baik-baik, kamu jangan teriak-teriak," ucapku selembut mungkin. Aku tahu hatinya sedang dirobek-robek karena perkataan ibu dan adik-adikku. Jadi jangan sampai aku salah kata yang bisa membuat hatinya bertambah sakit.
"Apa? Kamu mau suruh aku mengalah lagi dan sabar lagi? Iya Mas? Hah, bosan aku dengarnya, muak Mas!" lanjut Berliana kesal.
"Setiap pertengkaran antara aku, ibu dan adik-adik kamu, kamu selalu suruh aku yang mengalah. Suruh sabar, suruh memaklumi mereka. Tapi apa pernah kamu suruh mereka untuk berhenti memojokkan aku dan menghargaiku?"
"Aku udah cukup bersabar selama ini Mas, emang dari dulu keluarga kamu gak suka kan sama aku? Makanya mereka sering cari gara-gara sama aku, terus aja cari-cari kesalahanku. Andai watak dan perilaku manusia bisa ditebak dalam sekali bertemu, mungkin aku akan pikir dua kali buat nikah sama kamu!"
Deg!
Jantungku rasanya mau copot saat istriku mengatakan hal demikian. Sangking marahnya dia, aku memahami itu.
Sejujurnya, aku juga sudah berulang kali mengingatkan ibu dan adik-adikku untuk menghormati Berliana sebagai istriku, menantu, dan kakak iparnya. Namun, nyatanya ucapanku hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri, mereka mendengarkan namun tidak diserap ke dalam otaknya.
Jujur saja aku membenarkan ucapan Berliana, siapa juga yang tahan mempunyai mertua yang terus saja mencari-cari kesalahannya? Juga, ipar yang terus saja mencari gara-gara dengannya?
"Sekarang, mau kamu nilai aku baik apa enggak itu urusan kamu. Yang penting, kamu harus ingat Mas, kalau ini adalah terakhir kalinya aku sabar sama tingkah laku mereka. Kalau nanti ibu sama adik-adik kamu buat ulah lagi, jangan salahkan aku kalau bertindak sesuatu yang mungkin enggak pernah kamu sangka sebelumnya."
"Mungkin kamu bisa beri mereka peringatan untuk yang terakhir kalinya. Untung-untungkan kalau di dengar."
Belum sempat aku berbicara, Berliana sudah lebih dulu pergi naik ke lantai atas. Huft, lelah sekali menghadapi perseteruan antar istri, ibu dan adik-adikku. Aku juga bingung, harus melalukan apa agar mereka bisa berdamai dan tidak berseteru lagi.
Aku berjalan lunglai dan mendudukkan diri di atas sofa ruang tamu. Hari sudah semakin sore, di luar juga, awan pekat mulai meredupkan pencahayaan. Aku rasa sebentar lagi akan turun hujan, pas sekali mementnya bukan?
Aku menerawang jauh ke beberapa tahun lalu. Dimana mendapatkan restu untuk menikahi Berliana sangat sulit sekali. Mulai dari menghadapi orang tua Berliana, sampai dengan berhadapan dengan keluargaku sendiri. Tapi perjuanganku saat itu tidak main-main, walaupun aku sempat menyerah dan pesimis tentang hubungan kita.
Aku takut hubungan ku dan Berliana kandas di tengah jalan karena terhalang restu keluarga. Aku sadar dulu aku hanyalah karyawan yang bekerja di perusahaan milik ayah mertuaku. Jadi jika dilihat dari status sosial, jelas aku tidak ada apa-apanya.
Aku si miskin yang dipertemukan dengan si kaya. Yang diangkat derajatnya oleh istriku dan diperbaiki hidupnya oleh istriku. Lantas apa kurangnya Berliana dimata ibu dan adik-adikku? Padahal wanita inilah yang sudah menjadikan keluargaku hidup makmur sampai sekarang.
Kembali aku jelajahi memori lama, aku ingat ibuku pernah berkata, "Dia dari keluarga kaya, menerima kamu pun nantinya tidak akan menjamin dia akan baik ke ibu dan adik-adik mu. Dia cinta kamu, bukan berbakti dia juga mencintai kami. Orang kaya itu sukanya merendahkan, pasti dia nanti meremahkan keluarga kita."
Kepala ku menggeleng, sampai detik ini pun tidak pernah sekalipun Berliana bertindak kurang ajar kepada ibuku. Dia menghormati sebagaimana dia menghormati orang tuanya. Tidak ada perkataannya yang meremehkan, kecuali siang tadi yang mungkin terdengar sedikit jahat.
Tapi aku memaklumi, Berliana juga manusia yang memiliki batas kesabaran. Dia juga bisa letih, tidak bisa terus-terusan dituntut untuk mengerti ibu dan adik-adikku yang pada dasarnya mereka tidak bisa diberitahu.
Bagiku mereka cukup bebal, keras kepala!
***
Benar apa kataku, hujan turun sangat deras membasahi kota. Suara petir saling bersahutan, menandakan hujan tidak akan reda dalam waktu dekat.
Aku masuk kedalam kamar, kami melewatkan makan malam kali ini. Aku tersenyum mendapati istriku duduk termenung di atas kasur. Pintu balkon masih terbuka lebar, kelambu putihnya basah terkena air hujan, bahkan lantai kamar basah akibat cipratan air dari luar.
Berjalan mendekat, aku menutup pintu kamar. Tidak memperdulikan hawa dingin akibat balkon yang dibiarkan terbuka begitu saja. Aku lebih memilih mendekat ke arah Berliana.
"Sayang."
"Maaf kalau selama ini aku menuntut kamu untuk terus mengalah. Aku enggak pernah memikirkan gimana perasaan kamu, karena yang aku pikirkan selama ini yaitu, gimana caranya agar kamu, ibu dan adik-adikku enggak berseteru lagi. Tapi aku salah, aku malah mengorbankan perasaan kamu dan enggak mikirin kamu." Aku menatap matanya, wanitaku ini begitu baik. Sekalipun wataknya keras, Berliana mempunyai seribu kebaikan yang tidak diketahui sembarangan orang.
Aku mendekat, semakin menghilangkan jarak antara kami. Angin dari luar sukses membuat anak rambutnya mengayun indah, sampai aku lupa jika pembicaraan kami belumlah usai.
"Yakin kamu? Selama ini yang aku tahu adalah, Abiyan si pria plin plan, yang enggak bisa tegas membela istrinya dihadapan ibu dan adik-adiknya. Benarkan?" Berliana bertanya, tanpa memandang ke arah ku.
Aku menenggelamkan kepalaku dicerekuk lehernya, "Maaf, jika selama ini aku tak memperdulikan perasaan mu. Tapi mulai sekarang, aku akan lebih tegas lagi ke ibu dan adik-adikku."
"Aku enggak mau berantem sama kamu Mas. Tapi seengaknya kamu bisa pegang ucapan kamu, karena ya, ibu dan adik-adik mu emang keterlaluan."
"Maaf untuk apa yang sudah mereka perbuat. Aku tahu perkataan mereka tadi sangat melukai hati kamu—"
"Sangat. Rasanya sakit sekali."
"Iya, aku tahu. Tapi aku bisa menjanjikan kalau hal seperti tadi tak akan terulang lagi. Dan jangan terlalu dibawa pikiran, anggap saja kejadian tadi tak pernah ada."
Satu kecupan aku berikan tepat dibibir manisnya. Aku berharap amarahnya sedikit mereda. Ah, aku tergila-gila dengan ini. Berliana selalu bisa membuatku mabuk bertekuk lutut kepadanya.
Aku mendekat lagi, kali ini aku menciumnya dan dia membalas dengan sangat erotisnya. Kami saling melepaskan kedalam ciuman, penuh gairah dan begitu menuntut untuk lebih dan lebih.
Tapi saat aku terbawah nafsu dunia, tiba-tiba saja aku merasakan pasokan udara sekitar kian menipis. Ada yang harus aku keluarkan, tapi lidahku terlanjur keluh dan memilih untuk bungkam.
"Apa kalau aku mandul juga, tidak akan kamu pikirkan?" tanyanya mendadak.
***
Cahaya mentari dari luar sukses mengganggu tidur nyenyak Berliana di pagi hari. Kepalanya terasa pening dan tubuhnya mendadak lemas. Dia masih mengingat kejadian di malam hari, dimana dia dan Abiyan sempat berdebat kecil membahas masalah kehamilan. Berliana dengan pikirannya yang sudah overthingking dan Abiyan yang bingung harus memberikan keyakinan seperti apa lagi, agar istrinya berhenti menyudutkannya. Sama halnya seperti Berliana, Abiyan juga bingung jika dihadapkan pada kenyataan bahwa istrinya sulit untuk hamil. Tapi kembali lagi, baik Abiyan maupun Berliana hanya bisa berusaha dan menunggu, untuk hasil seharusnya mereka menyerahkannya kepada Tuhan. Beruntunglah hari ini adalah hari minggu, jadi Berliana tak bersusah payah untuk membangunkan suaminya. Lagipula ini sudah sangat terlambat untuk memulai aktivitas pagi, apalagi jam sudah menunjukkan pukul 10 lewat 15 menit. Ah ini semua salah Abiyan, pria itu yang semalam menyerang Berliana deng
'Dina bisa memberikan keturunan buatmu. Dina juga bisa menjadikan kamu seorang ayah' Kalimat itu terus terngiang, berulang kali terputar diotak seperti kaset rusak. Semakin dipikirkan semakin membuat Abiyan sakit kepala. Pria itu tidak pernah menyangka jika kedatangan ibu dan adik perempuannya kali ini untuk membahas sesuatu yang sensitif. Sensitif bila didengar oleh Berliana. Mungkin akan terjadi perang besar, dan Abiyan takut jika Berliana akan bertindak. Ia sadar istrinya terlalu lelah dengan kelakuan ibu dan adik-adik suaminya. "Kenapa mas? Kok aku perhatiin kamu ngelamun dari tadi, mikirin kerjaan? Atau yang lain?" tanya Berliana saat wanita itu baru saja keluar dari kamar mandi. Abiyan mendongak, tersenyum kepada wanitanya, "Sedikit mikirin masalah kerjaan, kenapa hem? Mau keluar gak nanti malam?" tawarnya tiba-tiba. Tidak langsung menjawab, Berliana berjalan ke arah lemari seraya memilih beberapa baju yang akan ia kenakan, "Ibu sama Vina tadi n
Menjalani rumah tangga ternyata tidak semudah yang aku kira. Awalnya aku masih memegang prinsip, yaitu menikah haruslah di umur 30 tahun keatas, karena di usia itu aku merasa lebih matang dan siap dalam segala aspek. Namun siapa sangka jika aku malah jatuh cinta dengan salah satu pegawai bagaian administrasi di kantor. Itu hal yang gila, tapi aku lebih gila lagi karena sudah memperjuangkan cinta, yang bahkan saat itu aku tidak tahu arti cinta yang sebenarnya itu seperti apa. Aku hanya tahu, aku menyukai dan tertarik kepada Abiyan. Ada rasa ingin memiliki, mengagumi dan lama-kelamaan dia begitu spesial di mataku. Kesan pertama bertemu, aku begitu terkesima dengan cara bicara Abiyan yang terkesan tegas dan berwibawa meskipun hanya seorang staf administrasi. Semua yang ada pada diri Abiyan membuat aku tertarik, sampai rela membayar orang untuk memata-matai pria itu. Bagaimana dia, keseharian serta latar belakang keluarganya. Cukup terdengar seperti wanita bodoh, itu memang bena
Seusai balik ke rumah usai pertemuannya dengan sang sepupu, membuat Berliana kepikiran sesuatu. Ada yang mengganjal di hatinya, dan itu membuatnya gelisah sepanjang perjalanan. Niatnya Berliana akan mampir sebentar ke perusahaan, mengingat sudah lama Berliana tidak melihat langsung kondisi di sana. Apalagi sejak dia memutuskan berhenti menjabat, dan memercayakan perusahaan sepenuhnya kepada Abiyan, Berliana mulai jarang mengurusi masalah pekerjaan. Tapi mood Berliana sudah kacau saat Sania berkata seperti itu. Iya Sania, dia merupakan sepupu dekat dengan Berliana. Dan di antara semua keluarga, bisa dibilang Sania yang paling dekat dengan dirinya. Perkataan Sania di akhir membuatnya kepikiran sampai sekarang. Apa yang dikatakan Sania tidak ada yang salah, justru Berliana membenarkan semuanya. Namun, ada satu yang sulit Berliana terima. Yaitu, kenyataan jika saja suaminya punya wanita lain di belakangnya. Ini tidak menutup kemungkinan. Mengingat Abiyan adalah anak yang—ya begi
Gagal sudah rencana berlibur ku dengan Berliana ke Makassar. Aku relakan tiket pesawat kami karena adanya permasalahan antara kita berdua. Oh tidak, lebih tepatnya masalah yang ibuku timbulkan. Lagi dan lagi ibu membuat ulah dan mengganggu rumah tangga kami. Kali ini aku tidak akan tinggal diam, ibu sudah kelewat batas dengan memperkenalkan Dina kepada Berliana. Ibu sukses membuat Berliana naik pitam, dan sekarang wanita itu tengah menuntut penjelasan mengenai siapa Dina dan hubungan seperti apa dulu wanita itu dengan ku. Brakkk "Abiyan! Apa-apaan sih kamu. Datang-datang banting pintu rumah. Kenapa?!" "Seharusnya aku yang tanya, kenapa bu? Kenapa ibu lancang sekali?" "Lancang apa sih? Gak jelas banget kamu ini!" Aku mengacak rambut frustasi, kepalaku terasa berat memikirkan ini semua. Di satu sisi rumah tanggaku sedang runyam, Berliana menuntut penjelasan dan ibuku biang permasalahannya. Harus apa aku? Harus bagaimana agar bisa memberi pengertian kepada ibuku tanpa mengh
"Lin, Lin. Bangun dong, gila aja lo ambruk di sini. Di rumah kek, gue bingung bawa pulangnya." Sania terus saja menggoyang tubuh Berliana yang tertunduk lemas. Sepertinya wanita itu terlalu banyak minum dan mengakibatkan hilangnya kesadaran diri. Sedangkan Sania, dia tidak mau ikut-ikutan mabuk, sebab tahu jika dia kemari tidak sendiri. Apa jadinya jika mereka berdua sama-sama hilang kesadaran. Bisa-bisa dibungkus buaya disana. "Sumpah, ingetin gue buat maki-maki mertua lo nanti. Tahu gini mending gue cegah lo ke bar." Sania menggelengkan kepala, dia takjub melihat banyaknya botol kosong berjajar di atas meja mereka. Dari tujuh botol, tersisa setengah botol saja, lainnya Berliana yang menghabiskan sendiri. Ah tidak, Sania juga ikut minum tapi tidak sebanyak itu. Tapi jika harus membawa Berliana sendiri dan mengemudikan mobil, Sania rasa tidak bisa. Dia tidak sekuat itu. Apalagi dia mulai merasakan pening yang menyerang. "Gue pesenin taxi online ya, tapi gue takut nanti ki
Sejak kejadian dimana Abiyan meminta maaf kepada Berliana, sifat pria itu mulai dirasa berubah. Mulai dari tingkah laku sampai rutinitasnya, tidak pernah luput dari perhatian Berliana. Berliana kebingungan, apalagi hampir seminggu ini hubungan keduanya tidak kunjung membaik. Seolah ada dinding di tengah-tengah mereka. Oh ya Tuhan, jangan lupakan kalau sudah seminggu ini Abiyan dan Berliana pisah kamar. Entahlah apa yang sebenarnya terjadi. Berliana dengan keras kepalanya yang tetap ingin Tari meminta maaf secara langsung dan Abiyan yang mungkin sudah lelah menghadapi istri dan ibunya. Berliana tidak salah, Abiyan juga tidak salah. Takdir sendiri yang membuat mereka berdua ada di situasi yang tidak mengenakkan. "Bu, sarapannya udah siap. Menunya sesuai request an ibu Berlin semalam." ucap salah satu asisten rumah tangga. Membuat pandangan Berliana teralihkan. "Iya, saya bentar lagi turun. Oh iya, suami saya udah berangkat?" "Udah Bu, pagi-pagi sekali." "Ya udah kamu bole
Baru saja sejam yang lalu Abiyan mengirim pesan agar Berliana segera menuju ke restoran. Tapi baru saja masuk dan memesan makanan, Abiyan malah menelepon dan berkata tengah ada urusan mendadak yang tak bisa ditinggalkan.Padahal pria itu sendiri yang bilang ingin menyelesaikan masalah mereka. Akan tetapi, sepertinya Abiyan tak serius dengan ucapannya. Buktinya pria itu tanpa rasa bersalah langsung membatalkan janji temu mereka.Geram sekali Berliana terhadap tingkah laku suaminya. Urusan mendadak seperti apa sampai-sampai tidak bisa ditinggalkan. Di perusahaan jabatannya sebagai direktur, tidak bisakah melemparkan urusan ke sekertaris pribadi? Apa gunanya jabatan tinggi kalau tidak bisa diandalkan disaat-saat penting. Lagipula tidak setiap hari Abiyan keluar dengan Berliana. Sebegitu pentingnya pekerjaan bagi Abiyan.Heran sekali, semakin lama Abiyan semakin gila dengan pekerjaannya. Apapun selalu pekerjaan yang dia nomor satukan.Pembicaraan mereka ini juga penting.Ah, sejak menikah